September 16, 2015

Pemikiran Syaikh Waliyullah

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada awal abad ke-18 tanda-tanda kemunduran politik, ekonomi, dan intelektual Islam sudah tampak jelas. Kekuatan dinasti-dinasti yang dulunya hebat, seperti Usmaniyah, Safawiyah, dan Mongul mengalami tantangan di dalam negeri dan ancaman-ancaman eksternal dari kekuatan-kekuatan asing. Kegagalan mereka dalam menangani krisis politik, ekonomi, dan intelektual yang semakin membesar pada saat itu, telah melemahkan otoritas politik mereka di dalam negeri. Sehingga membuat mereka semakin rentan terhadap kekuatan-kekuatan kolonial Eropa yang ambisius.
Berada dalam posisi yang terjepit, para penguasa Muslim pada saat itu kesulitan mempertahankan kekuasaan mereka. Namun ditengah kekacauan dan kebingungan, muncul para cendikiawan Islam yang luar biasa, yang mendedikasikan hidup mereka untuk membangkitkan kembali ajaran-ajaran dan praktik islam yang otentik, sera berjuang gigih untuk memperbarui kebudayaan dan masyarakat Islam.
Walaupun para cendikiawan dan pembaharu ini tidak dalam posisi untuk  mengorganisir pasukan besar dan melancarkan tindakan militer terhadap kekuatan-kekuatan asing yang merangsek masuk, mereka mampu mempertahankan dan mendukung nilai dan prinsip Islam pada satu titik kritis dalam sejarah Islam. salah satu cendikiawan dan pembaharu yang demikian luar biasa adalah Syah Waliullah. Dia muncul untuk mendukung pemikiran, kebudayaan, dan praktek Islam manakala Islam India sedang melewati salah satu periode paling sulit dalam sejarah mereka.[1] Oleh karena itu dalam makalah ini lebih lanjut akan dibahas mengenai Syah Waliullah.
B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, rumusan masalah yang diangkat antara lain:
                               I.            Bagaimanakah biografi Syah Waliullah ?
                            II.            Bagaimanakah corak pemikiran Syah Waliullah ?
                         III.            Apa saja kah karya-karya Syah Waliullah ?
PEMBAHASAN
       I.            Biografi Syah Waliullah
Syah Waliullah bernama lengkap Qutbuddin Ahmad bin Abdurrahim, namun lebih dikenal dengan sebutan Syah Waliullah Dihlawi. Beliau lahir di Distrik Muzaffarnagar (India) dalam sebuah keluarga Muslim yang anggota keluarganya merupakan tokoh-tokoh ulama dan sufi yang terkemuka.[2]
Beliau lahir pada tahun 1703 Masehi. Kakeknya bernama Syeikh Wajihuddin, seorang perwira tinggi dalam ketentaraan Kaisar Jahangir, dan pembantu Aurangzeb dalam perang perebutan tahta. Ayahnya bernama Shah Abdur Rahim, sufi dan sarjana terkenal yang telah membantu menyusun Fatwa-i-Alamgiri, buku tebal mengenai hukum Islam.[3]
Syah Waliullah menghabiskan tahun-tahun awalnya di Muzaffarnagar dan kemudian pindah ke Delhi bersama ayahnya. Disana, ayahnya mendirikan sebuah sekolah keagamaan, Madrasah-i-Rahimiyyah, tempat dia mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Oleh karena itu Syah Waliullah tumbuh besar di Delhi dibawah pengasuhan ayahnya dan menghafalkan al-Qur’an pada usia tujuh tahun. Dia kemudian mempelajari bahasa Arab dan Persia, serta ilmu-ilmu tradisional Islam seperti tafsir, hadist, fiqh, dan mantiq (ilmu logika) di Madrasah-i-Rahimiyyah.
Karena ayahnya adalah seorang ulama dan sufi yang mengelola lembaga pendidikan, maka perhatian orang tuanya tidak hanya terbatas pada peningkatan intelektual dan agama saja tetapi lebih dari itu peningkatan kehidupan esoteris (batiniah) sehingga dengan latar belakang pendidikan tersebut dia meneruskan kegiatan ayahnya baik sebagai guru di madrasahnya maupun di padepokan sufinya (khanqah).[4]
Setelah ia yakin sudah mendapatkan kedewasaan intelektual, Syah Waliullah kemudian pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Pada saat itu dia berusia dua puluh delapan tahun. Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, dia tetap tinggal di Makkah dan Madinah selama lebih dari satu tahun.
Syah Waliyullah al-Dihlawi memiliki dua orang istri. Isteri kedua dinikahinya beberapa saat setelah kepulangannya dari Hijaz. Dari isteri pertamanya,  ia mendapatkan seorang putra  bernama Shah Muhammad (1730-1793) dan seorang putri bernama Ammatul Aziz. Sedangkan dari isteri keduanya, al-Dihlawi memperoleh empat orang putra (Shah Abdul Aziz Muhaddith Dehlavi, Shah Rafi’ al-Din,  Shah Abdul Qadir, dan  Shah Abdul Ghani) dan seorang putri. Melalui merekalah, terutama putranya, Shah Abdul Aziz, Shah Rafi’ al Din, serta cucunya, Shah Ismail Syahid ajaran beliau  tersebar ke sebagian besar wilayah India.[5] Ia wafat pada hari sabtu sore, tanggal 29 Muharram 1176 H. atau 20 Agustus 1762 dalam usia 59 tahun di tempat kelahirannya.[6]

    II.            Corak Pemikiran Syah Waliullah
A.    Sepintas Tentang Pemikiran Syah Waliullah
Salah satu contoh pemikiran Syah Waliullah adalah dia secara sistematis memeriksa konsep mistis wahdat ash-syuhud ( “ Kesatuan Makhluk dalam persepsi” atau “kesatuan para aksi”) yang dikemukakan oleh Syaikh Ahmad Sirhindi dengan doktrin wahdat al-wujud (“kesatuan Mahluk atau “Monisme”) yang diutarakan Ibnu Arabi. Dan dengan melakukan itu, dia menunjukkan bagaimana dibelakang bentuk bahasa terdapat sebuah bidang netral dimana sebuah teori-teori pengalaman mistik yang tampaknya saling bertentangan ini dapat bersatu.
Selain itu Syah Waliullah berpendapat bahwa terdapat sebuah pertalian umum diantara semua cabang pengetahuan yang mempersatukan struktur-struktur inti dari pemikiran manusia. Kebenaran generik ini gagal disadari oleh para cendikiawan terdahulu, atau benar-benar diabaikan manakala mereka mencari gambar yang spesifik atau kebalikan dari gambar secara keseluruhan. Pendekatan yang inovatif terhadap pemikiran Islam ini memungkinkah Syah Waliullah untuk mempersatukan sejumlah teori yang peling kompleks dan kontroversial yang terjadi dalam cakupan filosofis, teologis, dan mistis Islam pada waktu itu.
Syah Waliullah juga melakukan penelitian luas dalam ilmu fiqh, sejarah, masalah-masalah politik, perkembangan budaya, serta moralitas dan etika-etika sosial. Izalat al-Khafa an Khilafat al-Khulafat yang ditulisnya merupakan sebuah studi baru mengenai sejarah sosial, politik, budaya Islam awal.
Syah Waliullah menyakini bahwa Islam menyediakan sebuah cara hidup komprehensif yang menggabungkan semua aspek kehidupan manusia (termasuk sifat hubungan manusia secara spiritual, psikologis, maupun biologis), tanpa mengabaikan dimensi politik, ekonomi, budaya, dan estetik. Konsep kehidupan yang terintegrasi yang digambarkan oleh Islam telah tererosi di Islam India, baik dalam teori maupun praktiknya. Menurut Syah Waliullah, kaum muslimin India telah kehilangan sentuhan dengan sumber-sumber Islam yang murni dan orisinal. Itulah sebabnya dia menterjemahkan al-Qur’an kedalam bahasa Persia walaupun mendapat tentangan dari ulama konservatif.[7]
B.     Pemikiran Syah Waliullah Tentang Politik dan Agama
Pemikiran Syah Waliullah berkisar pada soal politik dan keagamaan. Dalam persoalan yang pertama dia berpendapat bahwa diantara penyebab kemunduran umat islam adalah adanya perubahan sistem pemerintahan dari model kekholifahan ke model kerajan. Sistem pertama mempunyai watak yang demokratis sedangkan yang kedua otokrasi. Dalam sejarah raja-raja Islam pada umumnya memiliki kekuasaan yang absolut, menetapkan pajak yang tinggi bagi rakyat untuk kepentingan bermewah-mewah para bangsawan yang tidak memiliki pekerjaan apa-apa. Akibatnya akan menimbulkan rasa tidak senang dikalangan rakyat tehadap raja tersebut dan dengan demikian keamanan dan ketertiban masyarakat akan senantiasa terganggu. Menurutnya cara mengatasi persoalan tersebut adalah dengan mengembalikan sistem pemerintahan kepada kekhalifahan yang bercorak demokratis.
Selain itu umat islam semakin lemah dengan adanya keputusan ilmu kalam yang hanya berdasakan falsafah Yunani yang dianggapnya dapat merusak tauhid, tasawuf dengan ajaran hulul dan ittihad juga menyebabkan umat islam mundur. Demikian pua pandangan yang bersifat memutlakkan satu madzab sebagai yang paling benar. Dalam suasana yang demikian ini umat islam tidak mau menggali dari sumber al-Qur’an dan as-Sunnah secara langsung.[8]
Syah Waliullah juga mengkritik tasawuf yang berpangkal pada ajaran hulul dan ittihad padahal ia adalah pelanjut ayahnya sebagai guru spiritual dalam khanqah-nya. Ajaran hulul yang ditolaknya berisi upaya menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan melalui fanna’.  Bilamana fisat-sifat kemanusiaan telah hilang maka saat inilah Tuhan menyatu dalam dirinya dengan cara mengambil tempat (hulul).  
Sedangkan ajaran Ittihad juga memiliki kemiripan dengan hulul dalam hal adanya kesatuan hamba dengan Tuhan setelah melalui proses fana’, hanya saja dalam ittihad identitas manusia telah hilang karena telah menjadi satu dengan Tuhan.[9] Karena dua ajaran tasawuf tersebut tidak mengakui keberadaan manusia bahkan berupaya menghilangkannya maka sudah barang tentu corak zuhudnya semakin ekstrim yang bukan saja tak mau terikat dunia melainkan ingin meniadakannya untuk dapat menyatu dengan Tuhan.
Baginya tasawuf adalah ihsan yaitu adanya perasaan seakan-akan Tuhan dapat disaksikan dihadapan manusia. Kalau hal ini tidak dapat dicapainya maka harus ada perasaan bahwa Tuhan melihat segala gerak-gerik manusia. Pandangannya yang demikian ini memiliki peran penting dalam menjebatani perselisihan antara kaum syari’ah dengan kaum sufi. Apabila tasawuf hanya beresensikan ajaran tentang ihsan sebagaimana dijelaskan, maka hal ini tidak akan menimbulkan masalah bagi kaum syari’ah karena didalamnya masih ada ketentuan ibadah menurut menurut ketentuan syariat. Sebaliknya dalam beribadah yang disertai dengan semangat ihsan, maka dari kalangan sufi tidak akan mengkritik syari’ah sebagai usaha pendekatan diri kepada Tuhan secara verbal saja.
Bagi Syah Waliullah Islam memiliki dua aspek yaitu esoteris dan eksoteris. Yang pertama dimaksudkan untuk memberi motivasi bagi hati manusia untuk melakukan tindakan-tindakan terpuji dan ibadah kepada Tuhan. Sedangkan yang kedua dimaksudkan untuk memberikan penjelasan akan adanya unsur keseimbangan antara dua orientasi yaitu duniawi dan ukhrawi. Dengan penjelasan ini Islam mengandung segi-segi yang dapat bersesuaian dengan suasana umat yang mengalami dinamika.
Syah Waliullah juga berpendapat bahwa Islam dibedakan menjadi Islam universal dan Islam lokal. Islam universal mengandung ajaran-ajaran dasar yang konkrit sedangkan islam lokal mempunyai corak yang ditentukan oleh kondisi tempat yang bersangkutan. Maka akan muncul Islam dengan corak Arab, Persia, India dan sebagainya. Corak yang bersifat lokal ini memberikan arti Islam yang dapat memenuhi tuntutan dinamika masyarakat yang mengalami perbedaan berdasarkan ruang dan waktu.[10]

C.    Pemikiran Ekonomi Syah Waliullah
Pemikiran ekonomi Shah Waliallah dapat ditemukan dalam karyanya yang terkenal berjudul, Hujjatullah al-Baligha, di mana ia banyak menjelaskan rasionalitas dari aturan-aturan syariat bagi perilaku manusia dan pembangunan masyarakat. Menurutnya, manusia secara alamiah adalah makhluk sosial sehingga harus melakukan kerja sama antara satu orang dengan orang lainnya. Kerja sama usaha (mudharabah, musyarakah), kerja sama pengelolaan pertanian, dan lain-lain. Islam melarang kegiatan-kegiatan yang merusak semangat kerja sama ini, misalnya perjudian dan riba.[11] Kedua kegiatan ini mendasarkan pada transaksi yang tidak adil, eksploitatif, mengandung ketidakpastian yang tinggi, dan beresiko tinggi.
Ia menganggap kesejahteraan ekonomi sangat diperlukan untuk kehidupan yang baik. Dalam konteks ini, ia membahas kebutuhan manusia, kepemilikan, sarana produksi, kebutuhan untuk bekerjasama dalam proses produksi dan berbagai bentuk distribusi dan konsumsi. Ia juga menelusuri evolusi masyarakat dari panggung primitif sederhana dengan budaya yang begitu kompleks di masanya. Ia juga menekankan bagaimana pemborosan dan kemewahan yang diumbar akan menyebabkan peradaban menjadi merosot. Dalam diskusinya tentang sumber daya produktif, ia menyoroti fakta bahwa hukum Islam telah menyatakan beberapa sumber daya alam yang menjadi milik sosial. Ia mengutuk praktek monopoli dan pengambilan keuntungan secara berlebihan dari lahan perekonomian. Ia menjadikan kejujuran dan keadilan dalam bertransaksi sebagai prasyarat untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan.
Shah Waliallah membahas perlunya pembagian dan spesialisasi kerja, kelemahan dari sistem barter, dan keuntungan dari penggunaaan uang sebagai alat tukar dalam konteks evolusi masyarakat dari primitif ke negara maju. Menurutnya, kerjasama telah membentuk satu-satunya dasar hubungan ekonomi yang manusiawi dan Islami. Transaksi yang melibatkan bunga memiliki pengaruh yang merusak. Praktek bunga menciptakan kecenderungan untuk menyembah uang. Hal ini menyebabkan masyarakat berlomba-lomba dalam memperoleh kemewahan dan kekayaan. Poin paling penting dari filsafat ekonominya adalah bahwa sosial ekonomi memiliki pengaruh yang mendalam terhadap moralitas sosial. Oleh karena itu, kejujuran moral diperlukan untuk membentuk tatanan ekonomi.[12]
Untuk pengelolaan negara, maka diperlukan adanya suatu pemerintah yang mampu menyediakan sarana pertanahan, membuat hukum dan menegakkannya, menjamin keadilan, serta menyediakan berbagai sarana publik seperti jalan dan jembatan. Untuk berbagai keperluan ini negara dapat memungut pajak dari rakyatnya. Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan kegiatan negara yang penting, namun harus memerhatikan pemanfaatannya dan kemampuan masyarakart untuk membayarnya.
Berdasarkan pengamatannya terhadap perekonomian di Kekaisaran India, Waliallah mengemukakan dua faktor utama yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Dua faktor tersebut, yaitu: pertama, keuangan negara dibebani dengan berbagai pengeluaran yang tidak produktif; kedua, pajak yang dibebankan kepada pelaku ekonomi terlalu berat sehingga menurunkan semangat berekonomi. Menurutnya, perekonomian dapat tumbuh jika terdapat tingkat pajak yang ringan yang didukung oleh administrasi yang efisien.[13]

 III.            Karya-Karya Syah Waliullah
Sekembalinya dari Arabia, prioritas utama Syah Waliullah adalah kembali kepada kitab-kitab suci Islam yang orisinil dan menganalisis mereka dalam konteks abad ke-18 Mogul India. Dia melakukannya dengan penuh ketetapan hati dan gigih. Menulis secara produktif dalam beberapa disiplin ilmu keislaman sehingga menyediakan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah paling memberatkan dimasanya. Diantara beberapa buku yang terkenal antara lain adalah :
a.       Tafhimat al-Ilahiyah (Penjelasan- penjelasan Ilahiyah)
b.      Lamahat (Kilatan-kilatan)
c.       Sathahat (Iluminasi-iluminasi)
d.      Shifa al-Qulub (Menyembuhkan Hati)
e.       Budur al-Bazighah (Bulan-bulan Purnama)
f.       Izalat al-Khafa an Khilafat al-Khulafa (Penghapusan Keambiguan Mengenai Kekhalifahan Awal)
g.      Hujjah Allah al-Balighah (Argumen Konklusif Allah)
Karya Syah Waliullah Al Hujjatullah Al Balighah fi Asrar Asy Syar’iyah (The conclusive argument from God) berisi tentang rahasia syari’at dan filsafat hukum Islam. Dalam kitab ini dibahas secara terinci faktor-faktor yang membantu pertumbuhan keadaan masyarakat. Kitab yang lainnya yaitu :[14]
a.     Al Fath al Munir fi Gharib Al Qur’an tentang tafsir Al Qur’an,
b.     Az Zahrawain tafsir QS Al Baqarah dan Ali Imran,
c.     Al Mushaffa   syarah dari   kitab Al Muwaththa karya Imam Malik, 
d.     Al Maswa merupakan syarah kitab Al Muwaththa karya Imam Malik,
e.     An Nawadhir min Ahadits Sayyid al Awa’il wa al Awakhir tentang hadits,
f.      Tarajum al Bukhary tentang hadits, 
g.     Syarh Tarajum Ba’d Abwab al Bukhary tentang hadits,
h.     Al Arbain Hadtsan tentang hadits,
i.       Ta’wil al Ahadits tafsir tentang kisah para nabi,
j.       Al Budur al Baziqah dalam ilmu kalam,
k.    ‘Aqd al Jayyid fi Ahkam al Ijtihad wa at Taqlid tentang persoalan ijtihad dan taqlid,
l.       Al Insyaf fi bayan Asbab al Ikhtilaf bain al Fuqaha wa al Mujtahidin tentang munculnya perbedaan pendapat ahli fiqih,
m.   Ad Durr as Samin fi Mubasyarah an Nabi al Amin tentang keutamaan Nabi Muhammad Saw,
n.     Al Maktubat, tentang kehidupan Rasulullah yang merupakan kumpulan risalah yang ditulis ayahnya Abd Rahim Ad Dihlawi,
o.     Al Khair al Kasir tentang akhlaq. 
p.     Al Irsyad ila Muhimmat ‘Ilm al afsad, dalam bidang filsafat.
q.     As Sirr al Maktum fi Asbab Tadwin al ‘Ulum, tentang filsafat.
r.      Al Fauz Al Kabir Fi Ushul Tafsir Al Lamahat, tentang fiqih masih dalam bentuk manuskrip.
s.      Izalat Al Khafa ‘An Khilafat Al Khulafa Al anshaf Fi Bayan Asha Al Ikhtilaf Baina Al Fuqaha Wa al Mujtahiddin Al Maktub al Madani , tentang hakekat tauhid,
t.       Husn al Aqidah, tentang aqidah / tauhid,
u.     Atyab an Nuqam fi Madh Sayyid al Arab wa al Ajam. Al Muqadimah as saniyah fi Intisar al Firqah as Sunniyah, dalam pemikiran fiqih dan kalam.
v.    Qaul Al Jamil Fi Bayan Sawa Al sabil Fi Suluk Al Qadariyah, Al Jitsiyah Wa Naqsyabandiyah. ‘Iqd al jayid Fi ahkam Al Ijtihad Wa al Taqlid. Al Intibah Fisalasil Auliya Allah Tasawwuf ki Haqiqat Au Uska Falsafa Tarikh.  Syifa al Qulub (Terapi hati), Al Tafhimat al Ilahiyah (Uraian-uraian Ilahiyah), dalam bidang filsafat dan teologi (ilmu kalam), dan
w.  Diwan as Syi’r Arabi, tentang sastra.

PENUTUP
A.    Kesimpulan
Syah Waliullah bernama lengkap Qutbuddin Ahmad bin Abdurrahim, namun lebih dikenal dengan sebutan Syah Waliullah Dihlawi. Beliau lahir di Distrik Muzaffarnagar (India) dalam sebuah keluarga Muslim yang anggota keluarganya merupakan tokoh-tokoh ulama dan sufi yang terkemuka. Dia dijuluki “Syah Waliullah” yang berarti sahabat Allah karena kesalehan yang ia miliki. Dia adalah pengikut Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan penganut mazhab fikih Hanafi.
Karya Syah Waliullah Al Hujjatullah Al Balighah fi Asrar Asy Syar’iyah (The conclusive argument from God) berisi tentang rahasia syari’at dan filsafat hukum Islam. Dalam kitab ini dibahas secara terinci faktor-faktor yang membantu pertumbuhan keadaan masyarakat.
Syah Waliallah mengemukakan dua faktor utama yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi yaitu: pertama, keuangan negara dibebani dengan berbagai pengeluaran yang tidak produktif; kedua, pajak yang dibebankan kepada pelaku ekonomi terlalu berat sehingga menurunkan semangat berekonomi. Menurutnya, perekonomian dapat tumbuh jika terdapat tingkat pajak yang ringan yang didukung oleh administrasi yang efisien

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad,Jamil. Seratus Muslim Terkemuka. 1984. Jakarta:Pustaka Firdaus.
Chamid,Nur. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.2010.Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Halepota. Philosophy of Syah Waliullah part 1. Sind University Publication. tt.
Khan,Muhammad Mojlum.100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah.2008. Jakarta:Noura Books Mizan Publika Anggota IKAPI.
Nasutian,Harun .Ensiklopedia Islam. jilid 3.1993. Jakarta: Andi Utama.
Nasution,Harun.Falsafah dan Misticisme dalam Islam.1978.Jakarta:Bulan Bintang.
Nasution,Harun.Pembaharuan dalam Islam. 1975. Jakarta: Bulan Bintang.
Rahman,Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad.2003.Bandung: Penerbit Pustaka.
Sabiq,Sayyid. “Penahuluan” buku Hujjatullah al-Balighah. karya Sah Waliullah al-Dahlawi. Kairo:Dar al-Kutub al-Hadisah,tt.
Tanggal 8 Desember 2014.




[1] Muhammad Mojlum Khan, 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, 2008, Jakarta:Noura Books Mizan Publika Anggota IKAPI, hal. 696-697

[2] Muhammad Mojlum Khan, 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, 2008, Jakarta:Noura Books Mizan Publika Anggota IKAPI, hal.697
[3] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, 1984, Jakarta:Pustaka Firdaus, hal.252
[4] Halepota, Philosophy of Syah Waliullah part 1, Sind University Publication, tt, hlm.1-2
[5] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, 2003, Bandung: Penerbit Pustaka, hal. 297.
[6] Harun Nasution, Ensiklopedia Islam, jilid 3, 1993, Jakarta: Andi Utama, hal. 1146
[7] Muhammad Mojlum Khan, 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, 2008, Jakarta:Noura Books Mizan Publika Anggota IKAPI, hal.702-703.
[8] Sayyid Sabiq, “Penahuluan” buku Hujjatullah al-Balighah, karya Sah Waliullah al-Dahlawi, Kairo:Dar al-Kutub al-Hadisah,tt.,hal.x
[9] Harun Nasution, Falsafah dan Misticisme dalam Islam, 1978, Jakarta:Bulan Bintang, hal.83-89
[10] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 1975, Jakarta: Bulan Bintang, hal. 22.
[11] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,2010, Yogyakarta : Pustaka Belajar, hlm. 303-304

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates