Urf Fiqh
I.
PENDAHULUAN
Tidak diragukan lagi bahwa syariat islam
adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntutan
Allah Swt untuk umat manusia dalam mewujudkan yang lengkap dan final . itulah
sebabnya, dengan posisi seperti ini maka Allah pun mewujudkan format syariat
islam sebagai yang abadi dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya
prinsip-prisnsip dan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam islam yang membuatnya
dapat memberikan jawaban terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang berubah dari
waktu kewaktu seiring dengan perkembangan zaman .
Karena
itu, dalam usul fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad dikenalah
beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan
ra’yu para fuqaha. Dan diantaranya adalah Urf, Syar’u man qablanayangakan
dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini .
II.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan ‘Urf dan macam- macam ‘Urf?
2. Hukum
dapat berubah karena perubahan ‘Urf?
3. Apa
yang dimaksud dengan Syar’u Man Qablana dan Macam-macam Syar’u Man Qablana?
III. PEMBAHASAN
A.
Pengertian Urf dan macam-macam Urf
1. Pengrtian
Urf
Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh
masyarakat dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau
perbuatan, atau keadaan meninggalkan, dan disebut juga adat, sedangkan menurut
istilah para ahli syara’tidak ada perbuatan antara Urf dan adat kebiasaan.[1]
Istilah Urf dalam pengertian tersebut sama
dengan pengrtian istiadat Al-‘adah (adat istiadat). Contoh Urf berupa perbuatan
atau kebiasaan di satu masyarakat dalam melakukan jual beli dengan menerima
barang dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan Kabul (qobul). Contoh
‘Urf yang berupa perkataan, kebiasaan disatu masyarakat untuk tidak menggunakan
kata al-lahm (daging) kepada jenis ikan. Kebiasaan seperti itu menjadikan bahan
pertimbangan waktu akan menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang tidak
ketegasan dalam Al-qur’an dan sunnah.[2]
2. Macam-macam
‘urf
Ditinjau dari
segi bahasanya ‘urf dibedakan menjadi 2 macam yaitu:
a. ‘Urf
shahih
‘urf
yang shahih ialah sesuatu yang saling di kenal oleh manusia, dan tidak
bertentangan dengan dalil syara’ , tidak menhalalkan sesuatu yang di haramkan
dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib, sebagaimana kebiasaan mereka
mengadakan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat
dan tidak bertentangan oleh syara’.[3]
b.
‘Urf fasid
‘urf fasid yaitu
sesuatu yang menjadi tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu bertentangan
dengan syara’ seperti mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat
yang di pandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima , karena berlawanan dengan
ajaran tauhid seperti yang diajarkan oleh agama islam.[4]
Ditinjau dari
segi ruang lingkupnya , ‘urf dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. ‘urf
‘aam
Ialah suatu
tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat luas, tidak dibatasi oleh
kedaerahan ataupun wilayah seperti memberi hadiah atau tip kepada orang yang
telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terimakasih kepada orang yang
membantu kita dan sebagainya.
Pengertian
memberi hadiah disini di kecualikan bagi orang yang memang menjadi tugas
kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah
memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada seperti
hubungan penguasaan seperti pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang
menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat atau anggota masyarakat yang dilayani.[5]
b. ‘urf
khash
Ialah ‘urf yang
hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja contoh nya seperti
dalam pernikahan, tradisi suku batak adala tidak bolehnya laki laki dan
perempuan yang semarga, di karenakan mereka menganggap antara laki laki dan
perempuan itu masih mempunyai pertalian
darah. Adapun kebiasaan bangsa arab, menikahkan anaknya dengan anak saudara
laki-laki lebih utama dikarenakan pernikahan itu mebuat hubungan kekeluargaan
lebih rapat
Ditinjau dari
segi sifatnya, ‘Urf dibagi menjadi 2 yaitu :
a. ‘Urf
qauli
Ialah ‘Urf yang
berupa perkataan, seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak,
termasuk didalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan
sehari-hari bisa diartikan dengan anak laki-laki saja .
b. ‘Urf
amali
Ialah ‘Urf
berupa perbuatan, seperti kebiasaan jual-beli dalam masyarakat tanpa
mengucapkan shighat akad jual-beli. Padahl menurut sayar’ shighat jual-beli itu
merupakan salah satu rukun jual-beli. Tetapi telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat melakukan jual-beli tanpa shighat jual-beli dan tidak terjadi hal
yang tidak diingini, maka sayara’ membolehkannya.[6]
B. Hukum
Dapat Berubah Karena Perubahan ‘Urf
Hampir tidak perlu disebutkan, bahwa
sebagai adat kebiasaan, ‘urf dapat berubah karena adanya perbuahan waktu dan
tempat. Sebagai konsekuensinya, mau tidak mau hukum juga berubah mengikuti perubahan
‘urf tersebut. Dalam konteks ini, berlaku kaidah yang menyebutkan:
Artinya :
Ketentuan hukum dapat berubah dengan terjadinya perubahan waktu, tempat, keadaan, individu, dan perubahan
lingkungan.
Kaidah ini sangat penting dipahami oleh
setiap hukum islam, untuk mengukuhkan adegium yang menyebutkan bahwa agama
islam tetan relevan untuk semua waktu dan tempat (al-islam shalih likull zaman
wa makan). Menentang kaidah ini sama saja dengan menjadikan islam ketinggalan
zaman, kaku, jumud, dan tidak dapat memenuhi rasa keadilan hukum masyarakat
(padahal ituabasbertentangan dengan prinsip kemudahan dalam syariat islam).
Akibatnya, umat islam akan hidup dalam keadaan serba gamang dan canggung
menghadapi perubahan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi srta peradaban
yang harus beranjak maju. Tentu saja hal itu mebuat umat islam mengalami
kesulitan dalam hidupnya, karena pada satu sisi mereka ingin tetap menjadi
muslim yang baik, tetapi pada sisi lain mereka terjebak pada ketentuan hukum
islam yang tidak lagi dapat memenuhi tuntutan perubahan zaman. Dampak
selanjutnya ialah, islam sebagai suatu ajaran abadi yang hanya tinggal dalam
sejarah. Oleh karena itu, mengingat pentinggya pemahaman tehadap
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat(yangtentu saja akan
menimbulkan pula perubahan pada ‘urf dan adat kebiasaan mereka), maka
dikalangan ulama’ berkembang pendapat yang menyatakan, salah satu persyaratan
untuk menjadi seorang yang berpredikat mujtahid ialah, memahami ‘urf yang
berlaku dalam masyarakat. Dengan memahami ‘urf yang berlaku, seorang mujtahid
tidak akan kehilangan sifat dinamis dan up to date dalam fatwa-fatwa hukumnya.
Untuk lebih jelas, dibawah ini disajikan
3contoh tentang terjadinya perubahan hukum karena-sejalan dengan perubahan
waktu atau tempat dan/atau keadaan terjadinya perubahan pada ‘urf dan adat
kebiasaan masyarakat.
Pertama, ulama’ salaf berpendapat,
seseorang tidak boleh menerima upah/honor sebagai guru yang mengajarkan
al;qur’an dan sholat, puasa, dan haji. Demikian juga, tidak boleh menerima
honor sebagai imam masjid dan muadzin. Sebab, kesejahteraan mereka telah
ditanggung oleh bait al-mal. Akan tetapi, karena perubahan zaman, dimana bait
al-mal tidak lagi mampu menjalankan fungsi tersebut, ulama’ kontemporer
membolehkan menerima honoratas
pekerjaan -pekerjaan
tersebut.
kedua, Imam Abu Hanifah bependapat,
kesaksian seorang didepan pengadilan dapat diterima, hanya dengan mengandalkan
sifat al-‘adalah az-zairah (secara lahiriah tidak fasiq), kecuali dalam kasus
huddud dan qhisoss. Akan tetapi, belakangan Abu Yusuf dan Muhammad (keduanya
murid Imam Abu Hanifah), berpendapat, kesaksian seorang saksi hanya dapat
diterima, setelah lebih dahulu dilakukan tazkiyyah asysuhud (penyelidikan
mendalam terhadap sifat-sifat saksi tersebut bahwa ia layak menjadi saksi). Hal
ini dilakukan untuk menjamin kepentingan dan hak-hak para pihak yang berperkara
dipengadilan. Pendapat Abu Hanifah sejalan dengan keadaan pada masanya, dimana
pada umumnya orang takut berdusta, karena pada umumnyaakhlak masyarakat masih terpelihara.
Sementara pendapat kedua muridnya juga sejalan dengan perubahan keadaan, dimana
akhlak masyarakat sudah merosot dan orang tidak merasa berat untuk berdusta.
Ketiga, Rasulullah tidak melarang para
pemudi turut melaksanakan sholat berjamaah dimasjid. Demikian juga pada
masa-masa sesudah beliau, karena para pemudi menjaga dirinya dari fitnah dan
akhlah masyarakat juga sangat baik. Akan tetapi, belakangan sejalan dengan
merosotnya akhlak masyarakat, ulama’ menfatwakan larangan bagi para pemudi
untuk sholat berjamaah dimasjid.[7]
C. Pengertian Syar’u Man Qablana dan
macam-macamnya
1. Pengertian
Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana ialah syariat orang-orang
sebelum kita. Yang dimaksud ialah syariat hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku pada
nabi, sebelum nabi diutus sebagai rosulseperti syariat nabi Ibrahim, nabi daud,
nabi musa, nabi isa dan lain-lain.
Sebagaimana
diyakini, syariat Nabi Muhammad SAW, merupakan syariat terakhir yang diturunkan
oleh Allah kepada manusia. Dalam pada itu, al-qur’an maupun hadits Nabi banyak
berisi kisah para nabi dan rosul allah yang terdahulu serta hukum-hukum syara’
yang berlaku bagi mereka dan umatnya berkaitan dengan syariat para nabi
tersebut dalam kajian ushul fiqih, para ulama mengemukakan pembahasan tentang
persoalan, apakah syariat yang diturunkan oleh allah kepada para nabi sebelum
nabi Muhammad diutus, berlaku juga bagi nabi Muhammad dan umat beliau atau
tidak? Untuk menjawab persoalan tersebut.[8]
2. Macam-macam
Syar’u Man Qablana
Syar’u Man
Qablana dibagi menjadi dua bagian yaitu Pertama : setiap hukum syariat dari
umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-qur’an dan sunah. Ulama sepakat
bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua: setiap hukum
syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-qur’an dan sunah.
Pembagian kedua ini diklasifikasikan menjadi 3 :
a. Dinaskh
syariat kita (syariat islam) tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan
semua ulama. Contoh: pada syariat Nabi Musa a.s pakaian yang terkena najis
tidak suci kecuali dipotong kena najis itu.
b. Dianggap
syariat kita melalui Al-qur’an dan sunah ini termasuk syariat kita atas
kesepakatan ulama’. Contoh: perintah menjalankan puasa.
c. Tidak
ada penegasan syariat kita apakah Dinaskh atau dianggap sebagai syariat kita.
Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini (
Syar’u Man Qablana).
1. Yang
diberitakan kepada kita baik melalui Al-qur’an atau asunah, tetapi tidak tegas
diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
2. Yang
tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syariat kita.
Ada beberapa dalil yang dibuat tendensi
mereka, para ulama yang menganggap bahwa syariat yumat sebelum kita adalah
syariat kita:
a. Syariat
umat sebelum kita adalah syariat allah yang tidak ditegaskan kalau saja yang
telah Dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan
berdasarkan firman Allah dalam surah Al-an’am ayat 90, An- nahl ayat 123, dan
surat As-syura’ ayat13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abas pernah melakukan sujut
tilawah ketika membaca salah satu ayat Al-qur’an dalam surah Shod ayat 24.
b. Kewajiban
mengqhodhoi sholat fardu berdasarkan hadits nabi “barang siapa yang tertidur
atau lupa melakukan sholat maka qhodoilah kalau nanti sudah ingat”. Dan ayat
“kejakanlah sholat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh nabi secara
berurutan dengan hadits diatas. Ayat ini ditunjukan kepada Nabi Musa a.s,
karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi
sebelumnya Niscaya penyebutan ayat diatas tidak dapat memberikan faidah.
c. Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat Nabi terdahulu yang
tercantum dalam Al-qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu
masi berlaku bagi umat islam dan tidak ada pula penjelasan yang membatalkannya.
KESIMPULAN
Urf adalah sesuatu yang telah
dikenal oleh masyarakat dan telah menjadi tradisi mereka.
Macam-macam ‘Urf dari segi
diterima atau tidaknya ada dua yaitu: ‘Urf Shahih dan ‘Urf fasid. Macam-macam
‘Urf dari segi ruang lingkup ada dua yaitu: ‘Urf ‘aam dan ‘Urf khash.
Macam-macam ‘Urf dari segi sifatnya ada
dua yaitu: ‘Urf qauli dan ‘Urf amali.
Hukum Dapat Berubah Karena
Perubahan ‘Urf Hampir tidak perlu disebutkan, bahwa sebagai adat kebiasaan,
‘urf dapat berubah karena adanya perbuahan waktu dan tempat. Sebagai
konsekuensinya, mau tidak mau hukum juga berubah mengikuti perubahan ‘urf
tersebut.
Syar’u man qablana adalah ajaran
atau syariat terdahulu sebelum islam yang berhubungan tentang syariat atau
hukum-hukum untuk umat sebelum islam dibawa oleh para Nabi.
Macam-macam Syar’u man qablana
ada tiga yaitu dinaskh syariat kita (syariat islam). Dianggap syariat kita
melalui Al-qur’an dan Al-sunnah, tidak ada penegasan dari syariat kita apakah
Dinasakh atau dianggap syariat kita.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf,
Abdul wahhab, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994
Effendi,
Satria, M. Zein, M.A, Ushul Fiqih, Jakarta: Predana Media Rawamangun,
Umar,
Muin, Ushul Fiqih 1, pembinaan kelembagaan agama islam departemen agama
[1] Prof. Abdul wahhab khallaf, ilmu ushul fiqih, (dina utama
semarang), hal 23
[2] Prof. DR. Satria effendi, M. Zein, M.A, ushul fiqih, (predana media
rawamangun-jakarta), hal 153-154
[3] Drs. Muin Umar, ushul fiqih 1 , (pembinaan kelembagaan agama
islam departemen agama)ha151
[4] Drs. Muin Umar, ushul fiqih 1, ( pembinaan kelembagaan agama islam
departemen agama) hal 151
[5] Drs. Muin Umar, ushul fiqih 1, ( pembinaan kelembagaan agama islam
departemen agama) hal 151
[6] Drs. Muin Umar, ushul fiqih 1, ( pembinaan kelembagaan agama islam
departemen agama) hal 151
[7] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. ushul fiqh, (Amzah-jakarta) hal
215-216
[8] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. ushul fiqh, (Amzah-jakarta) hal
215-216
0 komentar:
Post a Comment