October 02, 2014

Baca Online New Moon part 5

5. CURANG
"BELLA, bagaimana kalau kau pulang saja," Mike menyarankan, matanya terfokus ke satu sisi, tidak benar-benar menatapku. Aku bertanya-tanya berapa lama hal itu sudah berlangsung, tanpa aku
menyadarinya.
Sore ini tak banyak pengunjung di Newtons. Saat itu hanya ada dua pengunjung, backpacker sejati kalau menilik dari obrolannya. Mike menghabiskan satu jam terakhir menjelaskan kelebihan dan
kekurangan dua merek ransel lightweight pada mereka. Tapi mereka menghentikan dulu pembicaraan serius tentang harga, dan malah
asyik saling membual soal kisah-kisah petualangan hiking terbaru mereka di hutan. Mike memanfaatkan kesempatan itu untuk meninggalkan mereka sebentar.
"Aku tidak keberatan tetap di sini," kataku. Aku masih belum bisa menenggelamkan diri kembali ke cangkang mati rasa yang melindungiku, jadi segala sesuatu tampak begitu dekat dan nyaring hari ini, seakan-akan aku telah membuka kapas yang selama ini menyumbat telingaku. Kucoba untuk mengabaikan tawa para hiker itu, tapi tidak
berhasil.
"Sudah kubilang," kata cowok gempal berjenggot oranye yang tidak cocok dengan rambutnya yang cokelat gelap. "Aku sudah pernah melihat beruang grizzly dari jarak sangat dekat waktu di Yellowstone, tapi itu masih belum apa-apa dibandingkan binatang yang satu ini." Rambutnya lengket, dan bajunya kelihatan seperti sudah dipakai berhari-hari. Benar-benar baru turun gunung.
"Tidak mungkin. Beruang hitam tidak mungkin bisa sebesar itu. Beruang grizzly yang kaulihat itu mungkin bayi beruang." Cowok kedua tinggi
langsing, wajahnya gosong terbakar matahari dan berkerut-kerut karena kelewat sering di udara terbuka, membentuk lapisan kulit kering yang
mengesankan.
"Serius, Bella, begitu kedua orang ini selesai, aku akan menutup toko," gumam Mike.
"Yah, jika kau memang ingin aku pergi." aku mengangkat bahu.
"Dalam posisi merangkak, hewan itu lebih tinggi daripada kau," si cowok berjenggot ngotot sementara aku mengemasi barang-barangku.
"Besar sekali dan hitam pekat. Aku akan melaporkannya pada pengawas hutan di sini. Orang-orang harus diperingatkan—aku tidak
melihatnya di gunung lho— tapi hanya beberapa kilometer dari ujung jalan setapak."
Si wajah kasar tertawa dan memutar bola matanya. “Biar kutebak—kau melihatnya dalam perjalanan turun, kan? Kau belum makan makanan sungguhan atau tidur di tanah selama seminggu, bukan?"
"Hei, eh, namamu Mike, kan?" seru si cowok berjenggot, menoleh pada kami.
"Sampai keremu Senin," gumamku
“Ya, Sir," jawab Mike. berpaling pada mereka.
"Katakan, pernahkah ada peringatan di sini baru-baru ini—tentang beruang hitam?”
"Tidak, Sir. Tapi ada baiknya untuk selalu menjaga jarak dan menyimpan makanan Anda dengan benar. Anda sudah pernah melihat kaleng anti beruang kami yang baru? Beratnya tidak sampai satu kilo.”
Pintu menggeser terbuka dan aku keluar menerobos hujan Aku meringkuk di dalam jaketku dan berlari ke mobil. Hujan menderas memukulmukul penutup kepalaku dengan suara luar biasa keras, tapi sebentar saja raungan mesin mengalahkan suara lainnya.
Aku tidak ingin pulang ke rumah Charlie yang kosong. Semalam sangat menyiksa, dan aku tak ingin mengulangi lagi adegan penyiksaan itu.
Bahkan setelah kepedihan hatiku mereda sehingga aku bisa tidur, penyiksaan itu ternyata belum berakhir. Seperti yang kukatakan pada Jessica setelah nonton film, tak diragukan lagi aku pasti
akan bermimpi buruk. Sekarang setiap malam aku memang selalu
bermimpi buruk. Mimpiku selalu sama, karena selalu mimpi buruk yang sama. Kau pasti mengira aku akan bosan setelah sekian bulan berlalu,
menjadi imun terhadapnya. Tapi mimpi itu tak pernah gagal membuatku ngeri, dan baru berakhir saat aku menjerit terbangun. Charlie tak pernah
datang lagi untuk menengok dan mencari tahu apa yang terjadi, untuk memastikan tidak ada penyusup yang mencekikku atau semacamnya—ia sekarang sudah terbiasa.
Mimpi burukku mungkin bahkan tidak menakutkan bagi orang lain. Tidak ada yang tahutahu melompat dari persembunyian dan berteriak,
"Buuu!" Tidak ada zombie, tidak ada hantu, tidak ada psikopat. Hanya pepohonan berlumut membentang sejauh mata memandang, begitu
sunyi sehingga kesunyian itu menekan gendang telingaku. Suasana gelap, seperti senja di hari berawan, hanya ada seberkas cahaya tertinggal untuk melihat bahwa tidak ada yang bisa dilihat.
Aku bergegas menembus keremangan tanpa jalan setapak, selalu mencari, mencari, mencari, makin lama makin panik sementara waktu terus berjalan, berusaha bergerak lebih cepat, meski kecepatan membuat langkahku kikuk. Kemudian aku akan sampai pada satu titik dalam mimpiku—dan aku bisa merasakannya datang sekarang, tapi rasanya aku tak pernah bisa menggugah diriku untuk bangun sebelum saat itu tiba—saat aku tidak bisa mengingat apa yang sebenarnya kucari. Waktu aku sadar tidak ada apa-apa yang bisa dicari, dan tidak
ada apa-apa yang bisa ditemukan. Bahwa tak pernah ada apa-apa kecuali hutan sepi yang kosong, dan tidak akan pernah ada apa-apa lagi
untukku. tidak ada apa-apa kecuali kehampaan.
Biasanya saat itulah teriakanku dimulai. Aku tidak memerhatikan ke mana aku mengendarai trukku—hanya berjalan tak tentu arah, menyusuri jalan tikus yang kosong dan basah karena aku sengaja menghindari jalan-jalan menuju rumahku—karena aku memang tak tahu
mau pergi ke mana.
Kalau saja aku bisa merasa kebas lagi, tapi aku tak ingat bagaimana dulu aku bisa membuat diriku merasa seperti itu. Mimpi buruk itu menggayuti pikiranku dan membuatku memikirkan hal-hal yang akan membuatku sedih. Aku tak ingin mengingat hutan. Bahkan saat aku bergidik dan menepis bayangan-bayangan itu, aku merasa air mataku merebak dan kepedihan mulai merayapi tubir lubang di dadaku. Kulepas saru tangan dari kemudi dan memeluk tubuhku agar tetap utuh.
Nantinya akan terasa seolah olah aku tak pernah ada. Kata-kata itu berkelebat di benakku, tak lagi terdengar jelas dan sempurna seperti halusinasiku semalam. Sekarang itu hanya kata-kata, tanpa suara, seperti tulisan yang tercetak di buku. Hanya kata-kata, tapi kata-kata itu mengoyak lubang di dadaku hingga terbuka lebar, dan aku menginjak rem keras-keras, tahu seharusnya aku tidak menyetir dalam keadaan seperti ini.
Aku membungkuk, menempelkan wajahku ke kemudi dan mencoba bernapas tanpa paru-paru. Aku bertanya-tanya berapa lama ini akan
berlangsung Mungkin suatu saat nanti, bertahuntahun dari sekarang—bila kepedihan itu mereda hingga ke tahap aku sanggup menanggungnya—aku akan bisa mengenang kembali beberapa bulan
pendek yang akan selalu menjadi masa-masa terindah dalam hidupku. Dan, jika kepedihan ini bisa cukup mereda hingga membuatku mampu
berbuat begitu, aku yakin akan merasa bersyukur atas waktu yang pernah ia berikan padaku. Lebih dari yang kuminta, lebih dari yang pantas kuterima. Mungkin suatu saat nanti aku bisa melihatnya seperti itu.
Tapi bagaimana jika lubang ini takkan pernah membaik? Bila tubirnya yang basah tak pernah sembuh? Bila kerusakannya permanen dan tak
bisa diperbaiki lagi? Kudekap diriku lebih erat lagi. Nantinya akan terasa seolah-olah ia tak pernah ada, pikirku merana. Janji yang sungguh tolol dan mustahil ditepati! Bisa saja ia mencuri foto-fotoku dan mengambil kembali hadiah-hadiahnya, tapi itu tidak mengembalikan keadaan seperti dulu, sebelum aku bertemu dengannya. Bukti fisik adalah bagian yang paling tidak signifikan. Aku telah diubah, bagian dalam diriku diubah hingga nyaris tak bisa dikenali lagi. Bahkan bagian luarku tampak berbeda—wajahku pucat kekuningan, putih kecuali bagian bawah mata yang berwarna ungu, hasil mimpi buruk yang tak berkesudahan. Mataku tampak gelap berlatar belakang kulitku yang pucat sehingga—meskipun seandainya aku cantik, dan dilihat dari dekat—aku bahkan bisa dikira vampir sekarang. Tapi aku tidak cantik, jadi kemungkinan aku lebih mirip zombie.
Seolah-olah ia tak pernah ada? Itu gila namanya. Janji yang takkan pernah bisa ia tepati, janji yang dilanggar segera setelah ia membuatnya. Aku membentur-benturkan kepalaku ke kemudi,
berusaha mengalihkan diriku dari kepedihan yang teramat sangat.
Itu membuatku merasa tolol, karena berpikir untuk selalu menepati janjiku. Di mana logisnya, menepati kesepakatan yang sudah dilanggar pihak satunya? Siapa yang peduli kalau aku melakukan perbuatan yang tolol dan ceroboh? Tak ada alasan menghindar dari kecerobohan, tak ada alasan mengapa aku tak boleh melakukan hal tolol.
Aku tertawa meski pikirku itu tidak lucu, masih megap-megap menghirup udara. Bertindak ceroboh di Forks—melakukan rencana itu di sini sama
sekali tak ada harapan. Humor tidak lucu itu mengalihkan perhatianku,
dan meredakan kepedihan hatiku. Napasku mulai mudah, dan aku bisa duduk bersandar ke kursi. Walaupun hari ini cuaca dingin, tapi dahiku basah oleh keringat.
Aku berkonsentrasi pada rencana tanpa harapan itu untuk mencegah pikiranku terbawa lagi ke kenangan yang menyakitkan. Melakukan hal
ceroboh di Forks membutuhkan kreativitas tinggi—mungkin lebih dari yang kumiliki. Tapi aku berharap bisa menemukan jalan. perasaanku
bakal lebih enak jika aku tidak berpegangan eraterat, sendirian, pada kesepakatan yang sudah dilanggar. Seandainya saja aku juga bisa
melanggar sumpahku sendiri. Tapi bagaimana aku bisa berbuat curang, di kota kecil yang aman tenteram ini? Tentu saja Forks tidak selalu aman. Tapi begitulah tampaknya keadaannya sekarang. Membosankan aman. Lama sekali aku memandang ke luar kaca depan, pikiranku bergerak lambat—sepertinya aku tak bisa membuat pikiranku berkelana ke tempat lain. Kumatikan mesin, yang mengerang dengan suara memilukan setelah tidak dijalankan begitu lama, lalu turun ke tengah hujan yang mengguyur.
Hujan dingin menetes-netes dari rambutku, kemudian mengalir menuruni pipi bagai air mata. Air hujan membantu menjernihkan kepalaku. Aku mengerjap-ngerjapkan air dari mataku, menatap kosong ke seberang jalan.
Setelah memandang selama satu menit, barulah aku menyadari di mana aku berada. Aku memarkir trukku di tengah-tengah jalur utara Russell
Avenue. Aku berdiri di depan rumah keluarga Cheney—trukku menghalangi jalan masuk ke garasi mereka—dan di seberang jalan tinggal keluarga Marks. Aku tahu aku harus memindahkan trukku, dan bahwa aku harus pulang. Salah besar berkeliaran tanpa tujuan seperti ini, pikiran melantur dan linglung, membahayakan keselamatan pengemudi lain di Forks. Selain itu, sebentar lagi pasti ada orang yang bakal melihatku, dan melaporkanku pada Charlie.
Saat menghela napas dalam-dalam untuk bersiap-siap sebelum bergerak, sebuah pengumuman di halaman rumah ke-luarga Marks menarik perhatianku—sebenarnya itu hanyalah potongan kardus yang disandarkan di kotak pos, dengan tulisan huruf-huruf balok hitam di atasnya.
Terkadang, takdir benar-benar terjadi. Kebetulan? Atau memang sudah ditakdirkan. seperti itu? Entahlah, tapi tolol rasanya berpikir bahwa entah bagaimana sudah ditakdirkan bahwa sepeda-sepeda motor rongsok karatan di halaman depan rumah keluarga Marks, di sebelah pengumuman bertulis tangan DIJUAL, SEBAGAIMANA ADANYA, memiliki tujuan lain yang lebih besar dengan berada di sana, tepat di tempat aku membutuhkannya.
Jadi mungkin itu bukan takdir. Mungkin ada banyak cara untuk bertindak ceroboh, dan baru sekarang mataku terbuka. Ceroboh dan tolol. Itu dua kata favorit Charlie sehubungan dengan sepeda motor. Pekerjaan Charlie tidak sebanyak pekerjaan polisi di kota-kota besar, tapi ia sering mendapat panggilan dalam kasus-kasus kecelakaan lalu lintas. Dengan jalan bebas hambatan yang panjang dan basah, berkelok-kelok dan berbelok menembus hutan, tikungan buta demi tikungan buta, mudah
saja melakukan aksi semacam itu. Tapi bahkan dengan adanya truk-truk tronton yang melaju lambat mengangkut kayu, sebagian besar orang
memilih tak melakukannya. Kecuali mereka yang mengendarai sepeda motor, dan Charlie sudah terlalu sering melihat korban-korban berjatuhan, hampir selalu anak-anak, tergeletak di jalan raya.
Ia pernah menyuruhku berjanji sebelum aku berumur sepuluh tahun, untuk tidak pernah naik motor. Bahkan di usia semuda itu, aku tak perlu
berpikir dua kali sebelum berjanji. Siapa yang mau naik motor di sini? Rasanya seperti mandi dalam kecepatan sembilan puluh kilo meter per jam. Begitu banyak janji yang kutepati. Saat itulah sebuah ide muncul di kepalaku. Aku ingin melakukan hal yang tolol dan ceroboh, dan aku ingin melanggar janji. Mengapa harus berhenti pada satu hal saja?
Hanya sampai sejauh itu aku memikirkannya. Kuterobos genangan air hujan menuju pintu depan rumah keluarga Marks dan menekan bel.
Salah seorang anak lelaki keluarga Marks, yang lebih muda, yang baru masuk SMA membukakan pintu. Aku tak ingat namanya. Rambut pirang
pasirnya hanya sebahuku.
Anak itu mengenaliku. "Bella Swan?" serunya kaget.
“Berapi harga motor itu?" tanyaku, napasku terengah-engah, menyentakkan ibu jariku ke balik bahu ke arah benda yang dipajang di halaman
“Kau serius?” tanyanya.
"Tentu saja."
“Sepeda-sepeda motor itu sudah tidak bisa jalan."
Aku mendesah tak sabaran—itu sudah bisa kusimpulkan dan tulisan di pengumuman.
"Berapa?"
“Kalau kau benar-benar menginginkannya, ambil saja. Ibuku menyuruh ayahku memindahkan sepeda-sepeda motor itu ke jalan supaya diangkut truk sampah."
Kulirik lagi sepeda-sepeda motor itu dan menyadari keduanya bertengger di atas tumpukan rumput kering dan ranting-ranting mau."Kau yakin?”
"Tentu, mau tanya sendiri pada ibuku?” Mungkin lebih baik tidak melibatkan orang dewasa, siapa tahu ia akan menyampaikannya
pada Charlie.
"Tidak, aku percaya padamu."
“Kau mau aku membantumu?” cowok itu menawarkan diri. "Motor itu tidak enteng lho."
"Oke, trims. Tapi aku hanya butuh satu."
"Sebaiknya ambil saja dua-duanya," kata cowok itu. "Mungkin kau bisa menggunakan onderdilnya."
Cowok itu mengikutiku keluar ke tengah curahan hujan dan membantuku menaikkan kedua motor yang berat itu ke bak belakang
trukku. Sepertinya ia bersemangat sekali ingin menyingkirkannya, jadi aku tidak membantah.
"Memangnya apa yang mau kaulakukan dengan sepeda-sepeda motor itu?" tanyanya. "Sudah bertahun-tahun tidak bisa jalan"
"Sudah kuduga," kataku, mengangkat bahu. Karena ide ini muncul mendadak, aku belum sempat menyusun rencana apa pun. "Mungkin aku akan membawanya ke bengkel Dowling."
Cowok itu mendengus. "Dowling akan meminta ongkos perbaikan lebih mahal daripada harga motornya sendiri."
Itu benar. John Dowling terkenal sering memasang tarif mahal; tak ada yang mau membetulkan mobil di bengkelnya kecuali terpaksa. Kebanyakan lebih suka pergi ke bengkel di Port Angeles, kalau mobilnya masih bisa jalan. Dalam hal itu, aku sangat beruntung—awalnya aku sempat khawatir, waktu Charlie menghadiahiku truk antik ini, bahwa aku takkan bisa merawatnya. Tapi ternyata aku tak pernah
mengalami masalah apa pun, kecuali suara mesinnya yang berisik dan batas maksimal kecepatannya yang hanya 88 kilometer per jam.
Jacob Black telaten merawatnya sejak mobil ini masih menjadi milik ayahnya, Billy. Ilham menyambarku bagai sambaran petir— bukan hal yang tidak masuk akal, mengingat saat ini sedang hujan badai. "Kau tahu nggak? Itu bukan masalah. Aku kenal orang yang jago mengutak-atik mobil"
"Oh. Baguslah kalau begitu," Cowok itu tersenyum lega.
Cowok itu melambaikan tangan waktu aku menjalankan trukku, masih terus tersenyum. Ramah juga dia.
Sekarang aku ngebut dan memiliki tujuan, ingin cepat-cepat sampai di rumah sebelum Charlie pulang, siapa tahu ia pulang lebih cepat, walaupun kecil sekali kemungkinan itu bakal terjadi. Aku menghambur ke dalam rumah menuju pesawat telepon, masih sambil menggenggam kunci mobil.
"Kepala Polisi Swan, please," kataku waktu teleponku dijawab seorang deputi. "Ini Bella.”
"Oh, hai, Bella," sahut Deputi Steve ramah.
"Akan kupanggilkan dia" Aku menunggu.
"Ada apa, Bella?" tuntut Charlie begitu mengangkat telepon.
"Apa aku tidak boleh menelepon Dad kalau tidak ada masalah gawat?"
Charlie terdiam sebentar. "Kau tidak pernah menelepon sebelumnya. Apakah ada masalah?"
"Tidak. Aku hanya ingin menanyakan arah jalan ke rumah keluarga Black—sepertinya aku sudah tidak ingat lagi. Aku ingin mengunjungi Jacob. Sudah berbulan-bulan aku tidak bertemu dengannya."
Ketika Charlie berbicara lagi, suaranya terdengar jauh lebih gembira. "Ide yang bagus sekali, Bells. Ada bolpoin?"
Arahan yang ia berikan sangat sederhana. Aku berjanji akan pulang saat makan malam, walaupun Charlie mencoba mengatakan tak perlu terburuburu. Ia ingin bergabung denganku di La Push, tapi aku menolak keras. Jadi dengan niat pulang tepat waktu aku mengendarai truk ku terlalu cepat menyusuri jalan-jalan ke luar kota yang gelap oleh hujan
badai. Harapanku, aku bisa menemui Jacob sendirian. Billy mungkin akan mengadukanku kalau ia mengetahui rencanaku.
Sembari menyetir, aku agak waswas memikirkan reaksi Billy nanti bila bertemu denganku. Ia pasti girang sekali. Dalam benak Billy tak diragukan lagi, ini semua berakhir jauh lebih baik daripada yang
berani ia harapkan. Kegembiraan dan kelegaannya hanya akan mengingatkanku pada satu hal yang tak sanggup kuingat. Hari ini jangan lagi, aku memohon dalam hati. Aku sudah lelah.
Rumah keluarga Black samar-samar masih familier, rumah kayu kecil dengan jendela-jendela sempit dan cat merah kusam yang membuatnya
mirip lumbung kecil. Kepala Jacob sudah nongol dari jendela bahkan sebelum aku sempat turun dari truk. Tak diragukan lagi, raungan suara mesin yang familier memberi tahukan kedatanganku padanya. Jacob sangat bersyukur waktu Charlie membeli mobil truk Billy untukku,
menyelamatkannya dari keharusan mengendarai truk ini kalau sudah cukup umur. Aku sangat menyukai trukku, tapi Jacob sepertinya menganggap batas kecepatan truk ini sebagai kekurangan.
Ia berlari menyongsongku.
"Bella!" Cengiran senang tersungging lebar di wajahnya, giginya yang putih cemerlang tampak sangat kontras dengan kulitnya yang cokelat
kemerahan. Sebelum ini aku tak pernah melihat rambutnya tidak dikucir. Kini rambutnya tergerai seperti tirai satin hitam di sisi kiri dan kanan
wajahnya yang lebar. Jacob tumbuh semakin dewasa dalam delapan
bulan terakhir. Ia melewati titik di mana otot-otot masa kanak-kanaknya mengeras membentuk sosok remaja bertubuh padat dan tegap; otot-otot
tendon dan urat nadinya semakin jelas di balik kulit lengan dan tangannya yang merah cokelat.
Wajahnya masih semanis yang kuingat, meski kini juga mulai menegas – tulang pipinya semakin tajam, rahangnya persegi, semua kemontokan
masa kecil telah lenyap.
"Hai, Jacob!” Aku merasakan dorongan antusiasme yang tidak biasa begitu melihat senyumnya. Sadarlah aku bahwa aku senang bertemu dengannya. Kenyataan itu mengejutkanku.
Aku membalas senyumnya, dan sesuatu terbetik dalam pikiranku, bagaikan dua keping puzzle yang menyatu. Aku sudah lupa betapa aku sangat menyukai Jacob Black.
Jacob berhenti beberapa meter dariku, dan aku mendongak menatapnya dengan terkejut, kepalaku menengadah jauh ke belakang hingga hujan menetes-netes membasahi wajahku.
"Kau semakin jangkung!" tuduhku takjub.
Jacob tertawa, senyumnya semakin lebar.
"Seratus sembilan puluh dua sentimeter lebih," ia memberi tahu dengan perasaan puas diri. Suaranya semakin berat, tapi masih sedikit serak
seperti yang kuingat dulu.
"Apakah kau akan berhenti tumbuh?" aku menggeleng-geleng tak percaya. "Besar sekali kau."
"Masih kurus, tapi." Ia nyengir. "Ayo masuk! Nanti kau basah kuyup."
Jacob berjalan menduluiku, memilin rambutnya dengan tangannya yang besar sambil berjalan. Ia mengeluarkan karet gelang dan saku celana dan mengikat rambutnya.
“Hai, Dad," serunya waktu kami merunduk melewati pintu depan. "Lihat siapa yang datang."
Billy sedang di ruang tamunya yang mungil, tangannya memegang buku. Ia meletakkan buku itu di pangkuan dan menggelindingkan kursi
rodanya ke depan begitu melihatku.
"Well kejutan besar! Senang bertemu denganmu. Bella."
Kami bersalaman. Tanganku lenyap dalam genggamannya yang lebar.
"Apa yang membawamu ke sini? Charlie baikbaik saja, kan?"
"Ya, tentu. Aku hanya ingin bertemu Jacob—aku sudah lama sekali tidak bertemu dengannya."
Mata Jacob berbinar-binar mendengar jawabanku. Senyumnya lebar sekali hingga pipinya pasti terasa sakit.
"Bisakah kau makan malam di sini?" Billy juga bersemangat.
"Tidak, aku kan harus memasak untuk Charlie, Anda tahu."
"Ah, aku kan bisa meneleponnya sekarang," Billy menyarankan. "Pintu rumah ini selalu terbuka untuknya."
Aku tertawa untuk menyembunyikan kecanggunganku. "Bukan berarti Anda tidak akan bertemu lagi denganku. Aku janji akan kembali lagi
ke sini—saking seringnya sampai Anda bosan melihatku." Bagaimanapun, kalau Jacob bisa membetulkan motor itu, harus ada yang mengajariku mengendarainya. Billy menanggapi perkataanku dengan berdecak.
"Oke, mungkin lain kali"
"Jadi, Bella, kau ingin melakukan apa?" tanya Jacob.
"Terserah. Apa yang sedang kaulakukan waktu aku datang tadi?" Anehnya, aku merasa nyaman di sini. Rumah ini familier, meski terasa berjarak. Tak ada yang membuatku teringat pada masa laluku
yang menyakitkan. Jacob ragu-ragu. "Aku baru mau mengutak-atik
mobilku, tapi kita bisa melakukan hal lain."
"Tidak, itu sempurna!" selaku. "Aku ingin sekali melihat mobilmu."
“Oke" sahut Jacob, tak yakin. "Ada di belakang, di garasi."
Malah lebih baik, batinku. Aku melambai pada Billy. "Sampai ketemu lagi nanti.”
Pepohonan rindang dan semak belukar menyembunyikan garasi dari rumah. Garasi itu sebenarnya tak lebih dari dua pondok besar yang
disatukan. Di dalamnya, di atas blok sinder, bertengger sesuatu yang dalam pandanganku menyerupai mobil utuh. Aku mengenali simbol di grille depannya, paling tidak.
“Volkswagen apa itu?" tanyaku.
“Volkswagen Rabbit—keluaran 1986, mobil klasik."
“Bagaimana keadaannya:"
"Hampir selesai," jawab Jacob riang. Kemudian suaranya turun satu oktaf. “Ayahku menepati janjinya padaku musim semi lalu."
"Ah," ucapku.
Tampaknya Jacob memahami keenggananku untuk mengungkit lagi topik itu. Aku mencoba untuk tidak mengingat kejadian saat prom bulan
Mei. Ketika itu Jacob disuap ayahnya dengan janji akan diberi uang dan onderdil mobil asalkan mau menyampaikan pesan untukku ke sana. Billy ingin aku menjauh dari orang terpenting dalam hidupku. Ternyata kekhawatirannya, akhirnya, tidak beralasan. Aku malah terlalu aman sekarang. Tapi aku bertekad akan melakukan sesuatu untuk mengubahnya.
"Jacob, kau tahu seluk-beluk motor?” tanyaku. Jacob mengangkat bahu. "Lumayan. Temanku Embry punya motor trail. Kadang-kadang kami
mengutak-atiknya. Kenapa?"
Well." Aku mengerucutkan bibir sambil menimbang-nimbang. Aku ragu apakah Jacob bisa merahasiakan hal ini, tapi aku tak punya banyak
pilihan. "Belum lama ini aku mendapat sepasang sepeda motor, tapi kondisinya tidak bagus. Aku ingin tahu apakah kau bisa membetulkannya."
“Asyik" Jacob tampak benar-benar senang mendapat tantangan itu. Wajahnya berseri-seri.
"Akan kucoba." Aku mengacungkan jari, mengingatkan.
"Masalahnya," aku menjelaskan. "Charlie tidak suka aku naik motor. Jujur saja, bisa jadi urat nadi di dahinya bakal putus kalau dia tahu tentang hal ini. Jadi kau tidak boleh memberi tahu Billy."
"Tentu, tentu." Jacob tersenyum. "Aku mengerti."
"Aku akan membayarmu," sambungku.
Jacob tersinggung mendengarnya. "Tidak. Aku ingin membantu. Kau tidak boleh membayarku."
"Well. bagaimana kalau barter saja?" Usulan itu muncul begitu saja di benakku sementara aku bicara, tapi kedengarannya cukup masuk akal.
"Aku hanya butuh satu motor—dan aku juga ingin diajari menaikinya. Jadi bagaimana kalau begini? Aku akan memberimu satu sepeda motor,
kemudian kau bisa mengajariku cara mengendarainya."
"Ke-reeen." Jacob mengucapkan kata itu dalam dua silabel.
"Tunggu sebentar—kau sudah cukup umur belum? Ulang tahunmu kapan?"
"Sudah lewat," goda Jacob, menyipitkan mata, pura-pura marah. "Sekarang aku sudah enam belas."
"Kayak umur bisa menghentikanmu saja sebelum ini,” aku menggerutu. "Maaf aku lupa hari ulang tahunmu.”
"Tidak apa-apa. Aku juga lupa hari ulang tahunmu. Umur mu berapa, empat puluh?"
Aku mendengus. "Hampir."
“Kita satukan saja pesta ulang tahun kita untuk merayakannya."
"Kedengarannya seperti kencan.”
Mata Jacob berbinar mendengarnya. Aku harus mengekang antusiasmenya sebelum ia telanjur salah sangka—hanya saja sudah lama sekali aku tak pernah lagi merasa seringan dan sebebas ini. Jarangnya aku merasakan perasaan itu membuatnya jadi lebih sulit dikendalikan.
"Mungkin kalau motornya sudah selesai dibetulkan— hitung-hitung hadiah untuk kita," aku menambahkan.
“Setuju. Kapan kau akan membawanya ke sini?"
Aku menggigit bibir, malu. "Sudah ada di trukku" aku mengakui.
“Bagus." Kelihatannya ia bersungguh-sungguh.
“Apakah Billy bakal melihat kalau kita membawanya ke sini?”
Jacob mengedipkan mata. "Diam-diam saja, kalau begitu."
Kami menyelinap mengitari rumah dari sisi timur, merapat ke pepohonan bila kami bisa terlihat dari jendela, berlagak seperti sedang jalan
jalan, untuk berjaga-jaga. Jacob dengan cekatan menurunkan sepeda-sepeda motor itu dari bak truk, mendorongnya satu per satu ke semak
tempat aku bersembunyi. Enteng saja kelihatannya baginya—padahal seingatku sepeda-sepeda motor itu berat, sangat berat.
"Kondisinya tidak parah-parah amat kok," kata Jacob, menilai kondisi sepeda-sepeda motor itu sementara kami mendorongnya ke bawah naungan pepohonan. "Yang satu ini malah bisa bernilai tinggi kalau sudah dibetulkan—ini Harley Sprint kuno."
"Kalau begitu, itu punyamu."
"Kau yakin?'
"Jelas.”
"Tapi untuk membetulkannya butuh banyak biaya," kata Jacob, mengerutkan kening memandangi bagian-bagian sepeda motor yang
sudah menghitam. "Kita harus menabung dulu untuk bisa membeli onderdil."
"Bukan kita,” tolakku. "Kalau kau mau membetulkannya gratis, akulah yang akan membeli onderdilnya."
"Entahlah.," gumam Jacob.
"Aku punya sedikit uang tabungan. Dana kuliah, kau tahu." Masa bodoh dengan kuliah, pikirku dalam hati. Aku toh tidak menabung tidak cukup
banyak untuk pergi ke suatu tempat istimewa—lagi pula, aku toh tidak berniat meninggalkan Forks. Apa bedanya kalau aku membobol tabunganku sedikit?
Jacob hanya mengangguk. Semua itu masuk akal saja baginya.
Sementara kami mengendap-endap kembali ke garasi, aku memikirkan keberuntunganku. Hanya cowok remaja yang mau melakukan ini: menipu orangtua kami dengan membetulkan kendaraan berbahaya dan menggunakan uang yang seharusnya ditabung untuk kepentingan kuliah. Ia tidak melihat ada yang salah dengan hal itu. Jacob benar-benar anugerah dari para dewa.


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates