Dalalah Manthuq dan Mafhum
LAFADZ DAN DALALAHNYA (MANTHUQ DAN MAFHUM)
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Disusun Oleh:
Mita Lia Sofiana (131311115)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al Qur’an dan
Al Hadits merupakan dua buah kitab suci Umat Islam yang sangat penting dan
menjadi sumber penggalian hukum Islam, Al Qur’an diturunkan menggunakan bahasa
Arab dan begitupula Al Hadits yang dituturkan dengan bahasa Arab. Al Qur’an
diturunkan untuk memberikan panduan hukum kepada manusia agar manusia dapat
memahami bagaimana hukum yang dikehendaki oleh Tuhan. Karena Al Qur’an dan Al
Hadits berbahasa Arab sering ditemukan masyaqqah atau kesulitan-kesulitan dalam
memahami Al Qur’an dan Al Hadits karena tiap lafadz dalam bahasa Arab mempunyai
arti yang banyak sehingga menimbulkan penunjukan (dalalah) dan hasil pemahaman
yang berbeda.
Begitu pula
dengan metode dalam memahami Al Qur’an dan Al hadits terutama dari aspek
kebahasaannya terkadang juga mengalami kesulitan sehingga tidak bisa
dihindarkan dari perbedaan dari metode-metode pamahamannya termasuk
metode mafhum mukhalafah. Selain untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Ushul
Fiqh, atas dasar masalah yang diuraikan diataslah makalah ini disusun.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut :
a.
Bagaimanakah
pembahasan umum tentang dalalah ?
b.
Apakah definisi
dalalah manthuq ?
c.
Apakah definisi
dalalah mafhum ?
d.
Bagaimanakah kehujjahan mafhum mukhalafah
menurut para ulama ?
PEMBAHASAN
A.
Pembahasan Umum
tentang Dalalah
Dalalah menurut
bahasa (etimologi) berasal dari kata “dalla yadullu” yang berarti petunjuk atau
penunjukkan, dapat pula dalalah diartikan “kepada maksud tertentu”. Sedangkan
dalalah menurut istilah adalah penunjukkan suatu lafadz nash kepada
pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat
mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash. Tegasnya, dalalah
lafadz itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz nash
dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang
dikandung oleh sesuatu dalil nash.[1]
Adapun arti dalalah secara umum adalah “memahami sesuatu atas
sesuatu”. Kata “sesuatu” yang disebutkan pertama disebut “madlul” (yang
ditunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah
“hukum” itu sendiri. Kata “sesuatu” yang disebutkan kedua kalinya disebut “dalil”(yang menjadi penunjuk). Dalam
hubunganya dengan hukum, dalil itu
disebut “dalil hukum” .[2]
Nash Al-Qur’an dan
As-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafadz-lafadz yang dalam Ushul Fiqh disebut
pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dalalah atau dalalah tersendiri.
Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab
Khalaf adalah sebagai berikut : “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk
dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara’.
Oleh karena itu dapat dipahami, bahwa pada
dasarnya yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu
yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan
hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Sementara yang
dimaksud dengan dalalah, seperti dijelaskan oleh Dr.wahbah Zuhaili dalam kitab
ushulnya Dalalah adalah Yaitu; cara penunjukkan lafaz atas sesuatu makna
atau penunjukan suatu lafadz atas sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim.
Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa dalil
adalah yang memberi petunjuk dan dalalah ialah sesuatu yang
ditunjukkan. Penunjukan lafadz atau dalalah ini mempunyai beberapa macam,
hanya saja dikalangan ulama Ushul Fiqh tidak sependapat dalam membaginya. Dalam
hal ini dikenal adanya macam-macam dalalah menurut ulama Hanafiyah dan
macam-macam dalalah menurut ulama Syafi’iyah.
Ditinjau dari
segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dalalah dibagi menjadi dua macam, yaitu dalalah lafzhiyah dan dalalah
ghairuh lafzhiyah.
1.
Dalalah lafzhiyah (penunjukan
berbentuk lafaz), yaitu dalalah dengan dalil yang digunakan untuk
memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara, atau kata.
Dengan demikian, lafaz, suara, atau kata, menunjukkan kepada maksud tertentu.
Penunjukannya kepada maksud tertentu tersebut dapat diketahui melalui 3 hal:
a.
Melalui hal-hal
yang bersifat alami yang menunjuk kepada maksud tertentu yang dapat diketahui
oleh setiap orang di seluruh alam ini. Umpamanya “rintihan” yang keluar dari
yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang
mengeluarkan suara rintihan itu berada dalamm kesakitan. Dengan adanya
rintihan, maka semua orang mengetahui bahwa orang itu sakit, meskipun ia tidak
pernah menyatakan bahwa ia sedang kesakitan. Penunjukan (dalalah) seperti ini
disebut “thabi’iyyah”; secara lengkap
biasa disebut dalalah lafzhiyyah
thabi’iyyah.
b.
Melalui akal.
Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa
suara atau kata yang didengarnya memberi
petunjuk kepada maksud tertentu. Umpamanya suara kendaraan di belakang rumah
menunjukkan adanya bentuk suara kendaraan tertentu yanng lewat di belakang
rumah itu. Dengan adanya “suara” itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu
adalah suara kendaraan jenis tertentu, meskipun kendaraan tersebut belum
dilihat secara nyata. Penunjukan melalui suara tersebut dinamai “aqliyah”; secara lengkap biasa disebut “dalalah lafzhiyyah ‘aqliyah”.
c.
Melalui
“istilah” yang dapat dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu.
Contohnya apabila kita mendengar ucapan, “Binatang yang mengeong” maka akan
kita ketahui maksud dari ucapan tersebut, yakni kucing. Hal ini dimungkinkan,
karena telah dipahami bersama bahwa ungkapan “binatang yang mengeong” itu
memberi istilah kepada “kucing”. [3]
2.
Dalalah Ghairu
Lafzhiyyah atau dalalah bukan lafaz,
yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz, dan
bukan dalam bentuk kata. Hal ini dapat diartikan bahwa “diam” atau “tidak
bersuara” merupakan sesuatu yang dapat pula memberikan petunjuk atas sesuatu.
Adapun diamnya sesuatu tersebut dapat diketahui maksudnya melalui beberapa hal
berikut ini:
a.
Melalui hal-hal
yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang di mana saja.
Hal ini dapat ditunjukkan melalui hal seperti raut wajah seseorang,
contohnya ketika seseorang berwajah pucat maka dapat dijadikan sebagai petunjuk
bahwa ia sedang sakit atau ketakutan. Hal tersebut secara alami telah ada pada
diri manusia.
b.
Melalui akal.
Maksud dari penunjuk ini ialah meskipun tidak ada penunjuk berupa suara atau
kata, namun akal bisa mengetahui apa makna yang terdapat di balik diamnya
sesuatu. Contohnya apabila terdapat asap yang mengepul dari sesuatu, maka hal
ini dapat menunjukkan bahwa terdapat api di dalamnya. Meskipun tidak terdapat
suara atau kata yang menunjukkan hal tersebut, akan tetapi melalui akal
seseorang dapat mengetahui maksud yang ditunjukkan. Penunjukkan dalam bentuk
ini disebut “aqlyyah”.
c.
Melalui
kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud
tertentu.Penggunaan tanda atau isyarat dalam menunjukkan maksud tertentu dapat
dilihat pada kebiasaan yang ada pada masyarakat, seperti halnya pada penggunaan
huruf H di depan nama seorang muslim menunjukkan bahwa orang tersebut telah
melakukan ibadah haji. Hal ini bisa menunjukkan maksud tertentu karena telah
menjadi kebiasaan yang dapat dipahami bersama. Penggunaan tanda atau isyarat,
baik dengan huruf maupun tanda lainnya, banyak digunakan dalam kehidupan. Di
antara maksudnya adalah untuk penghematan bahasa.
B.
Definisi Dalalah
Manthuq
Dalalah Mantuq adalah
penunjukkan lafaz meurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang
disebut dalam lafaz itu. Definisi ini mengandung pengertian bahwa bila
kita memahami “suatu hukum” dari apa yang langsung tersurat dalam lafaz
itu, maka disebut pemahaman secara “manthuq”.[4]
Contohnya firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4): 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Ayat ini menurut manthuq-nya menunjukkan haramnya menikahi
anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari istri yang digauli. Apa yang
ditunjuk di sini memang jelas terbaca dalam apa yang tersurat dalam ayat
tersebut. Penunjukannya begitu jelas dan tidak memerlukan penjelasan di balik
yang tersurat itu.
Manthuq dapat terbagi
menjadi dua, yaitu Nash dan zhahir:
1.
Nash, yaitu
suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi. Seperti halnya
dalam firman Allah SWT:
.....فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ.......
Artinya: “Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang
demikian maka kafaratnya adalah puasa selama tiga hari.” (QS. Al-Maidah:
89)
2.
Zhahir, yaitu
suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan
menghendaki kepada penta’wilan. Contohnya pada firman Allah surat ar Rahman:
27:
وَيَبْقَى
وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَام
Artinya: “Dan kekal wajah Tuhan engkau”.
Adapun wajah dalam ayat ini diartikan sebagai zat, karena mustahil
bagi Tuhan mempunyai wajah.[5]
Akan tetapi, secara garis besar dalalah manthuq terbagi menjadi 2, yakni: manthuq sharikh/
jelas dan manthuq ghairu sharikh/yang tidak jelas.
1)
Manthuq sharikh
ialah manthuq yang penunjukannya itu timbul dari “whad’iyahmuthabiqiyah” dan “wadh’iyahh
tadhhamminiyah”.
Manthuq syarikh dalam istilah ulama Syaffi’iyah ini adalah apa yang diistilahkan
dengan dalalahh ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.
2)
Manthuq ghairu sharikh
(tidak jelas) adalah manthuq yang penunjukannya timbul dari “wadh’iyah
iltihamiyah”.
Arti yang ditunjuki dengan dalalah
manthuq ghairu sharikh ini dapat berupa: pertama, arti yang dikehendaki
oleh pembicaraan lafaz akan tetapi tidak secara tegas disebutkan oleh
tuturan lafaznya.
Penunjuk lafaz kepada
keharusan adanya sesuatu yang dihilangkan, sebab kebenaran atau keabsahan
sesuatu pembicaraan sangat bergantung kepadanya. Dalalah semacam ini menurut
Ulama Hanafiyah disebutkan dengan dalalah iqtidlaun nash.
Petunjuk lafaz kepada arti
yang disertai dengan sifat yang merupakan ‘Illah (alasan) bagi adanya arti
tersebut. Seandainya sifat itu bukan merupakan ‘Illahnya, maka tidak ada
gunanya dengan menyebutkan itu. Seperti dalam firman Allah Swt yang artinya:
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan
keduanya.” (QS. 5:38).
Adanya hukuman potong tangan pada
ayat di atas disertai dengan alasan, yaitu pencurian. Arti yang dapat dipahami
dengan dalalah ini ialah bahwa pencurian menjadi’Illah bagi adanya
hukuman itu, bian merupakan ‘illah bagi adanya hukuman potong tangan. Maka,
penyebutannya sudah barang tentu tidak akan ada artinya. Dalalah ini
disebut pula dengan dalalah tambihwal Bima (memberi tahu dan memberi
isyarat secara halus).
Kedua, arti yang disebutkan oleh
tuturan lafaz adalah tidak dimaksudkan oleh pembicaraan. Arti yang dimaksudkan ialah arti yang diambil
dari kelaziman (kemestian) atau kesimpulan dari arti yang dituturkan oleh lafaz
itu. Misalnya dari firman Allah Swt yang berarti:
“....Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.....”
(QS. 31:14)
Menurut Ulama Hanafiyah dalalah ini sama dengan dalalah
isyaratun nash.[6]
Manthuq
ghairu sharikh terbagi kepada
dua macam, yaitu:
a.
Dalalah manthuq
shharikh yang penunjukan (dalalah)-nya
dimaksud oleh pembicara, ada dua macam: (1) dalalah ithida’ dan dalalah
ima’.
b.
Dalalah manthuq
ghairu sharikh yang penunjukan
(dalalah)-nya tidak dimaksud oleh pembicara yang hanya terbatas pada
satu bentuk yang disebut “dalalah isyarah” atau dengan istilah “isyarah
al-nash”.
C.
Definisi Dalalah
Mafhum
Dalalah mafhum adalah penunjukan
lafal yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak
berlakunya hukum yang disebutkan.Atau dalam definisi yang lebih sederhana:
Apa yang dapat dipahami dari lafal bukan menurut yang dibicarakan.
Contohnya, firman Allah dalam surat al-Isra’ (17): 23:
“Jangan kamu mengucapkan kepada kedua orang ibu bapakmu ucapan
“uf” dan janganlah kamu membentak keduanya”.[7]
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan
kata kasar atau “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat yang tersebut,
juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan atau tersirat
dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lainnya yang
menyakiti oeang tua.
Maka adanya dari definisi mafhum tersebut, dapat terlihat
dua macam mafhum, yaitu:
a.
Mafhum
Muwafaqah
Yakni berlakunya hukum yang
disebutkan pada apa yang tidak disebutkan. Mafhum muwafaqah ialah mafhum yang
lafaz-nya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan
hukum yang disebutkan dalam lafaz.
Mafhum muwafaqah terbagi menjadi dua, yaitu:[8]
1.
Fahwal kitab,
yaitu apabila yang difahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkna.
Seperti memukul orang tua lebih-lebih tidak boleh hukumnya, berdasarkan firman
Allah: “Jangan mengeluarkan kata-kata yang keji terhadap kedua orang tua”. (QS.
Al Isra’: 23). Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi apabila ia
memukulnya.
2.
Lahnul kitab,
yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan. Seperti
membakar harta anak yatim tidak diperbolehkan. Dari segi kekuatan berlakunya
hukum apa yang tidak disebutkan, mafhum muwafaqah terbagi menjadi dua,
yaitu:
Ø Mafhum aulawi, yaitu
berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat atau lebih
pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan dalam lafal.
Ø Mafhum musawi, yaitu
berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan dalam manthuq.
Contohnya, firman Allahh dalam surat na-Nisa’ (4): 10 yang artinya:
“Bahwasanya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
aniaya, sesunggunya ia telah memakan api neraka dalam perutnya.
Manthuq ayat ini menunjukkan haramnya memakan harta anak yatim secara
aniaya. Ada yang tersirat di balik manthuq tersebut, yaitu haramnya
“membakar” harta anak yatim, kerena “meniadakan harta anak yatim” itu terdapat
dalam “memakan” yang juga terdapat dalam “membakar” harta. Kekuatan hukum haram
pada membakar sama dengan hukum haram pada memakan, karena kesamaan alasan
“meniadakan” pada kedua keadaan tersebut. Dengan demikian hukum pada yang
tersirat (tidak disebutkan), kekuatannya sama dengan hukum pada yang tersurat
(disebutkan).
Para ulama sependapat tentang sahnya
berhujjah (menjadikan sebagai cara dalam menetapkan hukum) dengan mafhum
muwafaah. Kalangan ulama yang menggunakan mafhum sebagai hujjah,
mengemukakan alasan dengan tradisi penggunaan bahasa Arab.
b.
Mafhum Mukhalafah
Yaitu tidak berlakunya hukum yang
disebutkan pada apa yang tidak disebutkan. mafhum mukhalafah ialah mafhum
yang lafaz-nya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda
dengan hukum yang disebutkan, atau bisa juga diartikan sebagai hukum yang
berlaku berdasarkan mafhum yang berlawwanan dengan hukum yang berlaku
pada manthuq. Mafhum mukhalaa terbagi dalam beberapa bentuk, di
anaranyaa adalah:
1.
Mafhum sifat, ialah petunjuk lafadz yang diberi sifat tertentu
kepada berlakunya hukum sebaliknya (yang berlawanan) dari hukum yang disebutkan
oleh lafadz itu pada sesuatu yang tidak didapati sifat yang disebutkan oleh
lafadz tersebut.[9]
Misalnya firman
Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 25 yang berbunyi “Dan barang siapa
diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini
wanita merdeka lagi beriman, boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak
yang kamu miliki .....”. Kebolehan mengawini budak yang disebutkan oleh
lafadz ayat diatas ialah budak yang beriman. Jadi, beriman adalah sifat yang
diberikan kepada budak yang boleh dikawini, oleh karena itu mafhum sifatnya
ialah, haram mengawini budak yang tidak beriman.
2.
Mafhum syarat, ialah petunjuk
lafadz yang memfaedahkan adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya
dapat berlakunya hukum yang sebaliknya (yang berlawanan) pada sesuatu yang
tidak memenuhi syarat yang disebutkan oleh lafadz itu.
Sebagai contoh
dari firman Allah SWT dalam surat At Thalaq ayat 6 yang berbunyi “Dan jika
mereka (istri-istri yang sudah dithalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkah hingga melahirkan ....”. Hukum yang disebut oleh
lafadz ayat diatas (dalalah manthuqnya), yakni wajib memberi nafkah istri yang
dithalak dalam keadaan hamil sampai dengan melahirkan. Jadi, kehamilan seorang
istri yang dithalak menjadi syarat bagi adanya kewajiban bekas suami memberi
nafkah kepadanya. Oleh karena itu mafhum syarat-nya ialah tidak wajib
bagi bekas suami memberi nafkah kepada istri yang dithalak tidak dalam keadaan
hamil.[10]
3.
Mafhum
al-ghayah/limit waktu, ialah petunjuk
lafadz yang memfaedahkan sesuatu hukum sampai dengan batas yang telah
ditentukan, apabila telah melewati batas yang ditentukan itu maka berlaku hukum
yang sebaliknya seperti firman Allah yang artinya : Kemudian jika suami
menthalaknya (sesudah thalak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya hingga ia kawin lagi dengan suami yang lain (Al Baqarah : 230).
Hukum
yang disebutkan oleh ayat diatas (dalalah manthuqnya) yaitu, bahwa keharaman
bekas suami mengawini bekas istrinya yang telah dithalak tiga dibatasi sampai
dengan bekas istri itu kawin lagi dengan laki-laki lain kemudian diceraikan
pula. Dengan demikian, mafhum ghayahnya, yaitu boleh lagi bekas suami menikahi
bekas istri yang telah nikah dengan laki-laki lain kemudian telah diceraikan
dan telah habis pula masa iddahnya.
4.
Mafhum
al-‘addad/bilangan, ialah
petunjuk lafadz yang memfaedahkan suatu pengertian dinyatakan oleh hukum yang
dengan bilangan tertentu dan akan berlaku hukum sebaliknya (yang berlawanan)
pada bilangan lain tertentu yang berbeda dengan bilangan yang disebutkan oleh
lafadz itu. Sebagai contoh firman Allah SWT dalam surat An Nur ayat 2 yang
berbunyi “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah
tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali .........”.
Hukuman
dera yang dikenakan kepada orang yang berbuat zina (ghairu muhsan) baik
laki-laki maupun perempuan yang disebutkan oleh lafadz ayat diatas yaitu
seratus kali. Dengan demikian, maka mafhum adadnya ialah tidak memadai mendera
orang yang berbuat zina (ghairu muhsan) selain seratus kali, yakni kurang
seratus kali, dan juga tidak boleh melebihi itu.
5.
Mafhum
al-laqad/gelar atau sebutan, ialah
menetapkan hukum sebaliknya dari hukum yang ditetapkan pada isim alam atau isim
jenis dalam suatu nash, sebagai contoh dari sabda rasulullah SAW yang
berbunyi “Pada gandum dikenakan zakat”. Dengan mafhum laqab maka ditetapkan
hukum zakat tidak dikenakan kepada selain gandum.
D. Kehujjahan Mafhum
Mukhalafah.
Para
Ulama sepakat bahwa mafhum laqab tidak dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan hukum, sebab penyebutan dengan isim ‘alam atau isim jenis
itu, sekedar untuk menyebutkan adanya hukum padanya, bukan untuk membatasi atau
mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja oleh karena itu dalam hal ini tidak
dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang
menentukannya, selain itu jika mafhum laqab ini dapat dijadikan hujjah,
pastilah akan mencegah usaha mencari illat hukumnya yang oleh karenanya tidak
dapat dibenarkan mengqiyaskan sesuatu padanya, namun tidak ada seorangpun dari
para ulama pendukung qiyas yang membenarkan bahwa pada hukum tersebut dengan
isim alam atau isim jenis tidak boleh dicari illat hukumnya.[11]
Sedangkan
terhadap mafhum hasshr terbatas. Menurut kamal ibnu Human, lebih rajih
(kuat) ialah bahwa meniadakan suatu hukum atau berlakunya hukum
sebaliknya bagi yang tidak disebutkan oleh lafadz dalam suatu lafadz itu
(dengan dalalah manthuq) sebab kata-kata yang digunakan untuk menyatakan hashhr
menurut arti bahasa mencakup sekaligus untuk menetapkan (sesuatu hukum) dan
juga meniadakannya.
Kemudian
terhadap mafhum mukhalafah yang lain yaitu mafhum sifat, mafhum
syarat, mafhum ghayah, dan mafhum adad, Ulama Syafi’iyah dan Ulama
Malikiyah menggunakan sebagai hujjah, namun dengan ketentuan :
a.
Mafhum mukhalafah tidak
bertentangan dengan dalalah mantuq dengan nash lain.
b.
Apabila adanya pambatasan hukum yang disebut
(manthuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan hukum
sebaliknya (mafhum mukhalafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut
mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukhalafah, maka sudah barang
tentu dalam hal itu mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalalah menurut
etimologi berasal dari kata “dalla-yadullu-dalalatan” yang berarti
petunjuk atau penunjukkan, sedangkan secara terminologi yang dimaksud dengan dalalah
adalah penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat
dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan
hukum dari sesuatu dalil nash. Penunjukan lafadz atau dalalah ini
mempunyai beberapa macam. Dalam garis besarnya ulama syafi’iyah membagi dalalah
menjadi dua macam, yaitu :
1.
Dalalah manthuq, dibagi
menjadi dua macam, yaitu :
a.
Dalalah mantuq shorih,
b.
Dalalah mantuq ghairu sharih,
2.
Dalalah Mafhum, terbagi
menjadi dua macam, yaitu :
a)
Dalalah Mafhum Mufaqah,
b)
Dalalah Mafhum Mukhalafah, dapat
dibedakan menjadi enam macam yaitu mafhum laqab, mafhum sifat, mafhum
syarat, mafhum ghayah dan mafhum ‘adad.
Kehujjahan
mafhum mukhalafah menurut ulama berbeda-beda. Para Ulama sepakat bahwa mafhum
laqab tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum, sedangkan
terhadap mafhum hasshr terbatas. Kemudian terhadap mafhum mukhalafah
yang lain yaitu mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghayah, dan mafhum adad,
Ulama Syafi’iyah dan Ulama Malikiyah menggunakan sebagai hujjah dengan berbagai
ketentuan.
B.
Saran
Dengan adanya makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kriteria sempurna. Oleh karena itu, pemakalah mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam
pembuatan makalah yang selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafie, A. Ushul Fiqh. Cet:XII;
Jakarta: Widjaya. 1993.
Karim, A. Syafi’i. Fiqih-Ushul
Fiqih untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK. Bandung: Penerbit Pustaka
Setia. 1995.
Mu’in, A., dkk. Ushul Fiqh II. Cet:II;
Jakarta: Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. 1986.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2. Cet:VI; Jakarta:
Kencana. 2011.
Aldursanie, Ridwan. Manthuq dan
Mafhum dalam Ilmu Ushul Fiqh, http://ridwan202.wordpress.com/2008/08/14/mantuq-dan-mafhum-dalam-ilmu-ushul-fiqh/. Diakses pada tanggal 26 September 2014 pukul 11.45 WIB.
Ashrofi, Achmad. Dalalah menurut Ulama Ushul dan Mafhum, http://ashrofi13.blogspot.com/2013/11/dalalah-menurut-ulama-ushul-dan-mafhum.html/ Diakses pada tanggal 26 September 2014 pukul 11:20 WIB.
Hazin, muffarihul. Lafadz dari Segi Dalalahnya. http://www.mufarrihulhazin.com/2011/09/lafadz-dari-segi-dalalahnya.html . diakses pada tanggal 30 September 2014 pukul 11:05 WIB.
[1] Achmad Ashrofi, Dalalah menurut Ulama Ushul dan Mafhum, http://ashrofi13.blogspot.com/2013/11/dalalah-menurut-ulama-ushul-dan-mafhum.html , diakses pada tanggal 26 September 2014 pukul 11:20 WIB.
[2]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Cet:VI; Jakarta: Kencana, 2011), hlm.
131.
[3]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Cet:VI; Jakarta: Kencana, 2011),
hlm.132.
[4]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Cet:VI; Jakarta: Kencana, 2011),
hlm.153-154.
[5]A. Syafi’i
Karim, Fiqih-Ushul Fiqih untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, (Bandung:
Penerbit Pustaka Setia, 1995), hlm. 178.
[6]A. Mu’in, dkk. Ushul
Fiqh II, (Cet:II; Jakarta: Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam,
1986), hlm. 92-93.
[7]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Cet:VI; Jakarta: Kencana, 2011), hlm.
155-156.
[8]A. Hanafie, Ushul
Fiqh, (Cet:XII; Jakarta: Widjaya, 1993), hlm. 78.
[9] Ridwan
Aldursanie, Manthuq dan Mafhum dalam Ilmu Ushul Fiqh, http://ridwan202.wordpress.com/2008/08/14/mantuq-dan-mafhum-dalam-ilmu-ushul-fiqh/ , diakses pada
tanggal 26 September 2014 pukul 11.45 WIB.
[10] A. Mu’in, dkk.
Ushul Fiqh II, (Cet:II; Jakarta: Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam, 1986), hlm. 97.
[11]A. Mu’in, dkk. Ushul
Fiqh II, (Cet:II; Jakarta: Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam,
1986), hlm. 100.
0 komentar:
Post a Comment