Baca Online New Moon part 21
21.
VONIS
KAMI berada di
aula yang terang benderang dan tidak mencolok. Dindingnya putih kusam, lantainya
dilapisi karpet abu-abu. Lampu-lampu neon persegi panjang terpasang dalam jarak
yang sama di sepanjang langit-langit. Hawa di sini lebih hangat, dan aku
bersyukur karenanya. Ruangan ini tampak sangat ramah dibandingkan saluran
pembuangan limbah
berdinding batu yang gelap dan mengerikan tadi.
Sepertinya
Edward tidak sependapat dengan penilaianku. Matanya memandang garang ke lorong
aula yang panjang, ke sosok kurus hitam
yang berdiri
di ujung sana, dekat lift.
Ia menarikku
bersamanya, sementara Alice berjalan di sisiku yang lain. Pintu yang berat menutup
dengan suara berderit di belakang kami,
kemudian
terdengar bunyi gerendel digeser. Jane menunggu di dekat lift, sebelah tangan memegangi
pintu agar tetap terbuka untuk kami.
Ekspresinya
apatis. Begitu masuk ke lift, tiga vampir yang bekerja untuk keluarga Volturi
terlihat semakin rileks.
Mereka
menyingkapkan jubah mereka, membiarkan penutup kepala terbuka dan terkulai di
pundak. Baik Felix maupun Demetri sama-sama memiliki kulit sewarna
zaitun—kelihatan aneh dikombinasikan dengan raut wajah mereka yang pucat
seperti kapur. Rambut hitam Felix dipangkas pendek, sementara rambut Demetri
tergerai lepas berombak-ombak ke bahunya. Mata mereka merah tua di bagian pinggir,
tapi semakin gelap hingga nyaris hitam di sekitar pupil. Di balik jubah, baju
mereka modern,
pucat, dan biasa. Aku mengkeret di sudut, menempel pada Edward. Tangannya masih
menggosok-gosok lenganku. Matanya tak pernah lepas memandangi Jane.
Perjalanan
dengan lift singkat saja; kami melangkah memasuki ruangan yang kelihatannya seperti
ruang penerimaan tamu yang mewah. Dinding-dindingnya berlapis panel kayu,
lantainya ditutup karpet tebal empuk berwarna hijau. Tak ada jendela, tapi lukisan-lukisan
besar bergambar pemandangan daerah pedesaan Tuscan yang diterangi cahaya lampu
benderang tergantung di mana-mana sebagai pengganti jendela. Sofa-sofa kulit
berwarna lembut ditata membentuk kelompok-kelompok yang nyaman, dan meja-meja mengilap
dihiasi vas-vas kristal penuh karangan bunga berwarna-warni meriah. Aroma
bungabunga
itu
mengingatkanku pada rumah duka.
Di tengah ruangan
berdiri konter tinggi mengilap dari kayu mahoni. Aku ternganga keheranan melihat
seorang wanita berdiri di baliknya. Wanita itu bertubuh tinggi, dengan kulit
gelap dan mata hijau. Ia akan terlihat sangat cantik di perusahaan lain—tapi
tidak di sini. Karena ia juga manusia, sama seperti aku. Aku tidak mengerti apa
yang dikerjakan wanita manusia itu di sini, sikapnya begitu rileks, dikelilingi
para vampir.
Wanita itu
tersenyum sopan menyambut kedatangan kami. “Selamat siang, Jane,” sapanya.
Tidak ada keterkejutan
di wajahnya saat ia melirik rombongan Jane. Tidak juga Edward yang dada telanjangnya
berkilau samar tertimpa cahaya lampu putih, atau bahkan aku, yang acak-acakan dan
sangat jelek bila dibandingkan dengannya.
Jane menangguk.
“Gianna.” Ia terus berjalan menuju sepasang pintu ganda di bagian belakang ruangan,
dan kami semua mengikuti. Saat Felix melewati meja. ia mengedipkan mata pada
Gianna, dan wanita itu tertawa. Di sisi dalam pintu kayu itu terdapat ruang penerimaan
tamu lain yang berbeda jenisnya. Bocah lelaki pucat bersetelan abu-abu mutiara bisa
dikira kembaran Jane. Rambutnya lebih gelap, dan bibirnya tidak sepenuh bibir
Jane, namun sama memikatnya. Ia maju menghampiri kami. Sambil tersenyum
tangannya terulur pada Jane.
"Jane."
"Alec,"
sahut Jane memeluk pemuda itu. Mereka berciuman pipi. Kemudian pemuda itu
menatap kami.
"Mereka mengirimmu
keluar untuk membawa satu tapi kau kembali dengan membawa dua setengah,"
kata pemuda itu, menatapku. "Bagus
sekali."
Jane tertawa—suaranya
ceria seperti celotehan bayi.
"Selamat
datang kembali, Edward," Alec menyapanya. "Sepertinya suasana hatimu
sudah lebih baik."
“Sedikit,"
Edward membenarkan dengan nada datar. Kulirik wajah Edward yang keras, dan bertanya-tanya
dalam hati bagaimana mungkin
suasana
hatinya bisa lebih buruk dari sekarang. Alec terkekeh, dan memerhatikan aku
yang menempel erat di sisi Edward. "Jadi, inikah si
pembuat heboh
itu?" tanyanya, skeptis.
Edward hanya
tersenyum, ekspresinya sinis. Kemudian tubuhnya mengejang.
"Bodoh,"
ucap Felix dengan nada biasa-biasa saja
dari belakang.
Edward
berbalik, geraman rendah terdengar dari dadanya. Felix tersenyum—tangannya
terangkat, telapak tangan mengarah ke atas; ia menekukkan jari-jarinya dua
kali, mengundang Edward untuk
maju. Alice
menyentuh lengan Edward. "Sabar," ia mengingatkan.
Mereka bertukar
pandang cukup lama, dan aku berharap bisa mendengar apa yang dikatakan Alice padanya.
Menurutku pasti ada hubungannya dengan tidak menyerang Felix, karena Edward menarik
napas dalam-dalam dan berpaling kembali pada Alec.
"Aro
pasti sangat senang bisa bertemu lagi denganmu," kata Alec, seolah tidak
terjadi apa-apa.
"Kalau
begitu jangan biarkan dia menunggu terlalu lama," saran Jane.
Edward
mengangguk satu kali. Alec dan Jane, bergandengan tangan, berjalan mendului
kami memasuki aula lain yang luas dan sarat hiasan—apakah ruangan ini ada
ujungnya? Mereka mengabaikan pintu-pintu di ujung aula—pintu-pintu itu
seluruhnya dilapisi emas—
berhenti di
tengah jalan sebelum mencapai ujungnya, dan menggeser panel yang menutupi pintu
kayu polos. Pintu itu tidak terkunci. Alec
membukakannya
untuk Jane.
Aku ingin mengerang
saat Edward menarikku memasuki pintu itu. Kami memasuki ruangan yang lagi-lagi
terbuat dan batu tua seperti yang ada di alun-alun, di lorong, dan di saluran
pembuang limbah. Suasananya juga gelap dan dingin. Ruang peralihan dari batu
itu tidak besar. Di
baliknya ada
ruangan lain yang lebih terang dan besar menyerupai gua, bentuknya bulat
sempurna, seperti menara kasti yang besar. mungkin benar ini menara. Dua lantai ke atas, tampak dua
jendela berbentuk celah memanjang, membuat cahaya matahari yang menerobos
melaluinya jatuh dalam bentuk persegi panjang di lantai batu di bawahnya. Tidak
ada cahaya buatan. Satu-satunya perabot di ruangan itu hanyalah beberapa kursi
kayu besar seperti singgasana, yang diletakkan tidak beraturan, rata dengan
dinding batu yang melengkung. Di pusat lingkaran, di cekungan pendek, terdapat saluran
pembuangan limbah lagi. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah mereka menggunakannya
sebagai jalan keluar, seperti lubang di jalan.
Ruang itu
tidak kosong. Segelintir orang berkumpul, tampaknya sedang mengobrol santai. Gumaman
suara-suara pelan dan halus terdengar
bagai dengungan
lembut di udara. Saat aku melihat, sepasang wanita pucat bergaun musim panas
berhenti di bawah sepetak cahaya matahari, dan, seperti prisma, kulit mereka
membiaskan pendar cahaya pelangi ke dinding-dinding cokelat kusam.
Wajah-wajah
memesona itu menoleh begitu rombongan kami memasuki ruangan. Sebagian besar
makhluk abadi itu mengenakan celana
panjang dan kemeja
biasa – pokoknya, pakaian yang tidak akan terlihat mencolok di jalan-jalan di bawah
sana. Namun lelaki yang pertama kali
berbicara mengenakan
jubah panjang. Warnanya hitam pekat, dan menyapu lantai. Aku sempat mengira
rambut hitam kelamnya yang panjang adalah tudung jubahnya.
“Jane, Sayang,
kau sudah kembali!” seru lelaki itu senang. Suaranya terdengar seperti desahan
lirih. Lelaki itu melenggang maju, dan gerakannya begitu luwes sampai-sampai
aku ternganga, mulutku terbuka lebar. Bahkan Alice, yang setiap gerakannya terlihat
seperti menari, tidak bisa menandinginya.
Aku lebih terperangah
lagi saat lelaki itu melenggang lebih dekat dan aku bisa melihat wajahnya.
Tidak seperti wajah-wajah menarik tapi
tidak natural
yang mengelilinginya (karena ia tidak menghampiri kami sendirian; seluruh
rombongan mengerubunginya dengan rapat, beberapa mengikuti di belakang, yang
lain berjalan mendahuluinya dengan sikap waspada khas pengawal). Aku tidak bisa
menentukan apakah wajahnya tampan atau tidak. Garis-garis wajahnya memang sempurna.
Tapi ia berbeda dari para vampir di sampingnya, sama seperti mereka berbeda
denganku. Kulitnya putih transparan, seperti mereka berbeda denganku. Kulitnya
putih transparan, seperti kulit bawang, dan tampak sama rapuh – kelihatan
sangat kontras dengan
rambut hitam
panjang yang membingkai wajahnya. Aku merasakan dorongan aneh yang mengerikan untuk
menyentuh pipinya, untuk merasakan apakah kulitnya lebih lembut daripada kulit
Edward atau
Alice, dan bila diraba apakah terasa halus, seperti kapur. Matanya merah, sama
seperti makhluk-makhluk lain di sekitarnya, tapi
warnanya berselaput,
keruh seperti susu; aku penasaran apakah pandangannya terganggu oleh selaput
itu.
Vampir itu
melenggang menghampiri Jane, merengkuh wajah Jane dengan tangannya yang berlapis
kulit setipis kertas, mendaratkan kecupan ringan di bibir tebal Jane, lalu
melenggang mundur selangkah.
“Ya, tuan,”
Jane tersenyum; ekspresinya membuatnya terlihat seperti bocah malaikat. “Akumembawanya
kembali hidup-hidup seperti yang
Anda
inginkan.”
"Ah,
Jane.” Vampir itu tersenyum. “Kau sungguh menenteramkan
hatiku."
Ia mengarahkan
matanya yang berkabut ke arah kami, dan senyumnya semakin cerah – menjadi girang.
"Dan Alice
dan Bella juga!'' soraknya, bertepuk tangan dengan tangannya yang kurus.
"Ini benarbenar kejutan yang menggembirakan! Hebat! Kupandangi vampir itu,
shock mendengarnya
menyebut nama kami dengan sikap ramah, seolaholah kami teman lama yang mampir
tanpa didugaduga. Vampir itu berpaling pada pendamping kami yang bertubuh besar.
"Felix, tolong sampaikan kepada saudara-saudaraku tentang kedatangan tamu-tamu
kita. Aku yakin mereka pasti tidak
ingin
melewatkan kesempatan ini"
"Baik,
Tuan" Felix mengangguk dan lenyap di balik pintu tempat kami masuk tadi.
"Kaulihat,
Edward?" Vampir aneh itu menoleh dan tersenyum pada Edward, seperti kakek
yang sayang tapi marah pada cucunya. "Apa kubilang? Kau senang kan, aku
tidak mengabulkan permintaanmu kemarin?"
“Ya, Aro, aku
senang," Edward membenarkan, mempererat pelukannya di pinggangku.
“Aku suka
akhir yang membahagiakan." Aro mendesah. "Itu sangat jarang terjadi.
Tapi aku ingin mendengar cerita selengkapnya. Bagaimana itu bisa terjadi?
Alice?" Ia berpaling kepada Alice,
sorot ingin tahu
terpancar dari matanya yang berkabut. Saudaramu sepertinya menganggapmu tidak
mungkin salah, tapi jelas ada kesalahan."
“Oh, aku masih
jauh dari sempurna." Alice menyunggingkan senyum memesona. Ia tampak sangat
santai, hanya saja kedua tangannya
terkepal erat.
"Seperti yang Anda lihat hari ini, aku menyebabkan masalah sesering aku menyelesaikannya."
"Kau
terlalu rendah hati," cela Aro. "Aku sudah sering melihat bakatmu yang luar biasa, dan
harus kuakui, bakatmu
benar-benar unik. Hebat!"
Alice melirik
sekilas kepada Edward. Itu tidak luput dari perhatian Aro.
"Maaf, kita
belum berkenalan, bukan? Aku hanya merasa seperti sudah mengenalmu, dan aku cenderung
suka mendului. Saudaramu memperkenalkan kita kemarin, dengan cara yang aneh.
Begini, aku juga memiliki sebagian bakat seperti yang dimiliki saudaramu, hanya
saja aku memiliki batasan, sedangkan dia tidak." Aro menggelengkan kepala;
nadanya iri.
"Dan juga
jauh lebih kuat," Edward menambahkan dengan nada kering. Ditatapnya Alice
sementara ia menjelaskan dengan cepat. "Aro membutuhkan kontak fisik untuk
bisa mendengarkan pikiranmu, tapi dia bisa mendengar lebih banyak daripada aku.
Kau tahu aku hanya bisa mendengarkan pikiran yang sedang melintas dalam pikiranmu
saat ini. Aro bisa mendengarsemua pikiran yang pernah singgah di kepalamu.
Alice
mengangkat alisnya yang indah, dan Edward menelengkan kepala.
Itu juga tak
luput dari perhatian Aro.
"Tapi
bisa mendengar dari jauh." Aro mendesah, melambaikan tangan pada mereka berdua,
dan pertukaran pikiran yang baru saja terjadi. "Itu akan sangat menyenangkan.”
Aro memandang
ke balik bahu kami. Semua kepala ikut berpaling ke arah yang sama, termasuk Jane,
Alice dan Demetri, yang berdiri tanpa suara di sebelah kami. Aku yang terakhir
menoleh. Felix sudah kembali,
dan di belakangnya
melenggang dua lelaki berjubah hitam. Keduanya sangat mirip dengan Aro, salah
satunya bahkan juga berambut hitam
tergerai. Yang
satunya bahkan juga berambut hitam
tergerai. Yang satunya lagi berambut putih terang seperti salju – seputih
wajahnya – yang tergerai lepas ke bahu. Kulit wajah mereka samasama setipis
kertas. Lengkap sudah trio yang tergambar pada lukisan Carlisle, tidak berubah
meski tiga ratus tahun telah berlalu semenjak lukisan itu dibuat.
"Marcus,
Caius. lihat!" seru Aro. "Bella ternyata masih hidup, dan Alice
datang bersamanya! Hebat, bukan?"
Tak seorang
pun di antara mereka tampak setuju dengan pemilihan kata hebat yang digunakan
Aro. Si vampir berambut hitam terlihat sangat bosan, seakan-akan sudah terlalu
sering menyaksikan antusiasme Aro yang meluap-luap selama berabad-abad. Wajah
vampir yang lain masam di bawah rambutnya yang seputih salju. Ketidaktertarikan
yang mereka tunjukkan tak mengurangi semangat Aro.
"Mari
kita dengar ceritanya bersama-sama," Aro nyaris berdendang dengan suaranya
yang sehalus bulu. Si vampir tua berambut putih menjauh, melenggang menghampiri
salah satu singgasana kayu. Yang lain berhenti di sebelah Aro, dan ia mengulurkan
tangan, mulanya kukira hendak meraih tangan Aro. Tapi ia hanya menyentuh telapak
tangan Aro sekilas dan kemudian menjatuhkan tangannya kembali. Aro mengangkat sebelah
alisnya yang hitam. Aku jadi heran bagaimana kulitnya yang setipis kertas itu
tidak remuk oleh gerakan tersebut.
Edward mendengus
sangat pelan, dan Alice memandanginya, ingin tahu.
"Terima
kasih, Marcus," ujar Aro. "Itu sangat menarik,"
Sadarlah aku, sedetik
terlambat, bahwa Marcus membiarkan Aro mengetahui pikirannya. Marcus
kelihatannya tidak tertarik. Ia
melenggang
menjauhi Aro, mendekati vampir satunya yang pastilah bernama Caius, yang duduk menempel
di dinding. Dua vampir yang
mendampinginya
mengikuti tanpa suara di belakangnya—pengawal, seperti yang sudah kuduga
sebelumnya. Aku bisa melihat dua wanita
bergaun musim
panas yang berdiri mengapit Caius dengan sikap sama. Agak konyol menurutku bila
vampir membutuhkan pengawal, tapi mungkin para vampir tua itu sama rapuhnya
seperti yang
ditunjukkan
kulit mereka. Aro menggelengkan kepala. "Luar biasa,"
ucapnya.
"Benar-benar luar biasa."
Ekspresi Alice
frustrasi. Edward berpaling padanya dan menjelaskan dengan ringkas dan suara
pelan. "Marcus bisa melihat hubungan. Dia
terkejut
melihat betapa kuatnya hubungan kita."
Aro tersenyum.
"Sangat menyenangkan," ulangnya lagi. Lalu ia berbicara pada kami.
"Agak sulit membuat Marcus terkejut, aku bisa
memastikan."
Kutatap wajah Marcus yang datar seperti mayat,
dan aku
percaya.
"Sungguh
sulit dimengerti, bahkan sekarang," renung Aro, menatap lengan Edward yang
melingkari pinggangku. Sulit bagiku mengikuti
jalan pikiran
Aro yang ruwet. Aku berusaha mengikuti dengan susah payah. "Bagaimana kau bisa
berdiri sedekat itu dengannya?"
"Bukan
berarti mudah," jawab Edward tenang.
"Namun
tetap saja—la tua cantante! Sungguh
mubazir!”
Edward tertawa
datar, “Aku menganggapnya lebih sebagai harga yang harus dibayar.”
Aro merasa
skeptis. “Harga yang sangat tinggi.” “Kesempatan memang berharga mahal.”
Aro terbahak.
“Kalau saja aku tidak bisa mencium
aromanya melalui pikiranmu, aku tidak mungkin
percaya godaan terhadap darah seseorang bisa
sekuat itu. Aku sendiri belum pernah merasakan
hal seperti itu. Kebanyakan kita rela menukar
apa saja untuk dapat memiliki anugerah sebesar
itu, tapi kau malah.”
“Menyia-nyiakannya,”
Edward menyelesaikan kata-kata Aro, suaranya kini terdengar sinis. Lagi-lagi
Aro terbahak. “Ah, betapa kangennya
aku pada
sobatku, Carlisle! Kau mengingatkan aku padanya—hanya saja dia tidak segalak
kau."
"Carlisle
jauh melebihi aku dalam banyak hal lain."
"Tak
pernah terpikir olehku, aku akan pernah melihat Carlisle kehilangan kendali
diri, tapi kau membuatnya malu."
"Itu
tidak benar." Edward terdengar tidak sabar.
Seolah-olah ia
muak dengan basa-basi ini. Itu membuatku semakin takut; mau tak mau aku jadi berusaha
membayangkan apa yang ia harapkan bakal terjadi.
“Aku senang
melihat kesuksesannya," renung Aro. "Kenanganmu mengenainya adalah
anugerah bagiku, meski itu membuatku sangat takjub. Aku heran karena ternyata
aku. justru senang melihat kesuksesannya di jalan tak lazim yang dipilihnya. Kukira
dia akan tersia-sia, melemah seiring berjalannya waktu. Aku sempat mencela
rencananya menemukan
pihak-pihak lain yang setuju dengan pandangannya yang aneh. Namun bagaimanapun
aku senang karena ternyata aku keliru.”
Edward tidak
menanggapi.
"Tapi
pertahanan dirimu!" Aro mendesah. “Aku tidak tahu kekuatan sehebat itu
ternyata ada. Membiasakan diri mengabaikan godaan sedahsyat itu, bukan hanya
sekali melainkan berkali-kali— seandainya tidak merasakannya sendiri, aku pasti
tidak akan percaya."
Edward membalas
pandangan kagum Aro tanpa ekspresi. Aku cukup mengenali wajahnya—waktu tidak
banyak mengubahnya—untuk mengetahui bahwa di balik ekspresinya yang tenang,
tersimpan
amarah yang
menggelora. Susah payah aku berusaha mempertahankan napasku tetap tenang.
"Hanya
mengingat bagaimana dia begitu menggairahkan bagimu." Aro terkekeh.
"Membuatku
haus." Edward mengejang.
"Jangan
merasa terganggu," Aro meyakinkannya.
"Aku
tidak bermaksud mencelakakannya. Tapi aku sangat ingin tahu, mengenai satu hal
secara khusus." Ia menatapku dengan sikap sangat
tertarik.
"Bolehkah?" tanyanya penuh semangat, mengangkat sebelah tangan.
"Tanya saja
padanya." Edward menyarankan dengan nada datar.
"Tentu
saja, kurang ajar benar aku!" seru Aro.
“Bella,” ia
berbicara sendiri padaku sekarang. "Aku takjub karena kau satu-satunya
yang merupakan pengecualian terhadap bakat Edward yang mengagumkan itu—sungguh
sangat menarik hal semacam itu bisa terjadi! Dan aku jadi ingin tahu. berhubung
bakat kami serupa dalam banyak hal, apakah kau mau berbaik hati mengizinkan aku
untuk mencoba – melihat apakah kau merupakan pengecualian bagiku juga?”
Mataku serta-merta
melirik Edward dengan penuh ketakutan. Meski bertanya dengan sikap sopan yang
berlebihan, aku tak yakin aku punya
pilihan. Ngeri
rasanya membayangkan mengizinkan Aro menyentuhku, namun tak urung diam-diam aku
tertarik oleh kesempatan menyentuh kulitnya yang aneh ini.
Edward mengangguk
menyemangati – apakah karena ia yakin Aro tidak akan mencelakakanku, atau
karena memang tak ada pilihan aku tidak
tahu. Aku
berpaling kembali pada Aro dan mengangkat tanganku pelan-pelan di hadapanku.
Tanganku gemetar.
Aro melenggang
menghampiriku, dan aku yakin ia sengaja memasang mimik tenang untuk meyakinkan
aku. Namun garis-garis wajahnya
kelewat aneh,
terlalu asing dan menakutkan, untuk dapat meyakinkan aku. Mimik wajahnya lebih
percaya diri daripada kata-katanya tadi.
Aro mengulurkan
tangan, seperti hendak menjabat tanganku, dan menempelkan kulitnya yang aneh ke
kulitku. Kulitnya terasa keras
sekaligus
rapuh—lebih menyerupai serpih daripada granit—dan lebih dingin daripada yang
kukira. Matanya yang berkabut tersenyum
memandangiku,
dan mustahil bagiku untuk mengalihkan pandangan. Matanya memesona dengan cara
yang ganjil dan tidak menyenangkan.
Wajah Aro
berubah di depan mataku. Rasa percaya diri itu goyah dan mula-mula menjadi keraguan,
baru kemudian tidak percaya sebelum
akhirnya tenang
kembali, membentuk topeng ramah.
“Sangat menarik,"
ucapnya sambil melepaskan tanganku dan kembali ke tempatnya.
Mataku berkelebat
memandang Edward, dan, walaupun wajahnya tenang, ia tampak sedikit puas pada
diri sendiri. Aro terus dalam ekspresi menerawang. Sesaat ia diam, matanya berkelebat
menatap kami bertiga. Kemudian tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya.
"Ini
pertama kalinya," katanya pada diri sendiri.
"Aku jadi
penasaran apakah dia juga imun terhadap bakat-bakat kita yang lain. Jane, Sayang?"
"Tidak!"
Edward mengucapkan kata itu sambil menggeram
Alice menyambar lengannya, memeganginya.
Edward menepiskannya.
Si mungil Jane
tersenyum bahagia pada Aro.
"Ya,
Tuan?"
Edward benar-benar
menggeram sekarang, suara itu terlontar dari dalam dirinya, matanya menatap Aro
garang dengan sorot berapi-api.
Ruangan sunyi
senyap, semua memandanginya dengan tercengang dan tak percaya, seolah-olah ia melakukan
sesuatu yang sangat memalukan dan tak bisa diterima. Kulihat Felix menyeringai
penuh
harap dan maju
satu langkah. Aro meliriknya, dan Felix langsung menegang, seringaiannya
berubah jadi ekspresi merajuk.
Lalu ia
berbicara kepada Jane. “Aku ingin tahu, sayangku, apakah Bella imun
terhadapmu."
Aku nyaris tak
bisa mendengar suara Aro karena geraman marah Edward. Edward melepaskan aku, bergerak
untuk menyembunyikanku dari pandangan mereka. Caius melayang ke arah kami, bersama
rombongannya, untuk menonton. Jane berbalik menghadapi kami dengan senyum memesona
tersungging di wajah.
"Jangan!"
pekik Alice saat Edward menerjang gadis mungil itu.
Sebelum aku
sempat bereaksi, sebelum semua orang lain bisa melompat ke tengah mereka, sebelum
para pengawal Aro sempat mengejang, Edward sudah terjatuh ke lantai. Tak ada
yang menyentuhnya, tapi ia tergeletak di lantai baru, menggeliat-geliat
kesakitan, semenara aku menatapnya dengan penuh kengerian.
Jane hanya tersenyum
padanya sekarang, dan mendadak aku mengerti. Inilah yang dimaksud Alice
mengenai bakat luar biasa, mengapa semua
orang
memperlakukan Jane dengan hormat dan mengapa Edward melemparkan diri di
depannya sebelum Jane bisa melakukannya terhadapku.
“Hentikan!"
aku menjerit, suaraku bergema dalam kesunyian, melompat ke depan di antara mereka.
Tapi Alice merangkulku sekuat-kuatnya
dengan kedua
tangan, tak peduli aku merontaronta. Tidak ada suara yang keluar dari bibir Edward
saat ia menggeliat-geliat di lantai batu.
Kepalaku serasa
mau pecah karena tidak tega melihatnya.
"Jane,"
Aro memanggilnya dengan suara tenang. Jane mendongak cepat masih tersenyum
senang, matanya bertanya-tanya. Begitu memalingkan wajah, Edward berhenti
menggeliat-geliat.
Aro
menelengkan kepala ke arahku. Jane mengarahkan senyumnya padaku. Aku bahkan
tidak membalas tatapannya. Aku memandangi Edward dari dekapan tangan Alice, masih
meronta-ronta tanpa hasil.
"Dia
tidak apa-apa," bisik Alice padaku dengan suara kaku. Saat Alice berbicara
Edward duduk, lalu berdiri dengan tangkas. Matanya menatap
mataku, sorot
matanya tampak ketakutan Awalnya kukira ketakutan itu karena apa yang batu saja
dialaminya. Tapi kemudian ia berpaling cepat ke arah Jane, lalu kembali padaku
– dan ketegangan di wajahnya mengendur, berubah lega. Aku memandangi Jane juga
dan ia tidak lagi
tersenyum. Ia
menatapku garang, dagunya mengeras oleh kuatnya ia berkonsentrasi. Aku mengkeret,
menunggu datangnya rasa sakit.
Tidak terjadi
apa-apa. Edward sudah berdiri di sampingku lagi. Disentuhnya lengan Alice dan
Alice menyerahkanku padanya.
Tawa Aro
meledak. "Ha, ha, ha," tawanya. "Hebat sekali!"
Jane mendesis
frustrasi, mencondongkan tubuh ke depan, seolah-olah bersiap menerjang.
"Jangan
kecewa, Sayang," kata Aro dengan nada menenangkan, meletakkan tangannya
yang seringan bedak ke bahu Jane. "Dia mengacaukan kita semua"
Bibir atas
Jane melengkung ke belakang, memamerkan giginya sementara ia terus menatapku
garang.
"Ha, ha,
ha," lagi-lagi Aro terbahak. "Kau sangat berani, Edward, menahan
sakit tanpa suara. Aku pernah meminta Jane melakukannya padaku satu kali—hanya
karena ingin tahu." Ia menggeleng kagum.
Edward
melotot, jijik.
"Jadi mau
kita apakan kau sekarang?" Aro mendesah.
Edward dan Alice
mengejang. Ini bagian yang mereka tunggu-tunggu sejak tadi. Aku mulai gemetar.
"Kurasa
tidak ada kemungkinan kau berubah pikiran?" Aro bertanya pada Edward
dengan sikap penuh harap. "Bakatmu akan menjadi tambahan yang sangat baik
untuk kelompok kecil kami." Edward ragu-ragu. Dari sudut mata kulihat
Felix dan Jane meringis.
Edward seakan
menimbang setiap kata dengan seksama, sebelum mengucapkannya. "Kurasa tidak
usah.”
"Alice?"
tanya Aro, masih berharap. “Mungkin kau tertarik bergabung dengan kami?"
"Tidak,
terima kasih," jawab Alice.
“Dan kau,
Bella?" Aro mengangkat alisnya.
Edward mendesis,
rendah di telingaku, kutatap Aro dengan pandangan kosong. Apakah ia bergurau?
Atau ia benar-benar serius menanyakan
apakah aku ingin
tinggal untuk makan malam? Kesunyian itu dikoyakkan oleh suara Caius, si vampir
berambut putih.
"Apa?"
tuntutnya pada Aro; suaranya, meski tak lebih
dari sekadar bisikan, Terdengar datar.
"Caius,
masa kau tidak melihat potensi di sini?" Aro mencelanya dengan sikap
sayang. 'Aku belum pernah melihat bakat prospektif lain yang sangat menjanjikan
sejak kita menemukan Jane dan Alec. Dapatkah kaubayangkan kemungkinannya bila
dia menjadi salah seorang di antara kita?"
Caius membuang
muka dengan ekspresi sengit. Mata Jane berapi-api karena tersinggung
dibanding-bandingkan. Edward menahan marah di sampingku. Aku bisa mendengar
gemuruh di dadanya, yang nyaris
menjadi geraman.
Aku harus berusaha agar amarahnya tidak membuatnya celaka.
"Tidak,
terima kasih," aku angkat bicara dengan suara yang tak lebih dari bisikan,
suaraku gemetar karena takut.
Aro mendesah.
"Sayang sekali. Sungguh sia-sia."
Edward
mendesis. "Bergabung atau mati, begitu? Aku sudah bisa menduganya waktu kami
dibawa ke ruangan ini. Hukummu tidak berarti apa-apa."
Nada suara
Edward membuatku terkejut. Ia terdengar berang, tapi ada sesuatu yang disengaja
dalam cara penyampaiannya – seolah-olah ia
memilih kata-kata
yang akan ia ucapkan dengan begitu saksama.
"Tentu
saja tidak,” Aro mengerjap, terperangah.
"Kami
memang sudah berkumpul di sini, Edward, menunggu Heidi kembali. Bukan karena
kau."
"Aro,"
Caius mendesis. "Hukum mengklaim mereka."
Edward menatap
Caius garang, "Bagaimana bisa?" tuntutnya. Dia pasti bisa membaca
pikiran Caius, tapi sepertinya bertekad membuatnya
mengutarakan pikiran
itu dengan suara keras. Caius mengacungkan telunjuknya yang panjang kurus padaku.
"Dia terlalu banyak tahu. Kau sudah mengekspos rahasia kita."
Suaranya setipis kertas, sama seperti kulitnya.
"Di sini juga
ada beberapa manusia dalam sandiwara kalian," Edward mengingatkan Caius, dan
ingatanku langsung melayang pada resepsionis cantik di bawah. Wajah Caius terpilin
membentuk ekspresi baru. Apakah itu dimaksudkan sebagai senyuman?
"Benar,"
ia sependapat. "Tapi kalau mereka sudah tidak kami butuhkan lagi, mereka
akan menjadi pemuas dahaga kami. Bukan begitu rencanamu untuk gadis yang satu
ini Kalau dia membocorkan rahasia kita, apakah kau siap menghabisinya? Kurasa
tidak," dengusnya.
"Aku
tidak akan—" aku membuka mulut, masih berbisik. Caius membungkamku dengan
tatapan dingin.
"Kau juga
tidak berniat menjadikannya salah satu dari kita,” lanjut Caius. "Dengan
begitu, dia ancaman bagi eksistensi kita. Meski ini benar,
dalam hal ini
hanya hiduplah yang dikorbankan. Kau boleh pergi kalau memang mau.”
Edward
menyeringai, menunjukkan gigi-giginya.
“Sudah kukira,”
kata Caius, dengan ekspresi menyerupai kegembiraan. Felix mencondongkan tubuh,
bersemangat.
“Kecuali."
Aro menyela. Kelihatannya ia tidak senang dengan arah pembicaraan ini. “Kecuali
kau memang berniat memberinya keabadian?”
Edward mengerucutkan
bibir, ragu-ragu sesaat sebelum menjawab. "Dan kalau itu benar?"
Aro tersenyum,
kembali senang. “Yah, kalau begitu kau boleh pulang dan menyampaikan salamku
pada sobatku Carlisle." Ekspresinya
berubah ragu.
"Tapi aku khawatir kau harus bersungguh-sungguh dengan ucapanmu."
Aro mengangkat
tangan di hadapannya. Caius, yang awalnya memberengut marah, berubah rileks. Bibir
Edward mengejang membentuk garis marah. Ia menatap mataku, dan aku membalas
tatapannya.
“Ucapkan
dengan sungguh-sungguh," bisikku.
"Kumohon."
Sebegitu menjijikkannyakah
ide itu? Apakah Edward lebih suka mati daripada mengubahku? Perutku seperti
ditendang. Edward menunduk menatapku dengan ekspresi tersiksa.
Kemudian Alice
melangkah menjauhi kami, maju mendekati Aro. Kami menoleh dan menatapnya. Tangannya
terangkat seperti Aro. Alice tidak mengatakan apa-apa, dan Aro melambaikan
tangan kepada para pengawalnya yang bergegas datang untuk menghalangi Alice.
Aro
menemui Alice di
tengah, dan meraih tangannya dengan mata memancarkan kilau tamak dan penuh
semangat.
Aro menunduk
ke atas tangan mereka yang saling menyentuh mata terpejam saat berkonsentrasi.
Alice diam tak bergerak, wajahnya
kosong. Aku
mendengar Edward menggertakkan gigi.
Semua diam tak
bergerak. Aro seakan membeku di atas tangan Alice. Detik demi detik berlalu dan
semakin lama aku semakin tertekan, bertanyatanya sampai kapan ini akan terus
berlangsung, apakah waktu sudah berlalu terlalu lama sebelum itu berarti
sesuatu yang buruk telah terjadi—lebih buruk daripada keadaan sekarang.
Waktu terus berjalan
dan terasa menyiksa, dan sejurus kemudian suara Aro mengoyak keheningan.
"Ha, ha,
ha," ia tertawa, kepalanya masih tertunduk ke depan. Ia mendongak
perlahanlahan, matanya cemerlang oleh kegembiraan. "Itu
sangat
menakjubkan!"
Alice tersenyum
kering. "Aku senang Anda menikmatinya."
"Melihat
berbagai hal yang telah kaulihat—terutama peristiwa-peristiwa yang belum
terjadi!" Aro menggeleng-geleng takjub.
"Tapi akan
terjadi," Alice mengingatkan, suaranya kalem. "Ya, ya, itu sudah
ditentukan. Tentu tidak ada masalah."
Caius tampak
sangat kecewa—perasaan yang tampaknya juga dirasakan Felix dan Jane.
"Aro,"
tegur Caius.
“Caius
Sayang," Aro tersenyum. "Jangan cerewet. Coba pikirkan
kemungkinan-kemungkinannya! Mereka memang tidak bergabung dengan kita hari ini,
tapi kita selalu bisa berharap di masa mendatang. Coba bayangkan kegembiraan
yang akan dibawa hanya oleh Alice saja ke keluarga kecil kita. Lagi pula, aku
juga sangat ingin melihat bagaimana jadinya Bella nanti!"
Aro tampak
yakin sekali. Apakah ia tidak sadar betapa subjektifnya penglihatan Alice?
Bahwa ia bisa memutuskan untuk mengubahku hari ini, kemudian mengubahnya besok?
Sejuta keputusan kecil, baik keputusannya maupun keputusan banyak pihak lain –
juga Edward – dapat saja mengubah jalan hidupnya, sehingga dengan demikian,
masa depan pun akan ikut berubah.
Dan apakah ada
artinya bila Alice bersedia, apakah ada bedanya bila aku benar-benar berubah menjadi
vampir, bila itu justru menjijikkan bagi
Edward? Bila
kematian, baginya, merupakan alternatif yang lebih baik daripada memilikiku di sisinya
selamanya, menjadi gangguan yang abadi? Meski sangat ketakutan, aku merasa
diriku terbenam dalam perasaan depresi, tenggelam di dalamnya.
"Kalau
begitu kami boleh pergi sekarang?" tanya Edward datar.
"Ya,
ya," jawab Aro riang. "Tapi datanglah lagi kapan-kapan. Ini
benar-benar mengasyikkan!"
“Dan kami juga
akan mengunjungi kalian," Caius berjanji, matanya tiba-tiba separuh terpejam,
seperti tatapan kadal yang kelopak matanya tebal. "Untuk memastikan kalian
menepati bagian kalian. Kalau aku jadi kau, aku tidak akan menunda terlalu
lama. Kami tidak pernah menawarkan kesempatan kedua."
Rahang Edward
mengeras, tapi ia mengangguk. Caius tersenyum sinis dan melenggang kembali ke
tempat Marcus masih duduk, tidak bergerak dan tidak tertarik. Felix mengerang.
"Ah,
Felix," Aro tersenyum geli. "Sebentar lagi Heidi datang.
Sabarlah."
“Hmmm,"
Ada semacam kecemasan dalam suara Edward. “Kalau begitu, mungkin sebaiknya kami
pergi saja sekarang.”
“Benar," Aro
sependapat. "Itu ide bagus. Kecelakaan bisa saja terjadi Tapi kumohon kau mau
menunggu di bawah sampai hari gelap, kalau
kau tidak
keberatan.”
“Tentu saja,”
Edward setuju, sementara aku meringis membayangkan harus menunggu seharian
sebelum bisa keluar dari sini.
"Dan
ini," Aro menambahkan, memberi isyarat kepada Felix dengan satu jari.
Felix langsung datang menghampirinya, dan Aro membuka jubah
abu-abu yang dikenakan
vampir bertubuh besar itu, melepasnya dari pundaknya. Dilemparkannya jubah itu
pada Edward. "Ambillah. Kau agak terlalu menarik perhatian." Edward
memakai jubah itu, menurunkan penutup kepalanya.
Aro mendesah.
"Cocok untukmu."
Edward tertawa,
tapi mendadak terdiam menoleh ke belakang. "Terima kasih, Aro. Kami akan
menunggu di bawah."
"Selamat
jalan, sobat-sobat muda," kata Aro, matanya cemerlang saat ia memandang ke
arah yang sama.
"Ayo kita
pergi," kata Edward, nadanya mendesak sekarang.
Demetri
memberi isyarat agar kami mengikutinya, kemudian beranjak menuju pintu tempat
kami datang tadi. Tampaknya, itu satusatunya jalan keluar. Edward menarik tanganku
dan berjalan cepatcepat. Alice merapat di sisiku yang lain, wajahnya keras.
"Masih
kurang cepat," gumamnya.
Aku mendongak
padanya, ketakutan, tapi Alice hanya tampak sedih. Saat itulah pertama kalinya aku
mendengar celotehan orang-orang mengobrol— keras dan kasar—terdengar dari arah
ruang depan.
"Well, ini tidak biasa," dentum
suara kasar seorang laki-laki.
"Sangat
abad pertengahan," balas seorang wanita dengan suaranya yang melengking
tinggi dan tidak enak didengar. Serombongan besar orang melewati pintu yang kecil,
memenuhi ruangan berdinding baru yang lebih kecil. Demitri memberi isyarat pada
kami agar menepi. Kami menempel rapat-rapat di dinding yang dingin untuk
memberi jalan pada mereka. Pasangan yang berjalan paling depan, orangorang Amerika
kalau mendengar aksennya, memandang berkeliling dengan sikap menilai.
"Selamat
datang, Tamu-Tamu! Selamat datang di Volterra!" Aku bisa mendengar Aro
berseru riang dari ruangan menara yang besar.
Anggota rombongan
lain, jumlahnya mungkin empat puluh atau lebih, berbaris masuk setelah pasangan
tadi. Beberapa mengamari keadaan
sekelilingnya
seperti turis. Beberapa bahkan memotret. Yang lain-lain tampak bingung,
seolaholah cerita yang membawa mereka ke ruangan ini sekarang tak lagi masuk
akal. Perhatianku tertarik pada wanita mungil berkulit gelap. Di lehernya melingkar
rosario, dan wanita itu mencengkeram salib erat-erat dengan satu tangan. Ia
berjalan lebih lambat daripada yang lain, sesekali menyentuh anggota rombongan
lain dan bertanya dalam bahasa yang tidak kumengerti. Sepertinya tidak ada yang
memahaminya, dan suara wanita itu terdengar semakin panik.
Edward menarik
wajahku ke dadanya, tapi terlambat. Aku sudah mengerti. Begitu ada celah yang
memungkinkan untuk lewat, Edward cepat-cepat mendorongku ke arah pintu. Aku
bisa merasakan ekspresi ngeri tergurat di wajahku, dan air mataku mulai
menggenang.
Aula emas
penuh ukiran itu sunyi, kosong tanpa kehadiran siapa pun, kecuali seorang
wanita jelita yang tampak bagai patung. Ia memandangi kami dengan sikap ingin
tahu, utama aku.
"Selamat datang
kembali, Heidi," Demetri menyapa dari belakang kami.
Heidi
tersenyum sambil lalu. Ia mengingatkanku pada Rosalie, meski tidak mirip sama
sekali—hanya karena kecantikannya juga begitu luar
biasa, tak terlupakan.
Aku bagai tak mampu mengalihkan tatapan.
Wanita itu
berpakaian begitu rupa untuk semakin menonjolkan kecantikannya. Kakinya yang
luar biasa panjang tampak lebih gelap dalam balutan stoking, terpampang jelas
di balik rok mininya yang superpendek. Blusnya berlengan panjang dan berleher
tinggi namun sangat ketat, dan terbuat dari vinyl merah. Rambut panjangnya yang
sewarna kayu mahoni itu mengilap, dan bola matanya berwarna ungu aneh—warna
yang hanya mungkin dihasilkan lensa kontak biru yang
menutupi iris
berwarna merah.
"Demetri,"
wanita itu balas menyapa dengan suara selembut sutra, matanya berkelebat dari wajahku
ke jubah abu-abu yang dikenakan
Edward.
"Boleh
juga hasil pancingannya," puji Demetri padanya, dan mendadak aku memahami dandanannya
yang mencolok. ia bukan hanya pemancing, tapi sekaligus juga umpan.
"Trims."
Heidi menyunggingkan senyum memesona. "Kau tidak ikut?"
"Sebentar
lagi. Sisakan beberapa untukku.”
Heidi mengangguk
dan merunduk melewati pintu sambil melayangkan pandangan ingin tahu sekali lagi
ke arahku. Edward berjalan sangat cepat hingga aku harus berlari-lari untuk
bisa mengimbanginya. Tapi
belum lagi
kami berhasil mencapai pintu berukir di ujung aula, pekik jerit itu telah
dimulai.
0 komentar:
Post a Comment