Pemikiran Syaikh Waliyullah
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada awal abad ke-18 tanda-tanda
kemunduran politik, ekonomi, dan intelektual Islam sudah tampak jelas. Kekuatan
dinasti-dinasti yang dulunya hebat, seperti Usmaniyah, Safawiyah, dan Mongul
mengalami tantangan di dalam negeri dan ancaman-ancaman eksternal dari
kekuatan-kekuatan asing. Kegagalan mereka dalam menangani krisis politik,
ekonomi, dan intelektual yang semakin membesar pada saat itu, telah melemahkan
otoritas politik mereka di dalam negeri. Sehingga membuat mereka semakin rentan
terhadap kekuatan-kekuatan kolonial Eropa yang ambisius.
Berada dalam posisi yang terjepit,
para penguasa Muslim pada saat itu kesulitan mempertahankan kekuasaan mereka.
Namun ditengah kekacauan dan kebingungan, muncul para cendikiawan Islam yang
luar biasa, yang mendedikasikan hidup mereka untuk membangkitkan kembali
ajaran-ajaran dan praktik islam yang otentik, sera berjuang gigih untuk
memperbarui kebudayaan dan masyarakat Islam.
Walaupun para cendikiawan dan
pembaharu ini tidak dalam posisi untuk
mengorganisir pasukan besar dan melancarkan tindakan militer terhadap
kekuatan-kekuatan asing yang merangsek masuk, mereka mampu mempertahankan dan
mendukung nilai dan prinsip Islam pada satu titik kritis dalam sejarah Islam.
salah satu cendikiawan dan pembaharu yang demikian luar biasa adalah Syah
Waliullah. Dia muncul untuk mendukung pemikiran, kebudayaan, dan praktek Islam
manakala Islam India sedang melewati salah satu periode paling sulit dalam
sejarah mereka.[1]
Oleh karena itu dalam makalah ini lebih lanjut akan dibahas mengenai Syah
Waliullah.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, rumusan masalah
yang diangkat antara lain:
I.
Bagaimanakah
biografi Syah Waliullah ?
II.
Bagaimanakah
corak pemikiran Syah Waliullah ?
III.
Apa saja kah
karya-karya Syah Waliullah ?
PEMBAHASAN
I.
Biografi Syah
Waliullah
Syah Waliullah bernama lengkap
Qutbuddin Ahmad bin Abdurrahim, namun lebih dikenal dengan sebutan Syah
Waliullah Dihlawi. Beliau lahir di Distrik Muzaffarnagar (India) dalam sebuah
keluarga Muslim yang anggota keluarganya merupakan tokoh-tokoh ulama dan sufi
yang terkemuka.[2]
Beliau lahir pada tahun 1703 Masehi.
Kakeknya bernama Syeikh Wajihuddin, seorang perwira tinggi dalam ketentaraan
Kaisar Jahangir, dan pembantu Aurangzeb dalam perang perebutan tahta. Ayahnya
bernama Shah Abdur Rahim, sufi dan sarjana terkenal yang telah membantu
menyusun Fatwa-i-Alamgiri, buku tebal mengenai hukum Islam.[3]
Syah Waliullah menghabiskan
tahun-tahun awalnya di Muzaffarnagar dan kemudian pindah ke Delhi bersama
ayahnya. Disana, ayahnya mendirikan sebuah sekolah keagamaan,
Madrasah-i-Rahimiyyah, tempat dia mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Oleh karena
itu Syah Waliullah tumbuh besar di Delhi dibawah pengasuhan ayahnya dan
menghafalkan al-Qur’an pada usia tujuh tahun. Dia kemudian mempelajari bahasa
Arab dan Persia, serta ilmu-ilmu tradisional Islam seperti tafsir, hadist,
fiqh, dan mantiq (ilmu logika) di Madrasah-i-Rahimiyyah.
Karena ayahnya adalah seorang ulama
dan sufi yang mengelola lembaga pendidikan, maka perhatian orang tuanya tidak
hanya terbatas pada peningkatan intelektual dan agama saja tetapi lebih dari
itu peningkatan kehidupan esoteris (batiniah) sehingga dengan latar belakang
pendidikan tersebut dia meneruskan kegiatan ayahnya baik sebagai guru di
madrasahnya maupun di padepokan sufinya (khanqah).[4]
Setelah ia yakin sudah mendapatkan
kedewasaan intelektual, Syah Waliullah kemudian pergi ke Makkah untuk
melaksanakan ibadah haji. Pada saat itu dia berusia dua puluh delapan tahun.
Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, dia tetap tinggal di Makkah dan
Madinah selama lebih dari satu tahun.
Syah Waliyullah al-Dihlawi memiliki
dua orang istri. Isteri kedua dinikahinya beberapa saat setelah kepulangannya
dari Hijaz. Dari isteri pertamanya, ia
mendapatkan seorang putra bernama Shah
Muhammad (1730-1793) dan seorang putri bernama Ammatul Aziz. Sedangkan dari
isteri keduanya, al-Dihlawi memperoleh empat orang putra (Shah Abdul Aziz
Muhaddith Dehlavi, Shah Rafi’ al-Din,
Shah Abdul Qadir, dan Shah Abdul
Ghani) dan seorang putri. Melalui merekalah, terutama putranya, Shah Abdul
Aziz, Shah Rafi’ al Din, serta cucunya, Shah Ismail Syahid ajaran beliau tersebar ke sebagian besar wilayah India.[5] Ia
wafat pada hari sabtu sore, tanggal 29 Muharram 1176 H. atau 20 Agustus 1762
dalam usia 59 tahun di tempat kelahirannya.[6]
II.
Corak Pemikiran
Syah Waliullah
A.
Sepintas
Tentang Pemikiran Syah Waliullah
Salah satu contoh pemikiran Syah
Waliullah adalah dia secara sistematis memeriksa konsep mistis wahdat
ash-syuhud ( “ Kesatuan Makhluk dalam persepsi” atau “kesatuan para aksi”)
yang dikemukakan oleh Syaikh Ahmad Sirhindi dengan doktrin wahdat al-wujud (“kesatuan
Mahluk atau “Monisme”) yang diutarakan Ibnu Arabi. Dan dengan melakukan itu,
dia menunjukkan bagaimana dibelakang bentuk bahasa terdapat sebuah bidang
netral dimana sebuah teori-teori pengalaman mistik yang tampaknya saling
bertentangan ini dapat bersatu.
Selain itu Syah Waliullah
berpendapat bahwa terdapat sebuah pertalian umum diantara semua cabang
pengetahuan yang mempersatukan struktur-struktur inti dari pemikiran manusia.
Kebenaran generik ini gagal disadari oleh para cendikiawan terdahulu, atau
benar-benar diabaikan manakala mereka mencari gambar yang spesifik atau
kebalikan dari gambar secara keseluruhan. Pendekatan yang inovatif terhadap
pemikiran Islam ini memungkinkah Syah Waliullah untuk mempersatukan sejumlah
teori yang peling kompleks dan kontroversial yang terjadi dalam cakupan
filosofis, teologis, dan mistis Islam pada waktu itu.
Syah Waliullah juga melakukan
penelitian luas dalam ilmu fiqh, sejarah, masalah-masalah politik, perkembangan
budaya, serta moralitas dan etika-etika sosial. Izalat al-Khafa an Khilafat
al-Khulafat yang ditulisnya merupakan sebuah studi baru mengenai sejarah
sosial, politik, budaya Islam awal.
Syah Waliullah menyakini bahwa Islam
menyediakan sebuah cara hidup komprehensif yang menggabungkan semua aspek
kehidupan manusia (termasuk sifat hubungan manusia secara spiritual,
psikologis, maupun biologis), tanpa mengabaikan dimensi politik, ekonomi,
budaya, dan estetik. Konsep kehidupan yang terintegrasi yang digambarkan oleh
Islam telah tererosi di Islam India, baik dalam teori maupun praktiknya.
Menurut Syah Waliullah, kaum muslimin India telah kehilangan sentuhan dengan
sumber-sumber Islam yang murni dan orisinal. Itulah sebabnya dia menterjemahkan
al-Qur’an kedalam bahasa Persia walaupun mendapat tentangan dari ulama
konservatif.[7]
B.
Pemikiran Syah
Waliullah Tentang Politik dan Agama
Pemikiran Syah Waliullah berkisar pada soal politik dan keagamaan.
Dalam persoalan yang pertama dia berpendapat bahwa diantara penyebab kemunduran
umat islam adalah adanya perubahan sistem pemerintahan dari model kekholifahan
ke model kerajan. Sistem pertama mempunyai watak yang demokratis sedangkan yang
kedua otokrasi. Dalam sejarah raja-raja Islam pada umumnya memiliki kekuasaan
yang absolut, menetapkan pajak yang tinggi bagi rakyat untuk kepentingan
bermewah-mewah para bangsawan yang tidak memiliki pekerjaan apa-apa. Akibatnya
akan menimbulkan rasa tidak senang dikalangan rakyat tehadap raja tersebut dan
dengan demikian keamanan dan ketertiban masyarakat akan senantiasa terganggu.
Menurutnya cara mengatasi persoalan tersebut adalah dengan mengembalikan sistem
pemerintahan kepada kekhalifahan yang bercorak demokratis.
Selain itu umat islam semakin lemah dengan adanya keputusan ilmu
kalam yang hanya berdasakan falsafah Yunani yang dianggapnya dapat merusak
tauhid, tasawuf dengan ajaran hulul dan ittihad juga menyebabkan
umat islam mundur. Demikian pua pandangan yang bersifat memutlakkan satu madzab
sebagai yang paling benar. Dalam suasana yang demikian ini umat islam tidak mau
menggali dari sumber al-Qur’an dan as-Sunnah secara langsung.[8]
Syah Waliullah juga mengkritik tasawuf yang berpangkal pada ajaran hulul
dan ittihad padahal ia adalah pelanjut ayahnya sebagai guru spiritual
dalam khanqah-nya. Ajaran hulul yang ditolaknya berisi upaya menghilangkan
sifat-sifat kemanusiaan melalui fanna’. Bilamana fisat-sifat kemanusiaan telah hilang
maka saat inilah Tuhan menyatu dalam dirinya dengan cara mengambil tempat (hulul).
Sedangkan ajaran Ittihad juga memiliki kemiripan dengan hulul dalam
hal adanya kesatuan hamba dengan Tuhan setelah melalui proses fana’, hanya saja
dalam ittihad identitas manusia telah hilang karena telah menjadi satu dengan
Tuhan.[9]
Karena dua ajaran tasawuf tersebut tidak mengakui keberadaan manusia bahkan
berupaya menghilangkannya maka sudah barang tentu corak zuhudnya semakin
ekstrim yang bukan saja tak mau terikat dunia melainkan ingin meniadakannya
untuk dapat menyatu dengan Tuhan.
Baginya tasawuf adalah ihsan yaitu adanya perasaan
seakan-akan Tuhan dapat disaksikan dihadapan manusia. Kalau hal ini tidak dapat
dicapainya maka harus ada perasaan bahwa Tuhan melihat segala gerak-gerik
manusia. Pandangannya yang demikian ini memiliki peran penting dalam
menjebatani perselisihan antara kaum syari’ah dengan kaum sufi. Apabila tasawuf
hanya beresensikan ajaran tentang ihsan sebagaimana dijelaskan, maka hal ini
tidak akan menimbulkan masalah bagi kaum syari’ah karena didalamnya masih ada
ketentuan ibadah menurut menurut ketentuan syariat. Sebaliknya dalam beribadah
yang disertai dengan semangat ihsan, maka dari kalangan sufi tidak akan
mengkritik syari’ah sebagai usaha pendekatan diri kepada Tuhan secara verbal
saja.
Bagi Syah Waliullah Islam memiliki dua aspek yaitu esoteris dan
eksoteris. Yang pertama dimaksudkan untuk memberi motivasi bagi hati manusia
untuk melakukan tindakan-tindakan terpuji dan ibadah kepada Tuhan. Sedangkan
yang kedua dimaksudkan untuk memberikan penjelasan akan adanya unsur
keseimbangan antara dua orientasi yaitu duniawi dan ukhrawi. Dengan penjelasan
ini Islam mengandung segi-segi yang dapat bersesuaian dengan suasana umat yang
mengalami dinamika.
Syah Waliullah juga berpendapat bahwa Islam dibedakan menjadi Islam
universal dan Islam lokal. Islam universal mengandung ajaran-ajaran dasar yang
konkrit sedangkan islam lokal mempunyai corak yang ditentukan oleh kondisi
tempat yang bersangkutan. Maka akan muncul Islam dengan corak Arab, Persia,
India dan sebagainya. Corak yang bersifat lokal ini memberikan arti Islam yang
dapat memenuhi tuntutan dinamika masyarakat yang mengalami perbedaan
berdasarkan ruang dan waktu.[10]
C.
Pemikiran
Ekonomi Syah Waliullah
Pemikiran ekonomi Shah Waliallah dapat ditemukan dalam karyanya
yang terkenal berjudul, Hujjatullah al-Baligha, di mana ia banyak menjelaskan
rasionalitas dari aturan-aturan syariat bagi perilaku manusia dan pembangunan
masyarakat. Menurutnya, manusia secara alamiah adalah makhluk sosial sehingga
harus melakukan kerja sama antara satu orang dengan orang lainnya. Kerja sama
usaha (mudharabah, musyarakah), kerja sama pengelolaan pertanian, dan
lain-lain. Islam melarang kegiatan-kegiatan yang merusak semangat kerja sama
ini, misalnya perjudian dan riba.[11]
Kedua kegiatan ini mendasarkan pada transaksi yang tidak adil, eksploitatif,
mengandung ketidakpastian yang tinggi, dan beresiko tinggi.
Ia menganggap kesejahteraan ekonomi sangat diperlukan untuk
kehidupan yang baik. Dalam konteks ini, ia membahas kebutuhan manusia,
kepemilikan, sarana produksi, kebutuhan untuk bekerjasama dalam proses produksi
dan berbagai bentuk distribusi dan konsumsi. Ia juga menelusuri evolusi
masyarakat dari panggung primitif sederhana dengan budaya yang begitu kompleks
di masanya. Ia juga menekankan bagaimana pemborosan dan kemewahan yang diumbar
akan menyebabkan peradaban menjadi merosot. Dalam diskusinya tentang sumber
daya produktif, ia menyoroti fakta bahwa hukum Islam telah menyatakan beberapa
sumber daya alam yang menjadi milik sosial. Ia mengutuk praktek monopoli dan
pengambilan keuntungan secara berlebihan dari lahan perekonomian. Ia menjadikan
kejujuran dan keadilan dalam bertransaksi sebagai prasyarat untuk mencapai
kemakmuran dan kemajuan.
Shah Waliallah membahas perlunya pembagian dan spesialisasi kerja,
kelemahan dari sistem barter, dan keuntungan dari penggunaaan uang sebagai alat
tukar dalam konteks evolusi masyarakat dari primitif ke negara maju.
Menurutnya, kerjasama telah membentuk satu-satunya dasar hubungan ekonomi yang
manusiawi dan Islami. Transaksi yang melibatkan bunga memiliki pengaruh yang
merusak. Praktek bunga menciptakan kecenderungan untuk menyembah uang. Hal ini
menyebabkan masyarakat berlomba-lomba dalam memperoleh kemewahan dan kekayaan.
Poin paling penting dari filsafat ekonominya adalah bahwa sosial ekonomi
memiliki pengaruh yang mendalam terhadap moralitas sosial. Oleh karena itu,
kejujuran moral diperlukan untuk membentuk tatanan ekonomi.[12]
Untuk pengelolaan negara, maka diperlukan adanya suatu pemerintah
yang mampu menyediakan sarana pertanahan, membuat hukum dan menegakkannya,
menjamin keadilan, serta menyediakan berbagai sarana publik seperti jalan dan
jembatan. Untuk berbagai keperluan ini negara dapat memungut pajak dari
rakyatnya. Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan kegiatan negara yang
penting, namun harus memerhatikan pemanfaatannya dan kemampuan masyarakart
untuk membayarnya.
Berdasarkan pengamatannya terhadap perekonomian di Kekaisaran
India, Waliallah mengemukakan dua faktor utama yang menyebabkan penurunan
pertumbuhan ekonomi. Dua faktor tersebut, yaitu: pertama, keuangan negara
dibebani dengan berbagai pengeluaran yang tidak produktif; kedua, pajak yang
dibebankan kepada pelaku ekonomi terlalu berat sehingga menurunkan semangat
berekonomi. Menurutnya, perekonomian dapat tumbuh jika terdapat tingkat pajak
yang ringan yang didukung oleh administrasi yang efisien.[13]
III.
Karya-Karya
Syah Waliullah
Sekembalinya dari Arabia, prioritas
utama Syah Waliullah adalah kembali kepada kitab-kitab suci Islam yang orisinil
dan menganalisis mereka dalam konteks abad ke-18 Mogul India. Dia melakukannya
dengan penuh ketetapan hati dan gigih. Menulis secara produktif dalam beberapa
disiplin ilmu keislaman sehingga menyediakan jawaban-jawaban terhadap
masalah-masalah paling memberatkan dimasanya. Diantara beberapa buku yang
terkenal antara lain adalah :
a.
Tafhimat
al-Ilahiyah (Penjelasan- penjelasan Ilahiyah)
b.
Lamahat
(Kilatan-kilatan)
c.
Sathahat
(Iluminasi-iluminasi)
d.
Shifa al-Qulub
(Menyembuhkan Hati)
e.
Budur
al-Bazighah (Bulan-bulan Purnama)
f.
Izalat al-Khafa
an Khilafat al-Khulafa (Penghapusan Keambiguan Mengenai Kekhalifahan Awal)
g.
Hujjah Allah
al-Balighah (Argumen Konklusif Allah)
Karya Syah Waliullah Al Hujjatullah Al Balighah fi Asrar Asy
Syar’iyah (The conclusive argument from God) berisi tentang rahasia syari’at
dan filsafat hukum Islam. Dalam kitab ini dibahas secara terinci faktor-faktor
yang membantu pertumbuhan keadaan masyarakat. Kitab yang lainnya yaitu :[14]
a.
Al Fath al
Munir fi Gharib Al Qur’an tentang tafsir Al Qur’an,
b.
Az Zahrawain tafsir QS Al Baqarah dan Ali
Imran,
c.
Al
Mushaffa syarah dari kitab Al Muwaththa karya Imam Malik,
d.
Al Maswa merupakan syarah kitab Al Muwaththa
karya Imam Malik,
e.
An Nawadhir min
Ahadits Sayyid al Awa’il wa al Awakhir tentang hadits,
f.
Tarajum al Bukhary tentang hadits,
g.
Syarh Tarajum Ba’d Abwab al Bukhary tentang
hadits,
h.
Al Arbain Hadtsan tentang hadits,
i.
Ta’wil al Ahadits tafsir tentang kisah para
nabi,
j.
Al Budur al Baziqah dalam ilmu kalam,
k.
‘Aqd al Jayyid
fi Ahkam al Ijtihad wa at Taqlid tentang persoalan ijtihad dan taqlid,
l.
Al Insyaf fi bayan Asbab al Ikhtilaf bain al
Fuqaha wa al Mujtahidin tentang munculnya perbedaan pendapat ahli fiqih,
m.
Ad Durr as Samin fi Mubasyarah an Nabi al Amin
tentang keutamaan Nabi Muhammad Saw,
n.
Al Maktubat, tentang kehidupan Rasulullah yang
merupakan kumpulan risalah yang ditulis ayahnya Abd Rahim Ad Dihlawi,
o.
Al Khair al Kasir tentang akhlaq.
p.
Al Irsyad ila Muhimmat ‘Ilm al afsad, dalam
bidang filsafat.
q.
As Sirr al Maktum fi Asbab Tadwin al ‘Ulum,
tentang filsafat.
r.
Al Fauz Al
Kabir Fi Ushul Tafsir Al Lamahat, tentang fiqih masih dalam bentuk manuskrip.
s.
Izalat Al Khafa ‘An Khilafat Al Khulafa Al
anshaf Fi Bayan Asha Al Ikhtilaf Baina Al Fuqaha Wa al Mujtahiddin Al Maktub al
Madani , tentang hakekat tauhid,
t.
Husn al Aqidah, tentang aqidah / tauhid,
u.
Atyab an Nuqam fi Madh Sayyid al Arab wa al
Ajam. Al Muqadimah as saniyah fi Intisar al Firqah as Sunniyah, dalam pemikiran
fiqih dan kalam.
v.
Qaul Al Jamil
Fi Bayan Sawa Al sabil Fi Suluk Al Qadariyah, Al Jitsiyah Wa Naqsyabandiyah.
‘Iqd al jayid Fi ahkam Al Ijtihad Wa al Taqlid. Al Intibah Fisalasil Auliya
Allah Tasawwuf ki Haqiqat Au Uska Falsafa Tarikh. Syifa al Qulub (Terapi hati), Al Tafhimat al
Ilahiyah (Uraian-uraian Ilahiyah), dalam bidang filsafat dan teologi (ilmu
kalam), dan
w.
Diwan as Syi’r
Arabi, tentang sastra.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Syah Waliullah bernama lengkap Qutbuddin Ahmad bin Abdurrahim,
namun lebih dikenal dengan sebutan Syah Waliullah Dihlawi. Beliau lahir di
Distrik Muzaffarnagar (India) dalam sebuah keluarga Muslim yang anggota
keluarganya merupakan tokoh-tokoh ulama dan sufi yang terkemuka. Dia dijuluki
“Syah Waliullah” yang berarti sahabat Allah karena kesalehan yang ia miliki.
Dia adalah pengikut Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan penganut mazhab fikih Hanafi.
Karya Syah Waliullah Al Hujjatullah Al Balighah fi Asrar Asy
Syar’iyah (The conclusive argument from God) berisi tentang rahasia syari’at
dan filsafat hukum Islam. Dalam kitab ini dibahas secara terinci faktor-faktor
yang membantu pertumbuhan keadaan masyarakat.
Syah Waliallah mengemukakan dua faktor utama yang menyebabkan
penurunan pertumbuhan ekonomi yaitu: pertama, keuangan negara dibebani dengan
berbagai pengeluaran yang tidak produktif; kedua, pajak yang dibebankan kepada
pelaku ekonomi terlalu berat sehingga menurunkan semangat berekonomi. Menurutnya,
perekonomian dapat tumbuh jika terdapat tingkat pajak yang ringan yang didukung
oleh administrasi yang efisien
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada
menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun
demi perbaikan makalah berikutnya
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,Jamil. Seratus Muslim Terkemuka. 1984. Jakarta:Pustaka
Firdaus.
Chamid,Nur. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.2010.Yogyakarta
: Pustaka Belajar.
Halepota. Philosophy of Syah Waliullah part 1. Sind
University Publication. tt.
Khan,Muhammad Mojlum.100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang
Sejarah.2008. Jakarta:Noura Books Mizan Publika Anggota IKAPI.
Nasutian,Harun .Ensiklopedia Islam. jilid 3.1993. Jakarta:
Andi Utama.
Nasution,Harun.Falsafah dan Misticisme dalam Islam.1978.Jakarta:Bulan
Bintang.
Nasution,Harun.Pembaharuan dalam Islam. 1975. Jakarta:
Bulan Bintang.
Rahman,Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad.2003.Bandung:
Penerbit Pustaka.
Sabiq,Sayyid. “Penahuluan” buku Hujjatullah al-Balighah. karya
Sah Waliullah al-Dahlawi. Kairo:Dar al-Kutub al-Hadisah,tt.
http://gavouer.wordpress.com/2013/02/23/pemikiran-ekonomi-islam-klasik/. Tanggal 8 Desember 2014.
Tanggal 8 Desember 2014.
Http://www.ensikperadaban.com/?TOKOH_%26amp%3B_INTELEKTUAL_MUSLIM_KONTEMPORER:Pembaharu:Syah_Waliyullah. Diunduh pada 8 Desember 2014.
[1]
Muhammad Mojlum Khan, 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, 2008,
Jakarta:Noura Books Mizan Publika Anggota IKAPI, hal. 696-697
[2]
Muhammad Mojlum Khan, 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, 2008,
Jakarta:Noura Books Mizan Publika Anggota IKAPI, hal.697
[3]
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, 1984, Jakarta:Pustaka Firdaus,
hal.252
[4]
Halepota, Philosophy of Syah Waliullah part 1, Sind University
Publication, tt, hlm.1-2
[5]
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, 2003, Bandung: Penerbit
Pustaka, hal. 297.
[6]
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam, jilid 3, 1993, Jakarta: Andi Utama,
hal. 1146
[7]
Muhammad Mojlum Khan, 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, 2008,
Jakarta:Noura Books Mizan Publika Anggota IKAPI, hal.702-703.
[8]
Sayyid Sabiq, “Penahuluan” buku Hujjatullah al-Balighah, karya Sah
Waliullah al-Dahlawi, Kairo:Dar al-Kutub al-Hadisah,tt.,hal.x
[9]
Harun Nasution, Falsafah dan Misticisme dalam Islam, 1978, Jakarta:Bulan
Bintang, hal.83-89
[10]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 1975, Jakarta: Bulan
Bintang, hal. 22.
[11]
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,2010, Yogyakarta
: Pustaka Belajar, hlm. 303-304
[12] Dikutip
dari http://gavouer.wordpress.com/2013/02/23/pemikiran-ekonomi-islam-klasik/.
Tanggal 8 Desember 2014.
Tanggal 8 Desember 2014.
[14]Http://www.ensikperadaban.com/?TOKOH_%26amp%3B_INTELEKTUAL_MUSLIM_KONTEMPORER:Pembaharu:Syah_Waliyullah.
Diunduh pada 8 Desember 2014.
0 komentar:
Post a Comment