October 01, 2014

Baca Online New Moon part 16

16. PARIS
SAAT itulah kepalaku menyembul ke permukaan. Sungguh membingungkan. Padahal aku yakin aku tenggelam. Arus tak mau menyerah begitu saja. Gelombang menghantamku lagi ke bebatuan; batu-batu itu memukul bagian tengah punggungku dengan keras, berirama, mendorong air keluar dari paruparuku.
Air menggerojok keluar dalam volume mengagumkan, mengucur deras dari mulut dan hidungku. Garam terasa panas membakar dan paru-paruku terbakar, dan kerongkonganku dipenuhi air hingga aku tak bisa menarik napas dan batu-batu itu menyakiti punggungku. Entah
bagaimana aku bisa bertahan di satu tempat, padahal ombak masih menggelora di sekelilingku. Aku tak bisa melihat apa-apa kecuali air di manamana, menggapai wajahku.
"Bernapaslah!" sebuah suara, penuh kepanikan, memerintahkan, dan aku merasa hariku bagai tertusuk pedih waktu mengenali suara itu—karena itu bukan suara Edward.
Aku tak bisa mematuhinya. Air terjun yang menggerojok deras dari mulutku tidak memberiku kesempatan untuk menarik napas. Air hitam
sedingin es memenuhi dadaku, membuatnya seperti terbakar.
Batu itu kembali menghantam punggungku, tepat di antara tulang bahu, dan air kembali terdorong keluar dari paru, paruku.
"Bernapaslah, Bella! Ayolah!" Jacob memohonmohon.
Bintik-bintik hitam bermunculan dalam pandanganku, semakin lebar dan semakin lebar, menghalangi cahaya. Batu itu menghantamku lagi.
Batu itu tidak dingin seperti air; rasanya justru panas di kulitku. Sadarlah aku bahwa itu tangan Jacob, berusaha mengeluarkan air dari paruparuku. Batang besi yang menyeretku dari laut juga. hangat. Kepalaku berputar, bintik-bintik hitam tadi menutupi segalanya.
Apakah itu berarti aku sekarat lagi? Aku tidak suka—rasanya tidak seindah tadi. Sekarang hanya ada kegelapan, tidak ada yang bisa dilihat di sini. Deburan ombak mereda dalam kegelapan dan hilang sama sekali, bahkan suara wuss yang mirip ombak justru datang dari bagian dalam telingaku.
"Bella?" panggil Jacob, suaranya masih tegang, tapi tak sepanik sebelumnya. "Bells, Sayang, kau bisa mendengarku?"
Isi kepalaku berputar dan berguling memualkan, seolah-olah bergabung dengan air yang bergolak.
"Sudah berapa lama dia tidak sadar?" tanya seseorang.
Suara yang bukan suara Jacob membuatku terguncang, menyentakkanku ke kesadaran yang lebih terfokus.
Sadarlah aku bahwa aku diam tak bergerak. Tak ada arus yang menarik-narik tubuhku –pergolakan itu hanya ada dalam kepalaku..
Permukaan di bawahku datar dan tak bergerak. Rasanya kasar di bawah lenganku yang telanjang.
"Entahlah," jawab Jacob, masih terdengar kalut. Suaranya sangat dekat. Tangan-tangan itu—begitu hangat hingga itu pasti tangannya—menyingkirkan rambut-rambut basah dari pipiku. "Beberapa menit? Tidak butuh waktu lama menariknya ke pantai."
Suara wuss pelan di dalam telingaku bukanlah suara ombak—melainkan udara yang keluarmasuk paru-paruku lagi. Setiap tarikan napas terasa panas—saluran napasku lecet, seperti habis disikat dengan wol baja. Tapi aku bernapas. Dan aku membeku kedinginan. Ribuan butiran tajam sedingin es menghunjam wajah dan lenganku, membuat perasaan kedinginan itu semakin menjadi-jadi.
"Dia masih bernapas. Sebentar lagi dia pasti siuman. Tapi usahakan agar dia tidak kedinginan. Aku tidak suka melihat warna wajahnya." Kali ini aku mengenali suara Sam.
"Menurutmu tidak apa-apa bila kita memindahkannya?"
"Punggungnya tidak cedera kan, waktu dia jatuh?"
"Entahlah."
Mereka ragu-ragu. Aku berusaha membuka mata. Butuh waktu
cukup lama, tapi kemudian aku bisa melihat awanawan ungu gelap yang menghujamku dengan hujan yang dingin membekukan. "Jake?" panggilku dengan suara serak.
Wajah Jacob menghalangi langit. "Oh!" serunya, ekspresi lega menyaput wajahnya. Matanya basah oleh hujan. "Oh, Bella! Kau baik-baik saja? Kau bisa mendengarku, tidak? Ada yang sakit?"
"H-hanya t-tenggorokanku," jawabku terbatabata, bibirku gemetar kedinginan.
"Ayo, kami akan membawamu pergi dari sini," kata Jacob. Ia menyelipkan kedua lengannya di bawah tubuhku dan mengangkatku dengan mudah sekali—seperti mengangkat kardus kosong saja.
Dadanya telanjang dan hangat; ia merundukkan bahu untuk melindungiku dari hujan. Kepalaku terkulai di atas lengannya. Aku memandang kosong ke laut yang menggelora, memukuli pasir di
belakangnya.
“Bisa?" kudengar Sam bertanya.
"Ya, akan kuurus sendiri mulai sekarang. Kembalilah ke rumah sakit. Aku akan menyusulmu nanti. Trims, Sam."
Kepalaku masih berputar-putar. Tak satu pun perkataan Jacob yang bisa kucerna pada awalnya. Sam tidak menyahut. Tidak ada suara, dan aku bertanya-tanya dalam hati apakah ia sudah pergi. Air menjilat dan menjulur jauh memasuki pantai, mengejar kami sementara Jacob
membopongku pergi, seolah-olah marah karena aku lolos. Saat aku memandang dengan letih, mataku yang tidak fokus menangkap secercah warna—seberkas api kecil menari di air yang gelap, nun jauh di teluk. Gambaran itu tak masuk akal, dan aku bertanya-tanya seberapa sadar diriku sesungguhnya. Kepalaku berputar-putar
mengenang air hitam yang bergolak—kehilangan orientasi hingga tak tahu mana arah naik dan mana turun. Begitu tersesat. tapi entah
bagaimana Jacob.
"Bagaimana kau bisa menemukanku?" tanyaku parau.
“Aku memang mencarimu," jawabnya. Ia separo berlari menembus hujan, menjauhi pantai menuju ke jalan. "Aku mengikuti jejak ban mobilmu, kemudian aku mendengarmu menjerit." Jacob
bergidik. "Mengapa kau nekat terjun, Bella? Apakah tidak kaulihat sebentar lagi bakal badai? Apakah kau tidak bisa menungguku?" Nadanya dipenuhi amarah setelah kelegaan kini memudar.
"Maaf," gumamku. "Itu tadi memang tolol."
"Yeah, itu tadi benar-benar tolol," Jacob sependapat, tetesan air hujan berjatuhan dari rambutnya saat ia mengangguk. "Dengar, bisa
tidak kausimpan dulu hal-hal tolol itu sampai ada aku? Aku takkan bisa berkonsentrasi kalau kukira kau bakal terjun dari tebing tanpa sepengetahuanku."
"Tentu," sahutku setuju. "Bukan masalah." Aku terdengar seperti perokok berat. Aku berusaha membersihkan tenggorokkan—kemudian meringis; saat membersihkan tenggorokkan, rasanya seperti ditusuk pisau di sana. "Apa yang terjadi hari ini? Kau berhasil. menemukannya?" Sekarang ganti aku yang bergidik, walaupun aku tidak begitu kedinginan, menempel di tubuh Jacob yang panasnya tidak normal itu.
Jacob menggeleng. Ia masih terus berlari-lari kecil menyusuri jalan menuju ke rumahnya.
"Tidak. Dia kabur ke arah laut—lebih menguntungkan bagi para pengisap darah itu di sana. Itulah sebabnya aku langsung bergegas
pulang—aku takut dia akan menduluiku berenang ke sini. Kau begitu sering berada di pantai." Suara Jacob menghilang, terkesiap.
"Sam kembali bersamamu. jadi semua juga sudah pulang?" Aku berharap mereka sudah tidak lagi berada di luar dan mencarinya.
“Yeah. Semacam itulah."
Aku mencoba membaca ekspresinya, menyapitkan mata melawan hujan yang menderas. Sorot matanya tegang oleh kecemasan atau kesedihan.
Kata-kata yang tadi tak bisa kucerna mendadak langsung kupahami. "Kau tadi mengatakan rumah sakit. Sebelum ini, pada Sam. Apakah ada
yang terluka? Apakah dia melawan kalian?"
Suaraku melompat satu oktaf, terdengar aneh karena parau.
"Tidak, tidak. Waktu kami kembali, Em sudah menunggu hendak menyampaikan kabar. Tentang Harry Clearwater. Tadi pagi Harry terkena serangan jantung."
"Harry?” Aku menggeleng, berusaha mencerna perkataannya. "Oh, tidak! Charlie sudah tahu?"
"Yeah. Dia juga di sana, bersama ayahku."
"Apakah Harry akan bertahan?"
Mata Jacob kembali mengejang. "Sekarang ini kondisinya tidak begitu bagus."
Seketika itu juga aku merasa sangat bersalah—merasa benar-benar tidak enak telah dengan sembrono terjun dari tebing. Tak seharusnya
semua orang mengkhawatirkanku sekarang. Sungguh waktu yang sangat tidak tepat untuk melakukan hal ceroboh.
"Apa yang bisa kulakukan?" tanyaku.
Saat itulah hujan berhenti. Aku tidak sadar kami sudah sampai di rumah Jacob sampai ia berjalan melewati pintu. Badai menghantam atap.
"Kau bisa menunggu di sini" jawab Jacob sambil menurunkanku ke sofa pendek. "Aku bersungguhsungguh, Bella—tepat di sini. Akan kuambilkan pakaian kering."
Kubiarkan mataku menyesuaikan diri dengan ruangan yang gelap sementara Jacob sibuk mencari-cari di kamarnya. Ruang depan yang
sempit terasa sangat kosong tanpa Billy, nyaris menyedihkan. Anehnya, suasana terasa mengerikan—mungkin itu hanya karena aku tahu
ia sedang di mana. Sebentar Jacob sudah kembali. Ia melemparkan
setumpuk baju katun berwarna abu-abu. "Pasti kebesaran untukmu, tapi itu yang terbaik yang kupunya. Aku akan, eh, keluar sebentar supaya
kau bisa berganti baju."
"Jangan ke mana-mana. Aku masih terlalu lelah untuk bergerak. Temani saja aku."
Jacob duduk di lantai di sebelahku, punggungnya bersandar di sofa. Aku penasaran kapan terakhir kali ia tidur. Ia tampak letih yang kurasakan.
Jacob membaringkan kepalanya di bantal di sebelahku dan menguap. "Kurasa aku bisa istirahat sebentar."
Matanya terpejam. Kubiarkan mataku terpejam juga.
Kasihan Harry. Kasihan Sue. Aku tahu Charlie pasti sangat kalut. Harry sahabatnya. Meskipun Jake tadi merasa sangsi, aku justru sangat
berharap Harry bisa sembuh kembali. Demi Charlie. Demi Sue, Leah, dan Seth. Sofa Billy letaknya persis di sebelah radiator, jadi aku merasa hangat sekarang, meskipun pakaianku basah kuyup. Paru-paruku yang sakit mendorongku ke keadaan tidak sadar, bukan malah membuatku terus terjaga. Samar-samar aku sempat berpikir apakah aku boleh tidur. atau aku mencampuradukkan tenggelam dengan gegar otak.? Jacob mulai mendengkur pelan, dan dengkurannya menenangkanku seperti ninabobo.
Dengan cepat aku tertidur. Untuk pertama kali dalam kurun waktu sangat lama, mimpiku sama seperti mimpi-mimpi normal lainnya. Hanya berkeliaran dalam ingatan samar ke kenangan-kenangan lama— melihat matahari kota Phoenix yang teriknya membutakan, wajah
ibuku, rumah pohon bobrok, selimut quilt kusam, dinding kaca, api di air yang gelap. aku langsung lupa pada gambaran yang satu begitu gambaran yang lain muncul.
Gambaran terakhir adalah satu-satunya yang bertahan dalam ingatanku. Tidak berarti apa-apa—hanya dekorasi di sebuah panggung. Sebuah
balkon di waktu malam, dengan lukisan bulan purnama menggantung di langit. Kulihat seorang gadis bergaun tidur mencondongkan tubuh di birai balkon dan berbicara sendiri.
Tidak berarti apa-apa. tapi ketika lambat laun kesadaranku pulih, nama Juliet muncul dalam benakku. Jacob masih tidur; ia merosot ke lantai, tarikan napasnya dalam dan teratur. Suasana rumah lebih gelap daripada sebelumnya, di luar jendela gelap gulita. Tubuhku kaku, tapi hangat dan hampir kering. Bagian dalam tenggorokanku bagai dibakar
setiap kali aku menarik napas. Aku harus bangkit—setidaknya untuk minum.
Tapi tubuhku ingin terus berbaring di sini, tidak pernah bergerak lagi.
Alih-alih bergerak, aku malah memikirkan Juliet lagi. Aku bertanya-tanya dalam hari, apa yang akan ia lakukan seandainya Romeo meninggalkannya, bukan karena dilarang menemuinya, tapi karena
kehilangan minat? Bagaimana seandainya Rosalind memberinya kesempatan, dan Romeo berubah pikiran? Bagaimana seandainya, alih-alih menikahi Juliet, Romeo justru menghilang?
Kurasa aku tahu bagaimana perasaan Juliet. Juliet pasti takkan kembali ke kehidupan lamanya, tidak terlalu. Ia tidak mungkin melanjutkan hidup, aku yakin itu. Bahkan seandainya ia hidup sampai tua dan keriput, setiap kali memejamkan mata, wajah Romeo-lah yang akan selalu terbayang. Ia akan menerima kenyataan itu, pada akhirnya.
Aku bertanya-tanya apakah akhirnya Juliet akan menikah dengan Paris, hanya untuk membahagiakan orangtuanya, demi menjaga
ketenangan. Tidak, mungkin tidak, aku memutuskan. Tapi kisah itu memang tak banya  bercerita tentang Paris. Ia hanya peran pembantu
tempelan, ancaman, tenggat waktu untuk memaksa Juliet.
Bagaimana seandainya peran Paris lebih dari itu?
Bagaimana seandainya Paris teman Juliet? Sahabatnya? Bagaimana seandainya Paris satusatunya orang kepada siapa Juliet bisa
mencurahkan keluh kesahnya tentang hubungan cintanya yang gagal dengan Romeo? Satu-satunya orang yang benar-benar memahami Juliet dan membuatnya merasa seperti manusia normal lagi? Bagaimana seandainya Paris itu sabar dan baik? Menjaganya baik-baik? Bagaimana seandainya Juliet tahu ia tak mungkin bisa bertahan tanpa Paris? Bagaimana kalau Paris benar-benar mencintai Juliet dan ingin agar ia bahagia? Dan. bagaimana bila Juliet mencintai Paris?
Tidak sebesar cintanya pada Romeo. Sama sekali tidak seperti itu. tentu saja. Tapi cukup sampai Juliet ingin agar Paris bahagia juga?
Desah napas Jacob yang lambat dan dalam adalah satu-satunya suara di ruangan itu—seperti ninabobo yang digumamkan pada seorang anak,
seperti desir suara kursi goyang, seperti detak jarum jam tua di saat kau tidak perlu pergi ke mana-mana. Pendek kata, suara yang membawa
kedamaian. Seandainya Romeo benar-benar pergi, tak pernah kembali lagi, adakah bedanya seandainya Juliet menerima tawaran Paris atau tidak? Mungkin seharusnya Juliet mencoba mengais kembali kepingan-kepingan hidupnya yang masih tersisa. Mungkin itulah hal yang paling mendekati kebahagiaan yang bisa diraihnya. Aku mendesah, lalu mengerang saat desahan itu menggesek tenggorokanku. Aku terlalu jauh menghayati kisah itu. Romeo takkan mungkin berubah pikiran. Itulah sebabnya orang-orang masih mengenang namanya, selalu dikaitkan dengan nama kekasihnya: Romeo dan Juliet. Itulah sebabnya kisah itu indah. "Juliet dicampakkan dan akhirnya bersanding dengan Paris" tidak akan pernah menjadi hit.
Aku memejamkan mata dan kembali terlena, membiarkan pikiranku berkelana meninggalkan drama tolol yang tak i kupikirkan lagi. Aku malah memikirkan kenyataan—bagaimana aku terjun dari tebing serta bagaimana itu merupakan kesalahan yang sangat tolol. Dan bukan hanya lompat tebing, tapi juga sepeda motor dan ulahku yang tidak
bertanggung jawab, yang ingin menjadi seperti Evel Knievel. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk menimpaku? Apa akibatnya bagi Charlie? Serangan jantung yang menimpa Harry mendadak menempatkan segala sesuatu ke dalam perspektif yang benar. Perspektif yang tak ingin kulihat, karena—bila aku mengakui kebenarannya—itu berarti aku harus mengubah cara-caraku. Bisakah aku hidup seperti itu?
Mungkin. Itu takkan mudah; faktanya, justru akan sangat menyedihkan jika aku harus mengenyahkan halusinasiku dan berusaha bersikap dewasa. Tapi mungkin sebaiknya aku melakukannya. Dan mungkin aku bisa. Kalau ada Jacob. Aku tidak bisa memutuskannya sekarang. Itu
terlalu menyakitkan. Lebih baik aku memikirkan hal lain saja.
Bayangan-bayangan dari ulah cerobohku sore tadi berkecamuk dalam pikiranku sementara aku mencoba membayangkan hal yang menyenangkan untuk dipikirkan. desir angin saat aku jatuh, air
yang hitam pekat, tarikan arus. wajah Edward. aku memikirkannya lama sekali. Tangan Jacob yang hangat memukul-mukul punggungku,
berusaha membuatku kembali bernapas. Tetesan hujan yang tajam yang dicurahkan awan-awan ungu. api aneh di antara ombak.
Ada sesuatu yang familier tentang secercah warna di air itu. Tentu saja itu tak mungkin api—Pikiranku terputus oleh suara ban mobil melindas lumpur dijalan di luar Kudengar mobil itu berhenti di depan rumah, disusul kemudian dengan suara pintu-pintu dibuka dan ditutup.
Terpikir olehku untuk bangkit dan duduk, tapi kemudian mengurungkan niatku.
Mudah saja mengenali suara Billy. namun tidak seperti biasa, ia berbicara dengan nada sangat rendah, hingga hanya terdengar seperti gumaman serak. Pintu terbuka, lampu menyala. Aku mengerjapngerjapkan mata, buta sesaat. Jake tersentak bangun, terkesiap dan melompat berdiri.
"Maaf," geram Billy. "Kami membangunkan kalian, ya?"
Pelan-pelan mataku terfokus pada wajahnya, kemudian, begitu bisa membaca ekspresinya, air mataku langsung merebak.
"Oh, tidak, Billy!" erangku.
Billy mengangguk pelan, ekspresinya keras oleh dukacita. Jake bergegas menghampiri ayahnya dan meraih satu tangannya. Kesedihan membuat wajahnya tiba-tiba terlihat seperti anak kecil— tampak aneh di tubuhnya yang dewasa. Sam berdiri tepat di belakang Billy, mendorong
kursi rodanya melewati pintu. Pembawaan normalnya yang tenang tak terlihat di wajahnya yang pilu.
"Aku ikut sedih," bisikku.
Billy mengangguk. "Semua merasa kehilangan."
"Mana Charlie?"
"Ayahmu masih di rumah sakit bersama Sue. Banyak. yang harus diurus."
Aku menelan ludah susah payah.
"Sebaiknya aku segera kembali ke sana," gumam Sam, lalu cepat-cepat merunduk keluar dari pintu. Billy menarik tangannya dari genggaman Jacob, lalu menggelindingkan kursi rodanya melintasi dapur menuju kamarnya.
Jake mengawasi kepergiannya sebentar, lalu duduk lagi di lantai di sampingku. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kugosok-gosok bahunya, berharap tahu harus bilang apa. Lama kemudian baru Jacob meraih tanganku dan menempelkannya di wajah.
“Bagaimana perasaanmu? Kau baik-baik saja? Mungkin seharusnya aku membawamu ke dokter atau sebangsanya." Jacob mendesah.
"Tak perlu mencemaskan aku," kataku parau. Ia berpaling menatapku. Ada lingkaran merah di matanya. "Kau kelihatan payah."
"Aku memang agak kepayahan."
"Aku akan mengambil trukmu kemudian mengantarmu pulang—mungkin sebaiknya kau sudah di rumah kalau Charlie pulang nanti."
"Benar.”
Aku berbaring lunglai di sofa sambil menunggu. Billy tinggal di dalam kamar. Aku risi karena keberadaanku mengganggu tuan rumah yang ingin menyendiri dalam dukacitanya.
Tak lama kemudian Jake kembali. Raungan mesin trukku memecah keheningan sebelum aku mengharapkannya. Tanpa berkata apa-apa Jacob membantuku berdiri dari sofa, merangkul pundakku ketika hawa dingin di luar membuat tubuhku menggigil Tanpa bertanya lagi ia langsung duduk di balik kemudi, kemudian mendekapku rapat-rapat di sampingnya. Aku membaringkan kepalaku di dadanya.
“Bagaimana caramu pulang nanti?" tanyaku.
"Aku tidak akan pulang. Kami kan belum berhasil menangkap si pengisap darah itu, ingat?"
Tubuhku bergidik, bukan karena kedinginan. Sesudah itu kami lebih banyak berdiam diri. Hawa dingin membuatku terjaga. Pikiranku awas,
dan otakku bekerja sangat keras dan sangat cepat. Bagaimana seandainya? Tindakan tepat apa yang harus kulakukan? Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa Jacob sekarang—berusaha membayangkannya saja sudah membuatku ngeri. Bagaimanapun, ia telah menjadi bagian esensial yang membuatku bertahan hidup. Tapi membiarkan keadaan seperti apa adanya. apakah itu kejam, seperti yang dituduhkan Mike?
Aku ingat pernah berharap Jacob itu saudara lelakiku. Aku sadar sekarang, yang kuinginkan sebenarnya adalah mengklaimnya sebagai milikku. Rasanya seperti bukan saudara bila ia memelukku seperti ini. Pelukannya menyenangkan—hangat, nyaman, dan familier. Aman. Jacob adalah pelabuhan yang aman. Aku bisa mengklaimnya. Hal itu ada dalam jangkauanku.
Aku harus menceritakan semua padanya, aku tahu itu. Hanya itu satu-satunya cara bersikap adil. Aku harus menjelaskannya dengan benar,
supaya ia tahu aku bukannya membuka lembaran baru, bahwa ia terlalu baik bagiku. Ia sudah tahu aku hancur, bagian itu tidak akan membuatnya terkejut, tapi ia harus tahu seberapa parah kerusakannya. Aku bahkan harus mengakui bahwa aku gila—menjelaskan tentang suara-suara yang kudengar. Ia perlu mengetahui segalanya sebelum mengambil keputusan. Tapi, bahkan saat aku menyadari pentingnya
kejujuran itu, aku tahu Jacob akan menerimaku apa adanya. Ia bahkan tidak akan berpikir-pikir lagi.
Aku harus berkomitmen dalam hal ini—berkomitmen sebanyak yang masih tersisa dalam diriku, memberikan setiap kepingan yang tersisa.
Itu satu-satunya cara bersikap adil padanya. Maukah aku? Bisakah?
Salahkah berusaha membuat Jacob bahagia? Bahkan seandainya cinta yang kurasakan padanya tak lebih dari gema lemah dari apa yang dulu bisa kulakukan, walaupun hatiku jauh dari sini, berkelana dan menangisi Romeo-ku yang plinplan, apakah itu salah?
Jacob menghentikan trukku di depan rumahku yang gelap gulita, mematikan mesin hingga kesunyian tiba-tiba menyergap. Seperti yang
sudah-sudah, tampaknya ia bisa memahami jalan pikiranku sekarang.
Jacob mengulurkan lengannya yang lain untuk memelukku, meremukkanku ke dadanya, mendekapku erat-erat. Lagi-lagi, rasanya
menyenangkan. Nyaris seperti manusia utuh lagi. Kukira Jacob pasti memikirkan Harry, tapi kemudian saat berbicara, nadanya meminta maaf. "Maaf. Aku tahu kau tidak merasa seperti yang kurasakan, Bells. Sumpah aku tidak keberatan. Aku hanya senang kau tidak keberatan aku bisa bernyanyi—padahal itu bukan nyanyian yang ingin didengar orang." Jacob mengumandangkan tawa sengaunya di telingaku.
Napasku melejit satu tingkat, mengamplas dinding-dinding tenggorokanku.
Tidak mungkinkah Edward, meski terkesan tidak peduli, ingin agar aku bahagia? Tidakkah masih tersisa sedikit perasaan sayang sebagai teman dalam dirinya untuk menginginkan itu bagiku? Kurasa pasti masih. Edward tidak mungkin marah padaku karena hal ini: memberikan secuil cinta yang tidak ia inginkan pada temanku Jacob. Lagi pula, itu bukan cinta yang sama. Jake menempelkan pipinya yang hangat ke
puncak kepalaku. Jika aku memalingkan wajahku ke samping— jika aku menempelkan bibirku ke bahunya yang telanjang. aku tahu benar apa yang akan terjadi selanjutnya. Mudah sekali. Tidak perlu ada penjelasan apa-apa malam ini.
Tapi bisakah aku melakukannya? Mampukah aku mengkhianati hatiku yang hampa demi menyelamatkan hidupku yang menyedihkan? Kupu-kupu menggelepar dalam perutku saat aku berpikir untuk memalingkan kepala. Kemudian, sama jelasnya seperti bila aku berada dalam bahaya besar, suara Edward yang sehalus beledu berbisik di telingaku.
"Berbahagialah," katanya.
Aku langsung membeku. Jacob merasakan tubuhku mengejang dan
otomatis melepaskan pelukannya, menggapai ke pintu.
Tunggu, aku ingin berseru. Tunggu sebentar. Tapi aku masih terpaku di tempat, mendengarkan gema suara Edward dalam kepalaku. Udara yang dingin oleh badai berembus masuk ke truk.
"OH!" Napas Jacob tersentak keluar, seolah-olah seseorang meninju perutnya. "Sialan!” Jacob membanting pintu dan memutar kunci
mobil pada saat bersamaan. Kedua tangannya gemetar sangat hebat hingga aku tak tahu bagaimana ia bisa melakukannya.
"Ada apa?"
Jacob meraungkan mesin terlalu cepat; mesin terbatuk-batuk dan mati.
"Vampir," semburnya.
Darah surut dan kepalaku dan membuatku pening. "Bagaimana kau tahu?'
"Karena aku bisa menciumnya! Sialan!” Mata Jacob liar, jelalatan menjelajahi jalanan yang gelap. Tampaknya ia tidak terlalu menyadari
getaran yang menjalari sekujur tubuhnya.
"Berubah atau membawanya pergi dari sini?" desisnya pada diri sendiri.
Ia menunduk menatapku sekilas, melihat sorot mataku yang ketakutan dan wajahku yang pucat, kemudian matanya menyapu jalanan lagi. "Baiklah. Kubawa kau pergi dari sini."
Mesin menyala dengan suara meraung. Ban-ban berdecit saat ia memutar truk ke arah berlawanan, berbalik menuju satu-satunya tempat kami bisa meloloskan diri. Lampu truk menyapu trotoar, menerangi bagian depan hutan yang gelap, dan akhirnya memantul pada mobil yang diparkir di seberang jalan depan rumahku.
"Berhenti!" aku terkesiap kaget. Itu mobil hitam—mobil yang kukenal. Aku memang paling tidak tahu apa-apa soal mobil, tapi kalau mobil yang satu itu, aku hafal benar. Itu Mercedez S55 AMG. Aku tahu berapa tenaga kuda daya mesinnya serta warna interiornya. Aku tahu
bagaimana rasanya mesin yang bertenaga itu menderum dari bagian dalamnya. Aku tahu bagaimana aroma jok kulitnya yang mewah serta
bagaimana lapisan kaca filmnya yang ekstra gelap membuat tengah hari terasa seperti senja dari balik jendela-jendelanya.
Itu mobil Carlisle.
"Berhenti!" pekikku lagi, kali ini lebih keras, karena Jacob memacu trukku secepat-cepatnya menjauhi jalan.
“Apa?!"
"Itu bukan Victoria. Berhenti, berhenti! Aku ingin kembali."
Jacob menginjak rem begitu dalam hingga aku terpaksa menahan tubuhku di dasbor agar tidak terbentur.
"Itu mobil Carlisle! Itu milik keluarga CuUen. Aku kenal mobil itu.
Jacob melihat fajar merekah di wajahku, dan sekujur tubuhnya berguncang hebat.
"Hei, tenanglah, Jake. Tidak apa-apa. Tidak ada bahaya, kaulihat? Rileks."
"Yeah, tenang," sahut Jacob dengan napas terengah-engah, menundukkan kepala dan memejamkan mata. Sementara ia berkonsentrasi agar tidak meledak menjadi serigala, aku menoleh
ke belakang dan memandangi mobil hitam itu. Itu hanya Carlisle, kataku pada diri sendiri. Jangan berharap lebih. Mungkin juga Esme. Hentikan sekarang juga, kataku pada diri sendiri. Hanya Carlisle. Itu saja sudah luar biasa. Lebih dari yang kuharapkan akan pernah terjadi lagi.
"Ada vampir di rumahmu," desis Jacob. "Tapi kau malah ingin kembali?"
Aku meliriknya, dengan enggan mengalihkan mataku dari Mercedes itu—takut mobil itu bakal menghilang begitu aku melirik ke tempat lain.
"Tentu saja," kataku, suaraku hampa karena terkejut mendengar pertanyaannya. Tentu saja aku ingin kembali.
Wajah Jacob mengeras saat aku memandanginya, membentuk topeng getir yang kusangka sudah lenyap untuk selamanya. Tepat sebelum topeng iu menutupi wajahnya, aku sempat menangkap kejang pengkhianatan berkelebat dari matanya. Kedua tangannya masih gemetar. Ia tampak sepuluh tahun lebih tua daripadaku.
Ia menarik napas dalam-dalam. "Kau yakin itu bukan tipuan?”
“Itu bukan tipuan. Itu Carlisle. Antar aku kembali!"
Guncangan hebat melanda bahunya yang lebar, tapi matanya datar dan tanpa emosi. "Tidak."
"Jake, tidak apa-apa—"
"Tidak. Pulanglah sendiri, Bella." Suara Jacob terdengar bagai tamparan – aku tersentak saat suaranya menghantamku. Dagunya mengejang dan mengendur.
"Begini, Bella," sambungnya dengan suara sama kerasnya. "Aku tidak bisa kembali ke sana. Ada kesepakatan atau tidak, itu musuhku yang ada di dalam sana."
"Tidak seperti itu—"
"Aku harus segera memberi tahu Sam. Ini mengubah semuanya. Kami tidak boleh tertangkap saat ada dalam teritorial mereka."
"Jake, ini bukan perang!"
Jacob tak menggubris kata-kataku. Dia memasukkan gigi netral lalu melompat keluar dari pintu, membiarkan mesin tetap menyala.
"Bye, Bella," serunya sambil menoleh sebentar.
"Aku benar-benar berharap kau tidak mati." Ia berlari kencang menembus kegelapan, tubuhnya bergetar sangat hebat hingga sosoknya terlihat kabur; ia sudah lenyap sebelum aku sempat
membuka mulut untuk memanggilnya kembali.
Rasa bersalah membuatku terhenyak sebentar. Apa yang kulakukan pada Jacob? Tapi rasa bersalah tak mampu menahanku
terlalu lama. Aku bergeser ke kursi sebelah dan memasukkan gigi. Kedua tanganku getaran, sama seperti tangan Jake tadi, dan aku harus berkonsentrasi penuh. Lalu dengan hati-hati aku memutar truk dan
membawanya lagi ke rumahku. Gelap gulita setelah aku mematikan lampu mobil. Charlie begitu tergesa-gesa berangkat hingga lupa menyalakan lampu teras. Sejenak aku sempat ragu, memandangi rumah itu, muram disaput bayang-bayang. Bagaimana kalau ternyata
memang tipuan? Kupandangi lagi mobil hitam itu, nyaris tak terlihat di gelap malam. Tidak. Aku kenal mobil itu. Meski begitu, tetap saja tanganku gemetar, bahkan lebih hebat daripada sebelumnya, saat aku
meraih kunci di atas pintu. Saat memegang kenop pintu untuk membuka kuncinya, kenop terputar dengan mudah dalam genggamanku. Kubiarkan pintu terbentang lebar. Ruang depan gelap pekat. Aku ingin menyerukan sapaan, tapi tenggorokanku kelewat kering. Sepertinya aku tak mampu menarik napas. Aku maju selangkah memasuki rumah dan
meraba-raba mencari tombol lampu. Hitam pekat— seperti air hitam tadi. Mana sih tombol lampu?
Sama seperti air yang hitam tadi, dengan api Jingga menyala menjilat-jilat di atasnya, meski itu tidak mungkin. Tidak mungkin itu kobaran api,
tapi kalau begitu apa.? Jari-jariku menyusuri dinding, masih mencari-cari, masih gemetar. Tiba-tiba sesuatu yang dikatakan Jacob sore tadi
bergema dalam pikiranku, akhirnya otakku bisa juga mencernanya. Dia kabur ke arah laut—lebih menguntungkan bagi para pengisap darah itu di sana. Itulah sebabnya aku langsung bergegas pulang—aku takut dia akan menduluiku berenang ke sini.
Tanganku mengejang saat masih mencari tombol lampu, sekujur tubuhku membeku kaku, saat aku sadar mengapa aku mengenali warna Jingga aneh di air itu.
Rambut Victoria, berkibar-kibar liar tertiup angin, warnanya seperti api. bersamaku dan Jacob. Apa jadinya kalau tidak ada Sam, kalau kami hanya berdua.? Aku tak mampu bernapas ataupun bergerak. Lampu menyala, meski tanganku yang membeku tidak juga berhasil menemukan tombol lampu. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, silau oleh
lampu yang tiba-tiba menyala, dan melihat seseorang di sana, menungguku.


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates