Psikologi Belajar
I.
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk
yang belajar. Sejak manusia dilahirkan, belajar merupakan aktivitas yang utama.
Oleh karena itu, belajar selalu ada dalam kehidupannya. Belajar tidak hanya
melibatkan penguasaan suatu kemampuan akademik, tetapi juga melibatkan
perkembangan emosional, interaksi sosial, dan perkembangan kepribadian. Bayi
belajar menikmati air susu ibu, memegang jari sang ibu, belajar mendengar,
belajar melihat, belajar merangkak, belajar berdiri, belajar berjalan, belajar
berlari, belajar berbicara, belajar makan nasi, dan seterusnya. Manusia
benar-benar makhluk belajar.[1]
II. RUMUSAN
MASALAH
I. Apa
pengertian belajar?
II. Apa
saja tahap-tahap
belajar?
III. Apasajakah
teori-teori dari belajar?
IV. Faktor
apasajakah yang mempengaruhi proses belajar?
III. PEMBAHASAN
I. Pengertian
Belajar
Belajar adalah
perubahan perilaku yang relatif tetap sebagai hasil adanya pengalaman. Belajar
menyebabkan perubahan perilaku, dan karena perubahan perilaku ini bersifat
relatif tetap, maka perubahan yang relatif tetap pada diri kita sesudah kita
belajar mengenai sesuatu hal tersebut akan memungkinkan kita menunjukkan
belajar ini pada kesempatan lain.
Dalam bukunya yang berjudul The
Organization of behaviour (1949, John Wiley and Sons), D.O. Hebb
mengemukakan teorinya mengenai proses berlangsungnya belajar dan penyimpanannya
di otak. Pada masa penerbitan buku ini, bukti-bukti yang mendukung teori ini
masih sangat kurang, karena tehnik pembedahan yang canggih dan peralatan yang
di perlukan untuk mempelajari fungsi otak belum ada. Sejalan dengan
bertambahnya pengetahuan mengenai fungsi otak yang berhasil diperoleh para
peneliti otak yang lain, kenytaan membuktikan bahwa teori hebb, sekalipun
mungkin kurang benar dalam beberapa hal, telah menunjukkan kesahihannya.
Di
dalam teori hebb di gambarkan pula kemungkinan cara-cara belajar yang
benar-benar terjadi di dalam otak, yaitu dengan pembentukan bersama matarantai
antarneuron untuk membentuk ikatan antarsel untuk membentuk rangkaian fase yang
dapat mencatat informasi kompleks yang semakin bertambah banyak.
IV.
PELAZIMAN
Di
muka telah di terangkan, bahwa belajar di denifisikan sebagai perubahan
perilaku yang relatif tetap sebagai hasil dari adanya pengalaman dan sebagai
hasil dari sesuatu yang telah di pelajari, binatang atau manusia menjadi mampu
melakukan berbagai macam perilaku yang sebelumnya tidak dapat dikerjakan.
Pada bagian berikut ini akan diuraikan beberapa bentuk belajar sederhana dan
kemudian meningkat pada urainan mengenai beberapa macam belajar yang lebih
kompleks. Satu di antara teori belajar yang paling awal dan paling terkenal
adalah Pelaziman Klasikal (Classical Conditioning), yang sekarang banyak
di kaitkan dengan nama Ivan Pavlov. Pelaziman dibagi menjadi dua, yaitu:
V. Pelaziman
Klasikal
Pelaziman
klasikal merupakan bentuk belajar yang sangat sederhana, yakni bentuk
kiranya yang tidak memperlihatkan kepada kita suatu belajar yang sangat pandai
; namun yang terpenting ialah bahwa pelaziman klasikal ini merupakan sebuah
model belajar. Dari uraian di muka, misalnya, dapat diketahui bagaimana belajar
dapat berlangsung melalui hubungan antara rangsangan dan respons.
Hubungan
antara rangsangan baru dengan rangsangan asli maupun dengan respons asli, akan
menyebabkan perilaku, seperti pengeluaran air liur pada binatang karena adanya
bunyi lonceng, yakni perilaku yang sebelumnya tidak dapat dilakukan.
Namun, Pelaziman
Klasikal ini tidak dapat digunakan untuk menjelaskan proses belajar secara
keseluruhan. Ketika para psikolog mencoba, untuk pertama kalinya, menggunakan
metode ini untuk menjelaskan semua belajar dan semua perilaku, mereka bingung
sendiri. Bahkan untuk menjelaskan perilaku yang cukup sederhana, misalnya
seseorang mendengarkan loncengan rumah berbunyi dan kemudian bangkit dari tidurnya
untuk membukakan pintu, mereka telah menciptakan istilah yang kurang lazim,
seperti ‘refleks membuka pintu’, sesuai dengan rumus Pelaziman Klasikal. Pada
saat itulah disadari bahwa model Pelaziman Klasikal merupakan model yang kaku,
karena manusia jelas membutuhkan pemunculan rangsangan berpuluh-puluh atau
beratus-ratus kalisecara serentak sebelum dapat saling dihubungkan. Oleh karena
itu, diperlukan sebuah model belajar yang lebih fleksibel dan lebih cepat untuk
menjelaskan semua proses belajar.
VI.
Pelaziman Operan
Dasar
dari Pelaziman Operan (Operant Conditioning) dikemukakan oleh E.L. Thorndike
pada tahun 1911, yakni beberapa waktu sesudah Pelaziman Klasikal diperkenalkan
oleh Pavlov. Thorndike mempelajari pemecahan masalah pada binatang, dan
berhasil merancang sebuah ‘kotak teka-teki’, sehingga kucing yang di letakkan
di dalam kotak tersebut dapat memecahkan masalah bagaimana caranya keluar dari
kotak. Pemecahan masalah ini dapat dilakukan kucing dengan cara menarik simpul
tali, baik dengan menggunakan kaki maupun dengan mulut.
Istilah
‘Pelaziman Operan’ diciptakan oleh Skiner dan memiliki arti umum
pelaziman perilaku. Istilah ‘operan’ di sini berati operasi (operation) yang
pengaruhnya mengakibatkan organisme melakukan sesuatu perbuatan pada lingkungannya,
misalnya, perilaku motor yang biasanya merupakan perbuatan yang dilakukan
secara sadar.[2]
2. Empat tahapan belajar
VII.
Inkompetensi bawah sadar
Kondisi di saat kita tidak mengetahui kalau ternyata
kita tidak tahu. Contohnya adalah keadaan pikiran banyak pengemudi muda saat
mulai belajar mengemudi. Itulah mengapa pengemudi muda mengalami lebih banyak
kecelakaan ketimbang pengemudi yang lebih tua dan berpengalaman. Mereka tidak
dapat (atau tidak mau) mengakui terbatasnya pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman
mereka. Orang-orang yang berada dalam keadaan ini kemungkinan besar akan
mengambil risiko, memapar diri pada bahaya atau kerugian, untuk alasan
sederhana yang sama sekali tidak mereka sadari bahwa itulah yang mereka
lakukan.
VIII.
Inkompetensi sadar
Pengakuan sadar pada diri sendiri bahwa kita tidak
tahu apa yang dapat kita lakukan, dan penerimaan penuh atas kebodohan kita.
IX.
Kompetensi sadar
Ketika kita mulai memiliki keahlian atas sebuah
subjek, tetapi tindakan kita belum berjalan otomatis. Pada belajar yang ini,
kita harus melaksanakan semua tindakan dalam level sadar. Saat belajar
mengemudi, misalnya, kita harus secara sadar tahu di mana tangan dan kaki kita,
berpikir dalam setiap pengambilan keputusan apakah akan menginjak rem,
berbelok, atau ganti gigi. Saat kita melakukannya, kita berpikir dengan sadar
tentang bagaimana melakukannya. Pada tahap ini, reaksi kita jauh lebih lamban
ketimbang reaksi para pakar.
X. Kompetensi
bawah sadar
Tahapan seorang ahli yang sekadar melakukannya, dan
bahkan mungkin tidak tahu bagaimana ia melakukannya secara terperinci. Ia tahu
apa yang ia lakukan, dengan kata lain, ada sesuatu yang ia lakukan di hidup ini
yang bagi orang lain tampak penuh risiko tetapi bagi dia bebas risiko. Ini
terjadi karena ia telah membangun pengalaman dan mencapai kompetensi bahwa
sadar pada aktivitas itu selama beberapa tahun. Ia tahu apa yang ia lakukan,
dan ia juga tahu apa yang tidak dapat ia lakukan. Bagi seseorang yang tidak
memiliki pengetahuan dan pengalamannya, apa yang ia lakukan tampak penuh
risiko.
3. Teori Belajar
XI.
Teori Belajar Menurut
Ilmu Jiwa Daya
Teori ilmu jiwa daya
menyatakan bahwa setiap manusia memiliki daya atau kekuatan dan potensi. Daya
yang ada perlu dikembamgkan dengan pola latihan terpadu dengan mulai
memperkenalkan pengetahuan verbalistik, seperti mengenal angka dan huruf,
mengucapkan bunyi huruf, dan menyusun kalimat.
XII.
Teori tanggapan
Teori Tanggapan ini
dikembangkan oleh Herbrt yang mengatakan bahwa dengan potensinya yang kuat,
manusia membutuhkan rangsangan untuk mengembangkannya. Cara pengembangannya
adalah dengan memasukkan tanggapan sebanyak mungkin. Otak manusia diberi
rangsangan untuk menanggapi berbagai stimulasi yang masuk ke unsur-unsur
visualnya.
XIII. Teori
Gestalt
Teori Gestalt dikembangkan
oleh koffka dan kohler dari jerman. Teori ini berpandangan bahwa dalam belajar,
yang terpenting adalah memusatkan perhatian sepenuhnya untuk menanggapi objek
yang datang dari luar. Untuk meningkatkan kepekaan tanggapan itu, setiap
individu harus dilatih dan dikembangkan kemampuan dasarnya dengan memperbanyak
pengalamannya. Pengalaman yang diperoleh akan memperkaya daya nalar manusia
terhadap pengalaman yang baru.[3]
4. Faktor Proses Belajar
XIV. Waktu
istirahat : Khususnya kalau mempelajari
sesuatu yang meliputi bahan yang banyak, perlu disediakan waktu-waktu tertentu
untuk istirahat. Dalam waktu istirahat sebaiknya tidak banyak kegiatan yang
mengganggu pikiran sehingga bahan yang sudah dipelajari punya cukup kesempatan
untuk mengedap dalam ingatan.
XV.
Pengetahuan tentang
materi yang dipelajari secara menyeluruh : Dalam
mempelajari sesuatu, adalah lebih baik kalau pertama-tama kita pelajari dulu
materi atau bahan yang ada secara keseluruhan, dan baru setelah itu dipelajari
dengan lebih seksama bagian-bagiannya. Tetapi untuk dapat melakukan hal ini,
diperlukan taraf kecerdasan yang relatif tinggi. Makin rumit persoalannya,
makin sukar ditangkap materinya ssebagai keseluruhan. Karena itu kalau memang
seseorang kurang mampu, lebih baik ia mempelajari terlebih dahulu
detail-detailnya, dan baru kemudian menyatukannya ke dalam suatu keseluruhan.
XVI. Pengertian
terhadap materi yang dipelajari : kalau kita
mempelajari sesuatu, maka kita harus mengerti apa yang kita pelajari itu. Tanpa
pengertian, maka usaha belajar kita akan menemui banyak kesulitan. Misalnya,
dua orang disuruh menghafal sajak bahasa Inggris. Orang yang pertama mengerti
bahasa Inggris, sedangkan orang yang kedua tidak dapat berbahasa Inggris, maka
bahasa yang sama akan dihafal jauh lebih cepat oleh orang yang pertama.
XVII. Pengetahuan
akan prestasi sendiri : kalau tiap kali kita
dapat mengetahui hasil prestasi kita sendiri, yaitu mengetahui mana
perbuatan-perbuatan kita yang masih salah, maka akan lebih mudah kita
memperbaiki kesalahan-kesalahan itu daripada kalau kita harus meraba-raba
terus. Dengan demikian pengetahuan akan prestasi sendiri akan mempercepat kita
dalam mempelajari sesuatu.
XVIII. Transfer
: Pengetahuan kita mengenai hal-hal yang pernah kita
pelajari sebelumnya, kadang-kadang mempengaruhi juga proses belajar yang sedang
kita lakukan sekarang. Pengaruh ini disebut transfer. Transfer dapat bersifat
positif, yaitu kalau hal yang lalu mempermudah proses belajar yang sekarang,
atau dapat juga bersifat negatif, yaitu kalau hal yang lalu justru mempersukar
proses belajar yang sekarang. Transfer positif misalnya : kemampuan mengendarai
sepeda akan mempermudah seseorang dalam mempelajari sepeda motor. Transfer yang
negatif misalnya : kemampuan kita dalam berbicara bahasa indonesia akan
mempersukar kita mempelajari bahasa Inggris.[4]
XIX.
KESIMPULAN
XX.
Belajar merupakan
perubahan perilaku yang relatif tetap sebagai hasil dari diperolehnya
pengalaman.
XXI. Pelaziman
Klasikal (Povlov) mungkin merupakan bentuk belajar yang paling sederhana dan
didasarkan pada refleks. Organisme dapat di biasakan untuk memberikan Respons
Refleks terhadap rangsangan yang berbeda, yaitu dengan jalan pengulangan
pemunculan Rangsangan (Bersyarat) yang baru dengan Rangsangan (Tak-bersyarat)
yang asli. Apabila Rangsangan Bersyarat terus-menerus dimunculkan secara
tunggal, maka Respons Bersyarat secara bertahap akan melemah dan akhirnya
hilang, dan ini dikenal sebagai penghapusan. Organisme akan menyamaratakan
respons terhadap rangsangan yang mirip dengan Rangsangan Bersyarat, namun
penyamarataan ini dapat dikendalikan oleh pelaziman diskriminasi.[5]
XXII.
PENUTUP
Demikian makalah yang
dapat pemakalah sampikan. Pemakalah menyadari bahwa dalam penyusunan makalah
ini masih ada kesalahan dan kekurangan. Untuk itu pemakalah mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk mencapai kesempurnaan dalam pembuatan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan pelajaran
kepada kita semua. Amin....
DAFTAR
PUSTAKA
Hardy,
Malcolm. 1988. Pengantar Psikologi. Jakarta: ERLANGGA.
Marliani,
Rosleny. 2010. Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia.
Wirawan, Sarlito dan Sarwono. 1976.
Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: NV Bulan Bintang.
[1]Rosleny
Marliani, Psikologi Umum, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 196.
[2]
Malcolm Hardy, Pengantar Psikologi, (Jakarta: ERLANGGA, 1988), hlm. 35
[3]
Ibid, hlm. 201
[4]Sarlito
Wirawan dan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: NV Bulan
Bintang, 1976), hlm. 45
[5]Malcolm, Op.cit,
hlm. 54.
0 komentar:
Post a Comment