September 17, 2015

Dalalah Manthuq dan Mafhum

             LAFADZ DAN DALALAHNYA (MANTHUQ DAN MAFHUM)

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Disusun Oleh:
Mita Lia Sofiana         (131311115)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014


PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
Al Qur’an dan Al Hadits merupakan dua buah kitab suci Umat Islam yang sangat penting dan menjadi sumber penggalian hukum Islam, Al Qur’an diturunkan menggunakan bahasa Arab dan begitupula Al Hadits yang dituturkan dengan bahasa Arab. Al Qur’an diturunkan untuk memberikan panduan hukum kepada manusia agar manusia dapat memahami bagaimana hukum yang dikehendaki oleh Tuhan. Karena Al Qur’an dan Al Hadits berbahasa Arab sering ditemukan masyaqqah atau kesulitan-kesulitan dalam memahami Al Qur’an dan Al Hadits karena tiap lafadz dalam bahasa Arab mempunyai arti yang banyak sehingga menimbulkan penunjukan (dalalah) dan hasil pemahaman yang berbeda.
Begitu pula dengan metode dalam memahami Al Qur’an dan Al hadits terutama dari aspek kebahasaannya terkadang juga mengalami kesulitan sehingga tidak bisa dihindarkan dari  perbedaan dari metode-metode pamahamannya termasuk metode mafhum mukhalafah. Selain untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Ushul Fiqh, atas dasar masalah yang diuraikan diataslah makalah ini disusun.

B.                 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut :
a.       Bagaimanakah pembahasan umum tentang dalalah ?
b.      Apakah definisi dalalah manthuq ?
c.       Apakah definisi dalalah mafhum ?
d.      Bagaimanakah kehujjahan mafhum mukhalafah menurut para ulama ?

PEMBAHASAN
A.                Pembahasan Umum tentang Dalalah
Dalalah menurut bahasa (etimologi) berasal dari kata “dalla yadullu” yang berarti petunjuk atau penunjukkan, dapat pula dalalah diartikan “kepada maksud tertentu”. Sedangkan dalalah menurut istilah adalah penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash. Tegasnya, dalalah lafadz itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash.[1]
Adapun arti dalalah secara umum adalah “memahami sesuatu atas sesuatu”. Kata “sesuatu” yang disebutkan pertama disebut “madlul” (yang ditunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri. Kata “sesuatu” yang disebutkan kedua kalinya disebut “dalil”(yang menjadi penunjuk). Dalam hubunganya dengan hukum, dalil itu disebut “dalil hukum” .[2]
Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafadz-lafadz yang dalam Ushul Fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dalalah atau dalalah tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah sebagai berikut : “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara’.
Oleh karena itu dapat dipahami, bahwa pada dasarnya yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Sementara yang dimaksud dengan dalalah, seperti dijelaskan oleh Dr.wahbah Zuhaili dalam kitab ushulnya Dalalah adalah Yaitu; cara penunjukkan lafaz atas sesuatu makna atau penunjukan suatu lafadz atas sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim.
Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah yang memberi petunjuk dan dalalah ialah sesuatu yang ditunjukkan. Penunjukan lafadz atau dalalah ini mempunyai beberapa macam, hanya saja dikalangan ulama Ushul Fiqh tidak sependapat dalam membaginya. Dalam hal ini dikenal adanya macam-macam dalalah menurut ulama Hanafiyah dan macam-macam dalalah menurut ulama Syafi’iyah.
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dalalah dibagi menjadi dua macam, yaitu dalalah lafzhiyah dan dalalah ghairuh lafzhiyah.
1.      Dalalah lafzhiyah (penunjukan berbentuk lafaz), yaitu dalalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara, atau kata. Dengan demikian, lafaz, suara, atau kata, menunjukkan kepada maksud tertentu. Penunjukannya kepada maksud tertentu tersebut dapat diketahui melalui 3 hal:
a.       Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjuk kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang di seluruh alam ini. Umpamanya “rintihan” yang keluar dari yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalamm kesakitan. Dengan adanya rintihan, maka semua orang mengetahui bahwa orang itu sakit, meskipun ia tidak pernah menyatakan bahwa ia sedang kesakitan. Penunjukan (dalalah) seperti ini disebut “thabi’iyyah”; secara lengkap biasa disebut dalalah lafzhiyyah thabi’iyyah.
b.      Melalui akal. Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya  memberi petunjuk kepada maksud tertentu. Umpamanya suara kendaraan di belakang rumah menunjukkan adanya bentuk suara kendaraan tertentu yanng lewat di belakang rumah itu. Dengan adanya “suara” itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kendaraan jenis tertentu, meskipun kendaraan tersebut belum dilihat secara nyata. Penunjukan melalui suara tersebut dinamai “aqliyah”; secara lengkap biasa disebut “dalalah lafzhiyyah ‘aqliyah”.
c.       Melalui “istilah” yang dapat dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu. Contohnya apabila kita mendengar ucapan, “Binatang yang mengeong” maka akan kita ketahui maksud dari ucapan tersebut, yakni kucing. Hal ini dimungkinkan, karena telah dipahami bersama bahwa ungkapan “binatang yang mengeong” itu memberi istilah kepada “kucing”. [3]
2.      Dalalah Ghairu Lafzhiyyah atau dalalah bukan lafaz, yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz, dan bukan dalam bentuk kata. Hal ini dapat diartikan bahwa “diam” atau “tidak bersuara” merupakan sesuatu yang dapat pula memberikan petunjuk atas sesuatu. Adapun diamnya sesuatu tersebut dapat diketahui maksudnya melalui beberapa hal berikut ini:
a.       Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang di mana saja.
Hal ini dapat ditunjukkan melalui hal seperti raut wajah seseorang, contohnya ketika seseorang berwajah pucat maka dapat dijadikan sebagai petunjuk bahwa ia sedang sakit atau ketakutan. Hal tersebut secara alami telah ada pada diri manusia.
b.      Melalui akal. Maksud dari penunjuk ini ialah meskipun tidak ada penunjuk berupa suara atau kata, namun akal bisa mengetahui apa makna yang terdapat di balik diamnya sesuatu. Contohnya apabila terdapat asap yang mengepul dari sesuatu, maka hal ini dapat menunjukkan bahwa terdapat api di dalamnya. Meskipun tidak terdapat suara atau kata yang menunjukkan hal tersebut, akan tetapi melalui akal seseorang dapat mengetahui maksud yang ditunjukkan. Penunjukkan dalam bentuk ini disebut “aqlyyah”.
c.       Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu.Penggunaan tanda atau isyarat dalam menunjukkan maksud tertentu dapat dilihat pada kebiasaan yang ada pada masyarakat, seperti halnya pada penggunaan huruf H di depan nama seorang muslim menunjukkan bahwa orang tersebut telah melakukan ibadah haji. Hal ini bisa menunjukkan maksud tertentu karena telah menjadi kebiasaan yang dapat dipahami bersama. Penggunaan tanda atau isyarat, baik dengan huruf maupun tanda lainnya, banyak digunakan dalam kehidupan. Di antara maksudnya adalah untuk penghematan bahasa.

B.                Definisi Dalalah Manthuq
Dalalah Mantuq adalah penunjukkan lafaz meurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam lafaz itu. Definisi ini mengandung pengertian bahwa bila kita memahami “suatu hukum” dari apa yang langsung tersurat dalam lafaz itu, maka disebut pemahaman secara “manthuq”.[4]
Contohnya firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4): 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat ini menurut manthuq-nya menunjukkan haramnya menikahi anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari istri yang digauli. Apa yang ditunjuk di sini memang jelas terbaca dalam apa yang tersurat dalam ayat tersebut. Penunjukannya begitu jelas dan tidak memerlukan penjelasan di balik yang tersurat itu.


Manthuq dapat terbagi menjadi dua, yaitu Nash dan zhahir:
1.             Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi. Seperti halnya dalam firman Allah SWT:
.....فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ.......
Artinya: “Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian maka kafaratnya adalah puasa selama tiga hari.” (QS. Al-Maidah: 89)
2.                   Zhahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendaki kepada penta’wilan. Contohnya pada firman Allah surat ar Rahman: 27:
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَام

Artinya: “Dan kekal wajah Tuhan engkau”.
Adapun wajah dalam ayat ini diartikan sebagai zat, karena mustahil bagi Tuhan mempunyai wajah.[5]

Akan tetapi, secara garis besar dalalah manthuq  terbagi menjadi 2, yakni: manthuq sharikh/ jelas dan manthuq ghairu sharikh/yang tidak jelas.
1)             Manthuq sharikh ialah manthuq yang penunjukannya itu timbul dari  “whad’iyahmuthabiqiyah” dan “wadh’iyahh tadhhamminiyah”.
Manthuq syarikh dalam istilah ulama Syaffi’iyah ini adalah apa yang diistilahkan dengan dalalahh ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.
2)             Manthuq ghairu sharikh (tidak jelas) adalah  manthuq yang penunjukannya timbul dari “wadh’iyah iltihamiyah”.
Arti yang ditunjuki dengan dalalah manthuq ghairu sharikh ini dapat berupa: pertama, arti yang dikehendaki oleh pembicaraan lafaz akan tetapi tidak secara tegas disebutkan oleh tuturan lafaznya.
Penunjuk lafaz kepada keharusan adanya sesuatu yang dihilangkan, sebab kebenaran atau keabsahan sesuatu pembicaraan sangat bergantung kepadanya. Dalalah semacam ini menurut Ulama Hanafiyah disebutkan dengan dalalah iqtidlaun nash.
Petunjuk lafaz kepada arti yang disertai dengan sifat yang merupakan ‘Illah (alasan) bagi adanya arti tersebut. Seandainya sifat itu bukan merupakan ‘Illahnya, maka tidak ada gunanya dengan menyebutkan itu. Seperti dalam firman Allah Swt yang artinya:
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya.” (QS. 5:38).
Adanya hukuman potong tangan pada ayat di atas disertai dengan alasan, yaitu pencurian. Arti yang dapat dipahami dengan dalalah ini ialah bahwa pencurian menjadi’Illah bagi adanya hukuman itu, bian merupakan ‘illah bagi adanya hukuman potong tangan. Maka, penyebutannya sudah barang tentu tidak akan ada artinya. Dalalah ini disebut pula dengan dalalah tambihwal Bima (memberi tahu dan memberi isyarat secara halus).
Kedua, arti yang disebutkan oleh tuturan lafaz adalah tidak dimaksudkan oleh pembicaraan.  Arti yang dimaksudkan ialah arti yang diambil dari kelaziman (kemestian) atau kesimpulan dari arti yang dituturkan oleh lafaz itu. Misalnya dari firman Allah Swt yang berarti:
“....Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.....” (QS. 31:14)
Menurut Ulama Hanafiyah dalalah ini sama dengan dalalah isyaratun nash.[6]
Manthuq ghairu sharikh terbagi kepada dua macam, yaitu:
a.              Dalalah manthuq shharikh yang penunjukan (dalalah)-nya dimaksud oleh pembicara, ada dua macam: (1) dalalah ithida’ dan dalalah ima’.
b.             Dalalah manthuq ghairu sharikh yang penunjukan (dalalah)-nya tidak dimaksud oleh pembicara yang hanya terbatas pada satu bentuk yang disebut “dalalah isyarah” atau dengan istilah “isyarah al-nash”.

C.                 Definisi Dalalah Mafhum
Dalalah mafhum adalah penunjukan lafal yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan.Atau dalam definisi yang lebih sederhana:
Apa yang dapat dipahami dari lafal bukan menurut yang dibicarakan.
Contohnya, firman Allah dalam surat al-Isra’ (17): 23:
Jangan kamu mengucapkan kepada kedua orang ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu membentak keduanya”.[7]
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar atau “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat yang tersebut, juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan atau tersirat dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lainnya yang menyakiti oeang tua.
Maka adanya dari definisi mafhum tersebut, dapat terlihat dua macam mafhum, yaitu:
a.              Mafhum Muwafaqah
Yakni berlakunya hukum yang disebutkan pada apa yang tidak disebutkan.  Mafhum muwafaqah ialah mafhum yang lafaz-nya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafaz.
Mafhum muwafaqah terbagi menjadi dua, yaitu:[8]
                                          1.         Fahwal kitab, yaitu apabila yang difahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkna. Seperti memukul orang tua lebih-lebih tidak boleh hukumnya, berdasarkan firman Allah: “Jangan mengeluarkan kata-kata yang keji terhadap kedua orang tua”. (QS. Al Isra’: 23). Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi apabila ia memukulnya.
                                          2.         Lahnul kitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim tidak diperbolehkan. Dari segi kekuatan berlakunya hukum apa yang tidak disebutkan, mafhum muwafaqah terbagi menjadi dua, yaitu:
Ø   Mafhum aulawi, yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan dalam lafal.
Ø   Mafhum musawi, yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan dalam manthuq.
Contohnya, firman Allahh dalam surat na-Nisa’ (4): 10 yang artinya:
“Bahwasanya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, sesunggunya ia telah memakan api neraka dalam perutnya.
Manthuq ayat ini menunjukkan haramnya memakan harta anak yatim secara aniaya. Ada yang tersirat di balik manthuq tersebut, yaitu haramnya “membakar” harta anak yatim, kerena “meniadakan harta anak yatim” itu terdapat dalam “memakan” yang juga terdapat dalam “membakar” harta. Kekuatan hukum haram pada membakar sama dengan hukum haram pada memakan, karena kesamaan alasan “meniadakan” pada kedua keadaan tersebut. Dengan demikian hukum pada yang tersirat (tidak disebutkan), kekuatannya sama dengan hukum pada yang tersurat (disebutkan).
Para ulama sependapat tentang sahnya berhujjah (menjadikan sebagai cara dalam menetapkan hukum) dengan mafhum muwafaah. Kalangan ulama yang menggunakan mafhum sebagai hujjah, mengemukakan alasan dengan tradisi penggunaan bahasa Arab.

b.             Mafhum Mukhalafah
Yaitu tidak berlakunya hukum yang disebutkan pada apa yang tidak disebutkan. mafhum mukhalafah ialah mafhum yang lafaz-nya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan, atau bisa juga diartikan sebagai hukum yang berlaku berdasarkan mafhum yang berlawwanan dengan hukum yang berlaku pada manthuq. Mafhum mukhalaa terbagi dalam beberapa bentuk, di anaranyaa adalah:
1.             Mafhum sifat, ialah petunjuk lafadz yang diberi sifat tertentu kepada berlakunya hukum sebaliknya (yang berlawanan) dari hukum yang disebutkan oleh lafadz itu pada sesuatu yang tidak didapati sifat yang disebutkan oleh lafadz tersebut.[9]
Misalnya firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 25 yang berbunyi “Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki .....”. Kebolehan mengawini budak yang disebutkan oleh lafadz ayat diatas ialah budak yang beriman. Jadi, beriman adalah sifat yang diberikan kepada budak yang boleh dikawini, oleh karena itu mafhum sifatnya ialah, haram mengawini budak yang tidak beriman.
2.             Mafhum syarat, ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlakunya hukum yang sebaliknya (yang berlawanan) pada sesuatu yang tidak memenuhi syarat yang disebutkan oleh lafadz itu.
Sebagai contoh dari firman Allah SWT dalam surat At Thalaq ayat 6 yang berbunyi “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah dithalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga melahirkan ....”. Hukum yang disebut oleh lafadz ayat diatas (dalalah manthuqnya), yakni wajib memberi nafkah istri yang dithalak dalam keadaan hamil sampai dengan melahirkan. Jadi, kehamilan seorang istri yang dithalak menjadi syarat bagi adanya kewajiban bekas suami memberi nafkah kepadanya. Oleh karena itu mafhum syarat-nya ialah tidak wajib bagi bekas suami memberi nafkah kepada istri yang dithalak tidak dalam keadaan hamil.[10]
3.             Mafhum al-ghayah/limit waktu, ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan sesuatu hukum sampai dengan batas yang telah ditentukan, apabila telah melewati batas yang ditentukan itu maka berlaku hukum yang sebaliknya seperti firman Allah yang artinya : Kemudian jika suami menthalaknya (sesudah thalak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin lagi dengan suami yang lain (Al Baqarah : 230).
          Hukum yang disebutkan oleh ayat diatas (dalalah manthuqnya) yaitu, bahwa keharaman bekas suami mengawini bekas istrinya yang telah dithalak tiga dibatasi sampai dengan bekas istri itu kawin lagi dengan laki-laki lain kemudian diceraikan pula. Dengan demikian, mafhum ghayahnya, yaitu boleh lagi bekas suami menikahi bekas istri yang telah nikah dengan laki-laki lain kemudian telah diceraikan dan telah habis pula masa iddahnya.
4.        Mafhum al-‘addad/bilangan, ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan suatu pengertian dinyatakan oleh hukum yang dengan bilangan tertentu dan akan berlaku hukum sebaliknya (yang berlawanan) pada bilangan lain tertentu yang berbeda dengan bilangan yang disebutkan oleh lafadz itu. Sebagai contoh firman Allah SWT dalam surat An Nur ayat 2 yang berbunyi “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali .........”.
          Hukuman dera yang dikenakan kepada orang yang berbuat zina (ghairu muhsan) baik laki-laki maupun perempuan yang disebutkan oleh lafadz ayat diatas yaitu seratus kali. Dengan demikian, maka mafhum adadnya ialah tidak memadai mendera orang yang berbuat zina (ghairu muhsan) selain seratus kali, yakni kurang seratus kali, dan juga tidak boleh melebihi itu.
5.        Mafhum al-laqad/gelar atau sebutan, ialah menetapkan hukum sebaliknya dari hukum yang ditetapkan pada isim alam atau isim jenis dalam suatu nash, sebagai contoh dari sabda rasulullah SAW yang berbunyi “Pada gandum dikenakan zakat”. Dengan mafhum laqab maka ditetapkan hukum zakat tidak dikenakan kepada selain gandum.
D.    Kehujjahan Mafhum Mukhalafah.
Para Ulama sepakat bahwa mafhum laqab tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum, sebab penyebutan dengan isim ‘alam atau isim jenis itu, sekedar untuk menyebutkan adanya hukum padanya, bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja oleh karena itu dalam hal ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya, selain itu jika mafhum laqab ini dapat dijadikan hujjah, pastilah akan mencegah usaha mencari illat hukumnya yang oleh karenanya tidak dapat dibenarkan mengqiyaskan sesuatu padanya, namun tidak ada seorangpun dari para ulama pendukung qiyas yang membenarkan bahwa pada hukum tersebut dengan isim alam atau isim jenis tidak boleh dicari illat hukumnya.[11]
Sedangkan  terhadap mafhum hasshr terbatas. Menurut kamal ibnu Human, lebih rajih (kuat) ialah bahwa meniadakan  suatu hukum atau berlakunya hukum sebaliknya bagi yang tidak disebutkan oleh lafadz dalam suatu lafadz itu (dengan dalalah manthuq) sebab kata-kata yang digunakan untuk menyatakan hashhr menurut arti bahasa mencakup sekaligus untuk menetapkan (sesuatu hukum) dan juga meniadakannya.
Kemudian terhadap mafhum mukhalafah yang lain yaitu mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghayah, dan mafhum adad, Ulama Syafi’iyah dan Ulama Malikiyah menggunakan sebagai hujjah, namun dengan ketentuan :
a.              Mafhum mukhalafah tidak bertentangan dengan dalalah mantuq dengan nash lain.
b.             Apabila adanya pambatasan hukum yang disebut (manthuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum mukhalafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukhalafah, maka sudah barang tentu dalam hal itu mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah.
PENUTUP

A.                Kesimpulan
Dalalah menurut etimologi berasal dari kata “dalla-yadullu-dalalatan” yang berarti petunjuk atau penunjukkan, sedangkan secara terminologi yang dimaksud dengan dalalah adalah penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash. Penunjukan lafadz atau dalalah ini mempunyai beberapa macam. Dalam garis besarnya ulama syafi’iyah membagi dalalah menjadi dua macam, yaitu :
1.             Dalalah manthuq, dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a.               Dalalah mantuq shorih,
b.             Dalalah mantuq ghairu sharih,
2.              Dalalah Mafhum, terbagi menjadi dua macam, yaitu :
a)              Dalalah Mafhum Mufaqah,
b)             Dalalah Mafhum Mukhalafah, dapat dibedakan menjadi enam macam yaitu mafhum laqab, mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghayah dan mafhum ‘adad.
Kehujjahan mafhum mukhalafah menurut ulama berbeda-beda. Para Ulama sepakat bahwa mafhum laqab tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum, sedangkan  terhadap mafhum hasshr terbatas. Kemudian terhadap mafhum mukhalafah yang lain yaitu mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghayah, dan mafhum adad, Ulama Syafi’iyah dan Ulama Malikiyah menggunakan sebagai hujjah dengan berbagai ketentuan.

B.                 Saran
Dengan adanya  makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kriteria sempurna. Oleh karena itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pembuatan makalah yang selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin. 
DAFTAR PUSTAKA
Hanafie, A. Ushul Fiqh. Cet:XII; Jakarta: Widjaya. 1993.
Karim, A. Syafi’i. Fiqih-Ushul Fiqih untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK. Bandung: Penerbit Pustaka Setia. 1995.
Mu’in, A., dkk. Ushul Fiqh II. Cet:II; Jakarta: Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. 1986.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2. Cet:VI; Jakarta: Kencana. 2011.
Aldursanie, Ridwan. Manthuq dan Mafhum dalam Ilmu Ushul Fiqh, http://ridwan202.wordpress.com/2008/08/14/mantuq-dan-mafhum-dalam-ilmu-ushul-fiqh/. Diakses pada tanggal 26 September 2014 pukul 11.45 WIB.
Ashrofi, Achmad. Dalalah menurut Ulama Ushul  dan Mafhum, http://ashrofi13.blogspot.com/2013/11/dalalah-menurut-ulama-ushul-dan-mafhum.html/ Diakses pada tanggal 26 September 2014 pukul 11:20 WIB.
Hazin, muffarihul.  Lafadz dari Segi Dalalahnya. http://www.mufarrihulhazin.com/2011/09/lafadz-dari-segi-dalalahnya.html . diakses pada tanggal 30 September 2014 pukul 11:05 WIB.



[1] Achmad Ashrofi, Dalalah menurut Ulama Ushul  dan Mafhum, http://ashrofi13.blogspot.com/2013/11/dalalah-menurut-ulama-ushul-dan-mafhum.html , diakses pada tanggal 26 September 2014 pukul 11:20 WIB.
[2]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Cet:VI; Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 131.
[3]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Cet:VI; Jakarta: Kencana, 2011), hlm.132.
[4]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Cet:VI; Jakarta: Kencana, 2011), hlm.153-154.
[5]A. Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 1995), hlm. 178.
[6]A. Mu’in, dkk. Ushul Fiqh II, (Cet:II; Jakarta: Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986), hlm. 92-93.
[7]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Cet:VI; Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 155-156.
[8]A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Cet:XII; Jakarta: Widjaya, 1993), hlm. 78.
[9] Ridwan Aldursanie, Manthuq dan Mafhum dalam Ilmu Ushul Fiqh, http://ridwan202.wordpress.com/2008/08/14/mantuq-dan-mafhum-dalam-ilmu-ushul-fiqh/ , diakses pada tanggal 26 September 2014 pukul 11.45 WIB.
[10] A. Mu’in, dkk. Ushul Fiqh II, (Cet:II; Jakarta: Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986), hlm. 97.
[11]A. Mu’in, dkk. Ushul Fiqh II, (Cet:II; Jakarta: Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986), hlm. 100. 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates