September 18, 2015

Sumber Hukum Islam

PENDAHULUAN
I.     Latar Belakang
Sumber hukum Islam ialah dalil-dalil syar’iyah (al adillatusy syar’iyah) yang dari padanya diistibatkan hukum-hukum syar’iyah. Kata al adillah jama’ dari kata dalil, yang menurut bahasa berarti petunjuk kepada sesuatu. Sedang menurut istilah ialah sesuatu yang dapat menyampaikan dengan pandangan yang benar dan tepat kepada hukum syar’i yang amali.
Adillah ada dua macam, yang pertama satu kelompok yang semua jumhur sepakat, sedang yang lainnya ialah yang terhadap hal tersebut para jumhur ulama berbeda-beda sikapnya. Kelompok yang mereka sepakati yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qias.
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ merupakan sumber-sumber hukum yang berdiri sendiri, maksudnya apabila dibandingkan dengan Qiyas tentu sangat berlainan. Sebab Qiyas menjadi sumber apabila terdapat sumbernya didalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ dan juga memerlukan kepada mengetahui illat hukum dari sesuatu yang asli.[1]
Berangkat dari sedikit penjelasan diatas, dalam makalah ini akan menjelaskan mengenai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri sebagai sesuatu yang asli yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah setelah itu penjelasan mengenai Ijma’ dan Qias.

II.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
A.      Bagaimana penjelasan mengenai Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam?
B.      Bagaimana penjelasan mengenai As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam?
C.      Bagaimana penjelasan mengenai Ijma’ sebagai sumber hukum Islam?
D.     Bagaimana penjelasan mengenai Qias sebagai sumber hukum Islam?





PEMBAHASAN
A.  Al - Qur’an
Yaitu kalam Allah SWT yang diturunkan olehNya dengan perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan kata-kata berbahasa Arab dan dengan makna yang benar, agar menjadi hujjah bagi Rosulullah SAW dalam pengakuannya sebagai Rosulullah, juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman oleh umat manusia dan sebagai amal ibadah bila dibaca. Ia ditadwinkan di antara dua lembar mushaf, dimulai dengan Al-Fatihah dan ditutup dengan An-Nas, dan telah sampai kepada kita dengan mutawatir, dianggap ibadah apabila membacanya.
Ada pula yang mendefinisikan Al-Qur’an dengan : lafadz bahasa Arab yang diturunkan untuk direnung, diingat, dan mutawatir. Al-Qur’an itu tidak mengalami pergantian atau perubahan apapun baik isi, lafadz maupun susunan serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
1.    Kehujjahan Al-Qur’an
Bukti bahwa Al-Qur’an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena Al-Qur’an itu datang dari Allah dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan kesahan dan kebenarannya. Sedang bukti kalau Al-Qur’an itu datang dari Allah SWT, ialah bahwa Al-Qur’an itu membuat orang tidak mampu membuat atau mendatangkan seperti Al-Qur’an.
2.    Segi-segi kemu’jizatan Al-Qur’an
Kemu’jizatan Al-Qur’an tidak hanya dari segi lafadznya saja, tetapi juga makna dan isinya. Dikemukakan misalnya tentang rahasia-rahasia alam, hingga kini belum juga terungkap, atau sebagian saja yang terungkap. Susunan bahasanya yang indah, dan tepat dibaca dalam segala keadaan, hingga kini tidak ada sesuatu yang dapat menyamainya, dan tidak ada pula yang menandinginya.[2]
3.    Mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an
Sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, yang biasa disebut dengan asbabunnuzul, sangat penting ditinjau dari dua segi :
a.       Mengetahui ke-i’jazan Al-Qur’an itu pokoknya ialah mengetahui keadaaan yang sesungguhnya ketika ayat itu diturunkan, ditunjuk kepada siapa.
b.      Tidak mengetahui asbabunnuzul, dikhawatirkan orang akan terjatuh kepada perselisihan yang tidak ada gunanya dan tidak semestinya.
4.    Sifat-sifat hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an
Umumnya hukum-hukum yang terdadapat di dalam Al-Qur’an itu bersifat garis besar, tidak sampai kepada perincian yang kecil-kecil. Kebanyakan penjelasan Al-Qur’an ada dalam As-Sunnah. Sekalipun demikian ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an cukup lengkap. Jadi ia merupakan pokok-pokok atau garis besar yang lengkap. Kesimpulannya, kebanyakan hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an itu kulli (bersifat umum, serta besar, global) tidak membicarakan soal yang kecil-kecil (juz’i).
5.    Asas- asas hukum
a.       Tidak memberatkan
b.      Islam tidak memperbanyak beban atau tuntutan
c.       Ketentuan- ketentuan Islam datang secara berangsur-angsur
6.    Pokok- pokok isi Al-Qur’an
a.       Masalah tauhid
b.      Ibadat
c.       Janji dan ancaman
d.      Jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat
e.       Riwayat dan ceritera.[3]
7.    Macam-macam hukum
Menurut Abd. Wahab Khallaf, hukum yang dikandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari tiga macam :
a.       Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan keimanan.
b.      Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan perbuatan keutamaan dan meninggalkan kehinaan.
c.       Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan ucapan, perbuatan, transaksi dan pengelolaan harta.
Selanjutnya Abd. Wahab Khallaf mengemukakan hukum-hukum amaliyah di dalam Al-Qur’an terdiri atas dua cabang hukum :
a.       Hukum-hukum ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah, dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan antara manusia dan Allah SWT.
b.       Hukum-hukum mu’amalah seperti aqad, pembelanjaan, hukuman, jinayat, dan lain-lain selain ibadah yaitu yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, baik perorangan maupun kelompok. Inilah yang disebut mu’amalah yang didalam hukum modern bercabang- cabang sebagai berikut : hukum badan pribadi, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara, hukum perundang-undangan, hukum ketatanegaraan, dan hukum tentang ekonomi keuangan.
8.    Dalalah ayat-ayat Al-Qur’an yang Qoth’i dan dzanni
a.       Nash yang qoth’i dalalahnya atas hukumnya yaitu nashnya menunjukkan kepada makna yang bisa difahami secara tertentu, tidak ada kemungkinan menerima ta’wil, tidak ada pengertian selain dari pada apa yang telah dicantumkan.
b.      Nash yang dzanni dalalahnya yaitu menunjuk atas yang mungkin dita’wilkan, atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna lain.[4]
B.     As- Sunnah
1.    Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah menurut istilah syar’i ialah sabda, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) yang berasal dari Rasulullah saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut di atas yang disadarkannya kepada Rasulullah saw, maka Sunnah itu dapat dibedakan kepada 3 macam,
a.    Sunnah qauliyah (perkataan),
Sunnah qauliyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya Sabda beliau yang artinya: Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memadharatkan. (HR. Malik.)  adalah suatu sunnah-qauliyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
b.    Sunnah fi’liyah (perbuatan)
Sunnah fi’liyah ialah segala tindakan Rasulullah saw, misalnya tindakan beliau mengerjakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukun melaksakan, menjalankan ibadah haji dan sebagainya.
c.    Sunnah taqririyah
Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.
Selanjutnya, Sunnah ditinjau  dari sedikit atau banyaknya orang yang meriwayatkan, dibagi kepada 3 bagian :
a.    Sunnah Mutawatir, Yaitu segala sesuatu dari Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat yang menurut adat kebiasaan mustahil mereke bersepakat untuk berdusta, kemudian dari sahabat diriwayatkan  pula oleh para tabi’in dalam jumlah yang seimbang dengan jumlah para sahabat. Yang meriwayatkan pada mula pertama.
b.    Sunnah masyhur, yaitu segala sesuatu dari Rasulullah yang diriwayatkan oleh seorang sahabat atau dua orang atau lebih yang tidak sampai mencapai derajat mutawatiroh, kemudian dari sahabat tersebut diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’in yang mencapai derajat mutawatiroh dan dari sekian banyak tabi’in diriwayatkan oleh sekian banyak rawi yang mutawatir pula.
c.    Sunnah Ahad, yaitu segala sesuatu dari Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, dua atau lebih yang tidak sampai derajat mutawatir, kemudian diriwayatkan oleh seorang tabi’in, dua atau lebih dan seterusnya diriwayatkan oleh perawi-perawi dalam keadaan yang sama.
Kemudian sunnah/hadits Ahad ini terbagi kepada 3 bagian yaitu :
a.    Sunnah/hadist Shahih. Ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan sempurna ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai Rasulullah, tidak mempunyai cacat.
b.    Sunnah/hadist Hasan, ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil tetapi kurang ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai Rasulullah, tidak mempunyai cacat dan tidak  berlawanan degan periwayatan orang yang lebih terpercaya.
c.    Sunnah/Hadits dhaif. Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan.
2.    Kehujjahan As-Sunnah
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar. Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.[5]
3.    Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi sebagai berikut:
a.    As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
b.    As-Sunnah memberikan Keterangan (bayan) ayat-ayat al-Qur’an.
1.    Memberikan perincian ayat-ayat yang masih mujmal. (seperti halnya perintah shalat dalam al-qur’an). yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari).
2.    Membatasi Kemutlakannya. (seperti dalam berwasiat, maka hadits memberikan batasan sepertiga.
3.    Mentakhsiskan keumumannya. (seperti keharamanan bangkai, hadits mengecualikan bangkai ikan, belalang dll)
4.    Membuat hukum baru yang tiada terdapat dalam al-qur’an (seperti keharaman binatang buas dan bertaring).[6]
C.     IJMA’
Pada penjelasan ini akan diterangkan dalil-dalil ijtihaj, yaitu dalil-dalil yang bukan berasal dari nash, tetapi berasal dari dalil-dalil akal, namun tidak terlepas dan ada hubungannya dengan asas-asas pokok agama Islam yang terdapat dalam nash. Dan yang tremasuk dalil-dalil ijtihaj diantaranya adalah ijma’.
1.    Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa Arab adalah kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, sedang menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan mujtahij umat Islam tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa yang terjadi setelah Rosulullah SAW meninggal dunia.
Sebagai contoh setelah Rosulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar itu, namun kemudian kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti itu dapat dikatan ijma’.
2.    Dasar hukum ijma’
Dasar hukum ijma’ berupa Al-Qur’an, Al Hadits dan akal pikiran.
a.        Al-Qur’an
sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 59, Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menaati Perintah-Nya, Rasul, dan juga Ulil Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amri sebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat mengenai sesuatu hukum hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.
b.      Al-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa maka ijma’ itu hendaklah diikuti. Karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melekukan kesalahan apalagi kemaksiatan atau dusta.

c.       Akal pikiran
Setiap ijma’ yang dilakukan atas hukum syara’ hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. jika para mujtahid telah melakukan demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukan tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi Al-Qur’an dan Al-Hadits, karena semua dilakukan atas dasar kedua dalil itu.
3.    Rukun-rukun ijma’
Dari definisi dan dasar hukum ijma’ diatas, maka para ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma’ sebagai berikut:
a.    Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya suatu peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan dalam menetapkan hukum peristiwa itu.
b.    Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam.
c.    Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu.
d.   Kesepakantan itu hendaknya merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
4.    Kemungkinan terjadinya ijma’
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rosulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma’, maka ijma’ dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:
a.    Periode Rosulullah SAW, Pada masa ini beliau merupakan sumber hukum setiap ada peristiwa atau kejadian, karena kaum muslimin dapat menanyakannya secara langsung kepada Rosulullah. Jadi ijma’ tidak diperlukan pada masa Rosulullah SAW
b.    Periode khalifah Abu Bakar dan  Umar bin Khahthob, Pada masa ini ijma’ mungkin terjadi pada khalifah Abu Bakar dan  Umar bin Khahthob dan enam tahun pertama khalifah Utsman.
c.    Periode sesudahnya, Setelah masa enam tahun pemerintahan khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma’ sesuai dengan rukrun-rukun yang  telah ditetapkan diatas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.[7]
5.    Macam-macam ijma’
Dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma’ dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap tiap segi ditinjau atas beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma’ terdiri atas:
a.       Ijma’ bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan  jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma’ bayani disebut juga ijma; sharih, ijma’ qauli, atau ijma’ haqiqi
b.      Ijma’ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma’ ini disebut juga ijma’ itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’ dapat dibagi:
a.    Ijma’ qath’i yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
b.    Ijma’ dhanni, yaitu hukam yang dihasilkan ijma’ itu dhanni, masih ada kemungkinan laim bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.[8]
D.    Qias
1.    Pengertian qias
Qiyas menurut para ahli ushul fiqh adalah mempersamakan  hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.
Sesuai dengan tarif di atas tersebut, apabila ada suatu peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah diketahui  menurut suatu dari cara-cara mengetahui illat-illat hukum, kemudian didapatkan suatu peristiwa lain yang hukumnya tidak ditetapkan  oleh suatu nash, tetapi illat hukumnya adalah sama dengan illat hukum dari peristiwa yang sudah mempunyai nash tersebut, maka hukumnya peristiwa yang tidak ada nashnya ini disamakan dengan hukum peristiwa yang ada nashnya, lantaran adanya persamaan illat hukum pada kedua peristiwa itu.
Misalnya, masalah meminum khamr merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya.[9]
2.    Rukun qias
a. Ashal (pokok), yaitu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengkiyaskan. Ashal itu juga  disebut dengan maqis ‘alaih (yang dijadikan tempat mengkiyaskan) atau mahmul alaih (tempat membandingkannya) atau musyabbah bih (tempat menyerupakannya).
b. Far’u (cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalnya. Disebut juga maqia (yang dikiyaskan) dan musyabbah (yang diserupakan).
c. Hukum Ashal, yaitu hukum syara yang ditetapkan oleh suatu nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
d. Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang ashal, yang karena sifat itu  maka peristiwa ashal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu  terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabang itu dengan hukum peristiwa yang ashal.[10]
3. Kedudukan Qias
Menurut Jumhur Ulama, bahwa qias adalah hukum syara’ yang dapat menjadi hujjah dalam menetapkan suatu hukum dengan alasan: “Maka menjadi pandangan bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Al-Hasyr:2)
Kalimat yang menunjukkan qias dalam ayat ini “menjadi pandangan”, ini berarti membandingkan antar hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dikemukakan diatas adalah Al-Qur’an Yaitu kalam Allah SWT yang diturunkan olehNya dengan perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan kata-kata berbahasa Arab dan dengan makna yang benar, agar menjadi hujjah bagi Rosulullah SAW dalam pengakuannya sebagai Rosulullah, juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman oleh umat manusia dan sebagai amal ibadah bila dibaca. Ia ditadwinkan di antara dua lembar mushaf, dimulai dengan Al-Fatihah dan ditutup dengan An-Nas, dan telah sampai kepada kita dengan mutawatir, dianggap ibadah apabila membacanya. Dan juga penjelasan mengenai  Kehujjahan Al-Qur’an, Segi-segi kemu’jizatan Al-Qur’an, Mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, Sifat-sifat hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an, Asas- asas hukum, Pokok- pokok isi Al-Qur’an, Macam-macam hukum, Dalalah ayat-ayat Al-Qur’an yang Qoth’i dan dzanni telah dikemukakan diatas.
As-Sunnah menurut istilah syar’i ialah sabda, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) yang berasal dari Rasulullah saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut di atas yang disadarkannya kepada Rasulullah saw. Dan penjelasan mengenai Kehujjahan As-Sunnah dan Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telas dijelaskan diatas.
Ijma’ menurut bahasa Arab adalah kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, sedang menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan mujtahij umat Islam tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa yang terjadi setelah Rosulullah SAW meninggal dunia. Dan penjelasan Dasar hukum ijma’, Kemungkinan terjadinya ijma’, Rukun-rukun ijma’, Macam-macam ijma’
Qiyas menurut para ahli ushul fiqh adalah mempersamakan  hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa itu. Dan penjelasan Rukun qias, Kedudukan Qias telah dijelaskan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996
Departemen Agama RI. Ushul Fiqh. Jakarta. Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 1985
Kallaf Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama. 1999.




[1] Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Jakarta, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985. Hlm.62
[2] Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Jakarta, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985. Hlm.70-76
[3] Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Jakarta, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985. Hlm.86
[4] Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Jakarta, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985. Hlm.64-88
[5] Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Jakarta, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985. Hlm.94-96
[6]Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999). Hlm. 57
[7] Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Jakarta, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985. Hlm.102
[8] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999)Hlm. 62
[9] Nazar Bakry,. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hlm.44
[10] Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Jakarta, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985. Hlm.118

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates