September 05, 2015

Hadits tentang Hasut


Rasulullah tidak hanya menegaskan bahwa ketinggian ukhuwah islamiyah hanyalah sebagai slogan. Namun diiringi dengan berbagai perintah dan larangan, hingga menjadi wujud kongkret ditengah-tengan masyarakat.
Hadits ini memuat berbagai hukum dan manfaat yang besar, demi terealisasinya tujuan Islam yang tinggi tersebut. Disamping itu juga memelihara dari segala kekurangan dan kesalahan, sehingga ukhuwah islamiyah tidak menjadi sekedar ucapan dan khayalan yang tidak menyentuh kehidupan rill.
Haruslah diingat, bahwa kita semua adalah kaum muslimin. Agama kita satu, Tuhan kita satu, kitab suci kita satu, Nabi dan Rasul kita satu, tujuan hidup kita satu. Musuh kita satu, yaitu mereka yang memusuhi kita. Mereka memandang kita ini sebagai kaum muslimin yang dipersatukan oleh akidah dan tujuan-tujuan Islam.
Sebagaimana firman Allah swt. “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurât: 13)
Hadits ini juga mengajak kita untuk tidak saling mencela, menghina, menipu, menghasud dan lain sebagainya dalam menjalani hidup antara muslim satu dengan muslim lainnya. Tidak hanya muslim dengan muslim saja tetapi juga dengan semua umat manusia.

         II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Hadist dan Terjemahannya?
2.      Bagaimana Ma’aniyal Mufrodat Hadits ini?
3.      Bagaimana Syarah atau Tafsir Penjelas Hadist ini?
4.      Bagaimana Uraian Kandungan Hadist ini?




      III.            PEMBAHASAN
A.    Hadist dan Terjemahan
ÙˆَعَÙ†ْÙ‡ُ Ù‚َالَ: Ù‚َالَ رَسُÙˆْÙ„ُ اللهِ صَÙ„َÙ‰ اللهُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ (Ù„َا تَØ­َاسَدُوا ÙˆَÙ„َا تَÙ†َاجَØ´ُوا ÙˆَÙ„َا تَبَاغَضُوا ÙˆَÙ„َا تَدَابَرُوا, ÙˆَÙ„َا ÙŠَبِعْ بَعْضُÙƒُÙ…ْ عَÙ„َÙ‰ بَÙŠْعِ بَعْضٍ, Ùˆَ Ùƒُونُوا عِبَادَ اللهِ اِØ®ْÙˆَانًا, الْÙ…ُسْÙ„ِÙ…ُ اَØ®ُÙˆ اْÙ„ُÙ…ُسْÙ„ِÙ…ِ Ù„َايَظْÙ„ِÙ…ُÙ‡ُ ÙˆَÙ„َا ÙŠَØ®ْØ°ُÙ„ُÙ‡ُ ÙˆَÙ„َا ÙŠَØ­ْÙ‚ِرُÙ‡ُ, التَÙ‚ْÙˆَÙ‰ Ù‡َاهَÙ†َا, ÙˆَÙŠُØ´ِÙŠْرُ ا اِÙ„َÙŠ صَدْرِÙ‡ِ Ø«َÙ„َاثَ Ù…َرَّاتٍ, بِØ­َسْبِ اَÙ…ْرِئٍ Ù…ِÙ†َ الشَّرَّ اَÙ†ْ ÙŠَØ­ْÙ‚ِرَ اَØ®َاهُ المُسْÙ„ِÙ…َ, ÙƒُÙ„ُّ المُسْÙ„ِÙ…ُ عَÙ„َÙ‰ المُسْÙ„ِÙ…ِ Ø­َرَامٌ: دَÙ…ُÙ‡ُ ÙˆَÙ…َالُÙ‡ُ ÙˆَعِرْضُÙ‡ُ) رَÙˆَاهُ Ù…ُسْÙ„ِÙ…ٌ[1]
Bersumber dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda, “janganlah kamu sekalian saling menghasud, saling menipu, membenci, saling membelakangi, dan jangan membeli barang yang telah dibeli orang lain. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Karena itu, ia tidak boleh menzaliminya, tidak menghina, tidak menelantarkannya atau membiarkan. Takwa itu ada disini, (beliau sambil menunjuk dadanya tiga kali). Cukuplah seseorang dikatagorikan jahat jika dia menghina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim yang satu terhadap muslim yang lain itu haram mengganggu darahnya, hartanya dan kehormatannya.” (H.R. Muslim)[2]

B.     Ma’aniyal Mufrodat
Ù„َا تَØ­َاسَدُوا        : janganlah kalian saling hasud’ (menginginkan agar nikmat     yang dimiliki orang lain hilang)
Ù„َا تَÙ†َاجَØ´ُوا          : janganlah saling menipu.
Mahsud menipu disini adalah dalam jual beli, yaitu: dengan cara menawar suatu barang dipasar dengan harga yang lebih tinnggi, dengan mahsud merugikan pembeli lainnya, karena dia sendiri tidak ingin membeli.
Ù„َا تَبَاغَضُوا       : jangan saling membenci dan jangan melakukan hal-hal yang mengundang kebencian.
Ù„َا تَدَابَرُوا           : jangan saling memutuskan hubungan.
Ù„َا ÙŠَØ®ْØ°ُÙ„ُÙ‡ُ             : tidak menghina.
Ù„َايَظْÙ„ِÙ…ُÙ‡ُ              : janganlah menganiaya.
Ù„َا ÙŠَØ­ْÙ‚ِرُÙ‡ُ            : tidak melecehkan atau membiarkan atau melecehkan.
بِØ­َسْبِ اَÙ…ْرِئٍ Ù…ِÙ†َ الشَّرَّ : cukuplah seseorang dikategorikan jahat dan layak mendapatkan siksa.
عِرْضُÙ‡ُ            : kehormatannya.[3]
C.    Asbabul Wurud
Didalam hadits ini (Shahih Muslim, kitabul- Bir wash-shillah, Bab Tahriimudz-Dzan wat Tajassus wat Tanaafus, hadis nomer 2563) tidak didapatkan asbabul wurudnya.

D.    Syarah atau Tafsir Penjelas
1)        Larangan Hasad.[4]
a.    Definisi Hasad.
Hasad adalah menginginkan agar nikmat yang dimiliki orang lain berpindah ke tanganya, atau ketangan orang yang lain lagi. Ini adalah akhlak yang tercela.
b.    Hukumnya Hasad.
Para ulama sepakat bahwa hasad adalah haram. Dalil yang menunjukan keharamannya sangat banyak, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits, diantaranya:
Firman Allah dalam rangka mencela orang yahudi, “Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri. (Al-Baqarah: 109). “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya.” (An-Nisa’: 54).
Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hati-hati terhadap hasad, karena hasad dapat melenyapkan kebaikan, sebagaimana halnya api melenyapkan kayu bakar.” Dan hadits-hadits yang lain.
c.    Hikmah diharamkannya Hasad.
Sifat ini diharamkan karena merupakan pembantahan terhadap Allah saw. Allah telah memberikan nikmat terhadap orang lain, namun ia berusaha menghalang-halangi apa yang telah dilakukan Allah tersebut.
d.   Macam-macam Hasad.
1.    Golongan yang berusaha agar nikmat yang dimiliki orang lain hilang. Usaha ini dilakukan melalui ucapan maupun tindakan konkret.
2.    Golongan yang tidak merefleksikan sikap hasadnya, baik dengan ucapan maupun tindakan nyata. Menurut Hasan Al-Bashri, golongan ini tidak berdosa. Golongan ini ada dua macam:
·         Tidak mampu menghilangkan hasad yang ada pada dirinya. Orang seperti ini tidak berdosa.
·         Sikap hasan yang timbul karena kesadaran penuh.
3.    Golongan yang berusaha menghilangkan hasad yang ada di dalam hatinya.

2)        Larangan Najsy.
a.    Definisi Najsy.
Najsy adalah mempropagandakan naiknya harga sesuatu, tanpa ada mahsud membelinya, namun untuk merugikan orang lain.
b.      Hukum Najsy.
Adapun hukum najsy adalah haram, baik dengan persetujuan pedagang atau tidak. Karena najsy termasuk penipuan. Rasulullah saw. bersabda, Ibnu Abdul Bar berkata, “Para ulama sepakat bahwa orang yang mengetahui bahwa najsy dilarang, tapi ia melakukannya, berarti ia telah melakukan maksiat terhadap Allah swt. ”

c.       Hukum akad jual beli jika terdapat unsur najsy.
Para ulama berbeda pendapat dari masalah ini. Imam Syafi’i berpendapat, jika yang melakukan najsy adalah penjual sendiri atau atas seizin penjual maka akad yang dilakukan tisah sah. Namun jika najsy tersebut dilakukan pihak ketiga tanpa sepengetahuan penjual, maka akad tersebut sah. Sedangkan kebanyakan ulama, termasuk Abu Hanifah, Malik, Syafi’i (dalam satu pendapatnya yang lain), Ahmad (dalam satu pendapatnya yang lain) menyatakan akad tersebut sah. Hanya saja Malik dan Ahmad memberikan peluang bagi pembeli untuk membatalkan akad manakala saat itu ia tidak tau dan merasa dirugikan.
Dengan demikian, semua bentuk muamalah maliyah yang mengandung unsur penipuan, masuk dalam kategori najsy. Misalnya: menutupi barang yang cacat, mencampur barang yang jelek dengan barang yang baik. Namun perlu juga diketahui, bahwa tipu daya dibolehkan terhadap orang-orang yang boleh diperangi. Rasulullah saw. bersabda, “perang adalah tipu daya.”

3)        Larangan saling membenci.[5]
a.       Definisi benci.
Benci adalah sikap tidak suka. Sikap seperti ini telah dilarang oleh Rasulullah saw. karena umat Islam adalah bersaudara, yang saling menyayangi dan mencintai. Karenanya mereka dilarang saling benci, kecuali kebencian karena Allah. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (Al- Hujurat:10)
b.      Hukum membenci.
Saling benci biasanya dilakukan antar dua kubu. Adakalanya kebencian tersebut bermuara dari kedua belah pihak, adakalanya hanya dari satu pihak. Kebencian yang sifatnya karena Allah saw, hukumnya bisa wajib dan bisa sunah. Namun, jika didasari karena selain Allah maka hukumnya haram.
c.       Diharamkan perkara-perkara yang mendatangkan permusuan dan kebencian.
Allah mengharamkan perkara-perkara yang mendatangkan permusuhan dan kebencian. Itulah hikmah diharamkannyaminuman keras dan judi. Allah saw. berfirman: “Sesungguhnya setan itu bermahsud hedak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengajarkan pekerjaan itu). ” (Al-Maidah: 91).

4)        Larangan untuk memutuskan hubungan
Memutuskan hubungan, bergantung pada sebabnya. Jika dilakukan karena tendensi duniawi, maka tidak diperbolehkan. Inilah yang dimahsud dalam sabda Nabi Muhammad saw, “Tidaklah halal seorang muslim memutuskan hubungan terhadap saudaranya sesama muslim lebih dari tiga hari, jika bertemu ia saling berpaling. Yang paling baik diantara keduanya adalah yang memulai salam” (H.R Bukhori dan Muslim dari Abu Ayub ra.)
Adapun jika dilakukan karena Allah swt. maka boleh dilakukan lebih dari tiga hari. Hal ini berdasarkan pada hukuman yang dijatuhkan Rasulullah saw. kepada tiga sahabatnya yang tidak ikut dalam perang Tabuk. Beliau memerintahkan semua umat Islam, untuk tidak berbicara dengan tiga sahabat tersebut selama 50 hari. Demikian juga, boleh memutuskan hubungan dengan orang yang senantiasa melakukan perbuatan bid’ah atau menganut paham-paham sesat.

5)        Larangan menjual atas Jualan orang lain
Para ulama sepakat bahwa jual beli seperti ini diharamkan, misalnya: seorang pedagang berkata kepada pembeli yang sedang melakukan transaksi jual beli, “Batalkan transaksi mu dan saya akan memberimu barang yang sama dengan harga yang murah”, atau seorang pembeli berkata kepada pedagang yang sedang melakukan transaksi dengan pembeli lain “Batalkan transaksi mu, karena saya akan membeli dengan harga yang lebih mahal”. sebagaimana sabda Nabi, “Seorang mukmin tidak menjual atas jualan saudaranya.” (H.R. Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah ra.).
Imam Nawawi berkata, “Jual beli seperti ini dilarang oleh Agama”. Namun, jika transaksi sudah berlangsung, maka Abu Hanifah, mazhab Syafi’i, dan ahli fiqih lain menyatakan bahwa transaksi ini sah. Sementara Dawud dan Malik menyatakan bahwa transaksi ini tidak sah.”

6)        Perintah untuk menyebarluaskan ruh persaudaraan
Rasulullah saw. memerintahkan untuk menggalakkan persaudaraan diantara umat Islam, hal ini diisyaratkan oleh sabdanya: “Jadilah hamba Allah yang bersaudara.”
Dalam upaya dalam menciptakan persaudaraan, maka yang perlu diperhatikan adalah menunaikan berbagai hak seorang muslim terhadap muslim yang lainnya, misalnya salam, menjenguk jika sakit, memenuhi undangannya, memberi nasehat dan lain sebagainya. Satu hal lagi yang bisa menambah persaudaraan semakin mesra adalah memberikan hadiah dan berjabat tangan. Rasulullah saw. bersabda, “Berilah hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan penyakit hati.” (H.R. Tirmidzi). Hasan Al-Bashri berkata, “Berjabat tangan dapat menambah kasih sayang.”

7)        Kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya sesama muslim
Seorang muslim dituntut untuk bermuamalah dengan saudaranya sesama muslim dengan cara yang dapat melahirkan pertautan hati. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” (Al-Hujarat: 10)[6]
Dengan demikian, ia dilarang untuk melakukan hal-hal yang bisa memicu perpecahan hati dan diantar pemicu keretakan hatiyang paling utama ada empat perkara: kezaliman, rasa tidak peduli, dusta dan memandang rendah orang lain.
Ini semua menunjukan bahwa persaudaraan adalah sesuatu yang sangat urgen didalam Islam. Bahkan lantaran urgensinya pula seorang muslim tidak dianggap sempurna keimanannya, jika belum mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.[7] Dengan demikian ia akan berusaha untuk tidak menyakiti saudaranya dan menjaganya dari berbagai bentuk kemadhorotan.

8)        Takwa adalah sebuah barometer
Takwa adalah menjauhi azhab Allah swt. dengan cara melakukan setiap perintah dan meninggalkan laragan. Sesungguhnya Allah swt. hanya akan menghormati manusia dengan ketakwaannya, bukan karena karena diri atau kekayaannya. Karenanya bisa saja seseorang dimata orang lain hina karena kurang beruntung dalam nikmat dunia, akan tetapi disisi Allah ia mempunyai kedudukan dan nilai yang tinggi dibanding orang yang terpandang dimata masyarakat, karena kedudukan, kekuasaan dan harta yang sebenarnya diperoleh secara tidak halal.
Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.” (Al-Hujarat: 13). Hadis ini menerangkan kedudukan manusia disisi Allah bervariasi, sesuai dengan amal perbuatan yang dimilikinya yang sebanding dengan ketakwaanya. Bukan karena kedudukan, keturunan, bentuk raut muka dan warna kulit ataupun banyaknya harta yang dimiliki.

9)        Terpeliharanya seorang muslim.
nyawa, harta, dan kehormatan seorang muslim, terpelihara. Hal ini dinyatakan Rasulullah saw, saat khutbah yang sangat monumental, yaitu khutbah Wada’ di Padang Arafah. Dalam khutbah tersebut beliau bersabda, “Sesungguhnya harta, darah dan kehormatan kalian adalah terpelihara, seperti terpeliharanya, hari ini, bulan ini, dan negeri ini...”
Inilah hak-hak manusia secara umum, yang menjadi landasan tertegaknya masyarakat muslim yang aman sentosa. Dalam masyarakat tersebut, karena seorang muslim akan merasa tenang terhadap hartanya, karena tak ada seorang pun yang akan mencuri ataupun merampasnya. Merasa tenang terhadap kehormatannya, karena tidak ada siapapun yang menginjak-nginjak. Untuk menciptakan kondisi ini, Allah menetapkan hukuman qishas bagi siapa saja yang membunuh, mencuri dll.

10)    Selain hal-hal diatas, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari hadits diatas.[8]
·          Islam bukan hanya aqidah dan ibadah, akan tetapi juga mencakup akhlak dan muamalah.
·          Dalam Islam akhlak tercela merupakan kejahatan yang sangat dibenci.
·          Niat dan amalan adalah barometer yang digunakan Allah untuk menimbang hamba-Nya.
·          Hati adalah sumber ketakutan kepada Allah.

E.   Uraian Kandungan atau Isi Hadist atau manfaat
Sehubungan dengan urgensi hadits ini, Imam Nawawi berkata, “Alangkah besar dan banyaknya manfaat hadits ini.
Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, “Hadits ini adalah hadits yang banyak manfaatnya. Ia menjelaskan tentang dasar-dasar penting. Bahkan jika mengamati maknaya dengan seksama, akan tampak bahwa hadits ini memuat semua hukum dan adab dalam Islam.”
Salah satu manfaat dari diharamkannya larangan menjual atas jualan orang orang lain, karena akan menyakiti perasaan orang lain bahkan bisa menimbulkan hal-hal lain yang tidak diinginkan. Ada juga manfaat dari hadits ini akan perintah untuk menyebarluaskan ruh persaudaraan bisa membantu dalam rangka menegakkan agama dan menampakkan berbagai syiarnya. Ini semua tidak akan terealisasi tanpa adanya pertautan hati dan barisan yang rapat.
Kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya sesama muslim akan  persaudaraan adalah sesuatu yang sangat urgen didalam Islam. Bahkan lantaran pentingnya pula seorang muslim tidak dianggap sempurna keimanannya, jika belum mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Dengan demikian ia akan berusaha untuk tidak menyakiti saudaranya dan menjaganya dari berbagai bentuk kemadhorotan atau apapun itu.

      IV.            KESIMPULAN
Antara muslim satu dengan muslim yang lain kita tidak boleh saling menghasud, saling menipu, saling membenci, saling membohongi, saling melecehkan, larangan untuk memutus hubungan, larangan menjual atas jualan orang lain, dan lain sebagainya.
Dalam kewajiban seseorang muslim terhadap saudaranya sesama muslim lainnya dilarang pula untuk melakukan hal-hal yang bisa memicu perpecahan hati dan diantara pemicu keretakan hati yang paling utama ada empat perkara: kedzaliman, rasa tidak peduli, dusta, dan memandang rendah orang lain.
Selain hal-hal diatas, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari hadits diatas.
·          Islam bukan hanya aqidah dan ibadah, akan tetapi juga mencakup akhlak dan muamalah.
·          Dalam Islam akhlak tercela merupakan kejahatan yang sangat dibenci.
·          Niat dan amalan adalah barometer yang digunakan Allah untuk menimbang hamba-Nya.
·          Hati adalah sumber ketakutan kepada Allah.

         V.            PENUTUP
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena pertolonganNya-lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Namun demikian, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari sisi substansi isi maupun teknis penulisan. Itu semua terpulang kepada kami dan secara akademik menjadi tanggung jawab kami pula. Untuk itu segala bentuk saran, masukan, koreksi maupun kritik sangat kami nantikan dan harapkan untuk memperbaiki makalah ini. Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, kami berharap makalah ini dapat menjadi sarana menambah ilmu dan semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, Amiin


DAFTAR PUSTAKA
Asysyafi’i, Muhyiddin Abi Zkaria. Menuju Pribadi yang Sholeh. Surabaya: Media Idaman. 1991.
Dieb al-Bugha, Musthafa. dan Muhyiddin Mistu. Al-Wafi Menyelami Makna 40 Hadits Rasulullah saw. Jakarta: Al-I’tishom Anggota IKAPI. 2011.
Hakim, Taufiqul. Kamus at-Taufiq Arab-Jawa-Indonesia. Bangsri: Amtsilati. 2004.
Robi’, Mahmud Hasan. Dalilul Falihin. Mesir : Penerbit Musthofal Banil Hubli Wa Auladuhu. 1987.




[1]Al-Ustadz Mahmud Hasan Robi’, Dalilul Falihin, (Mesir : Penerbit Musthofal Banil Hubli Wa Auladuhu, 1987), Hlm: 19-22.
[2] Muhyiddin Abi Zkaria Asysyafi’i, Menuju Pribadi yang Sholeh, (Surabaya: Media Idaman, 1991), Hlm: 375.
[3] Taufiqul Hakim, Kamus at-Taufiq Arab-Jawa-Indonesia, (Bangsri: Amtsilati, 2004), Hlm: 401.
[4] Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi Menyelami Makna 40 Hadits Rasulullah saw, (Jakarta: Al-I’tishom Anggota IKAPI, 2011), Hlm: 310-312.
[5] Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi Menyelami Makna 40 Hadits Rasulullah saw, (Jakarta: Al-I’tishom Anggota IKAPI, 2011), Hlm: 313-315.
[6] Muhyiddin Abi Zkaria Asysyafi’i, Menuju Pribadi yang Sholeh, (Surabaya: Media Idaman, 1991), Hlm: 375.
[7] Muhyiddin Abi Zkaria Asysyafi’i, Menuju Pribadi yang Sholeh, (Surabaya: Media Idaman, 1991), Hlm: 373.
[8] Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi Menyelami Makna 40 Hadits Rasulullah saw, (Jakarta: Al-I’tishom Anggota IKAPI, 2011), Hlm: 321.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates