Sumber Hukum Islam
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Sumber hukum Islam ialah
dalil-dalil syar’iyah (al adillatusy syar’iyah) yang dari padanya diistibatkan
hukum-hukum syar’iyah. Kata al adillah jama’ dari kata dalil, yang menurut
bahasa berarti petunjuk kepada sesuatu. Sedang menurut istilah ialah sesuatu yang
dapat menyampaikan dengan pandangan yang benar dan tepat kepada hukum syar’i
yang amali.
Adillah ada dua macam, yang pertama
satu kelompok yang semua jumhur sepakat, sedang yang lainnya ialah yang
terhadap hal tersebut para jumhur ulama berbeda-beda sikapnya. Kelompok yang
mereka sepakati yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qias.
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’
merupakan sumber-sumber hukum yang berdiri sendiri, maksudnya apabila dibandingkan
dengan Qiyas tentu sangat berlainan. Sebab Qiyas menjadi sumber apabila
terdapat sumbernya didalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ dan juga memerlukan
kepada mengetahui illat hukum dari sesuatu yang asli.[1]
Berangkat dari sedikit penjelasan
diatas, dalam makalah ini akan menjelaskan mengenai sumber hukum Islam yang
berdiri sendiri sebagai sesuatu yang asli yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah setelah
itu penjelasan mengenai Ijma’ dan Qias.
II.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
maka rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
A. Bagaimana
penjelasan mengenai Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam?
B. Bagaimana penjelasan
mengenai As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam?
C. Bagaimana penjelasan
mengenai Ijma’ sebagai sumber hukum Islam?
D. Bagaimana penjelasan
mengenai Qias sebagai sumber hukum Islam?
PEMBAHASAN
A.
Al - Qur’an
Yaitu kalam
Allah SWT yang diturunkan olehNya dengan perantaraan malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad SAW dengan kata-kata berbahasa Arab dan dengan makna yang benar,
agar menjadi hujjah bagi Rosulullah SAW dalam pengakuannya sebagai Rosulullah,
juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman oleh umat manusia dan sebagai
amal ibadah bila dibaca. Ia ditadwinkan di antara dua lembar mushaf, dimulai
dengan Al-Fatihah dan ditutup dengan An-Nas, dan telah sampai kepada kita
dengan mutawatir, dianggap ibadah apabila membacanya.
Ada pula yang
mendefinisikan Al-Qur’an dengan : lafadz bahasa Arab yang diturunkan untuk
direnung, diingat, dan mutawatir. Al-Qur’an itu tidak mengalami pergantian atau
perubahan apapun baik isi, lafadz maupun susunan serta hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya.
1.
Kehujjahan Al-Qur’an
Bukti bahwa
Al-Qur’an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan
aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena
Al-Qur’an itu datang dari Allah dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang
pasti yang tidak diragukan kesahan dan kebenarannya. Sedang bukti kalau
Al-Qur’an itu datang dari Allah SWT, ialah bahwa Al-Qur’an itu membuat orang
tidak mampu membuat atau mendatangkan seperti Al-Qur’an.
2.
Segi-segi kemu’jizatan Al-Qur’an
Kemu’jizatan
Al-Qur’an tidak hanya dari segi lafadznya saja, tetapi juga makna dan isinya.
Dikemukakan misalnya tentang rahasia-rahasia alam, hingga kini belum juga
terungkap, atau sebagian saja yang terungkap. Susunan bahasanya yang indah, dan
tepat dibaca dalam segala keadaan, hingga kini tidak ada sesuatu yang dapat
menyamainya, dan tidak ada pula yang menandinginya.[2]
3.
Mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an
Sebab-sebab
turunnya Al-Qur’an, yang biasa disebut dengan asbabunnuzul, sangat penting
ditinjau dari dua segi :
a.
Mengetahui ke-i’jazan Al-Qur’an itu pokoknya
ialah mengetahui keadaaan yang sesungguhnya ketika ayat itu diturunkan,
ditunjuk kepada siapa.
b.
Tidak mengetahui asbabunnuzul, dikhawatirkan
orang akan terjatuh kepada perselisihan yang tidak ada gunanya dan tidak
semestinya.
4.
Sifat-sifat hukum yang terdapat di dalam
Al-Qur’an
Umumnya
hukum-hukum yang terdadapat di dalam Al-Qur’an itu bersifat garis besar, tidak
sampai kepada perincian yang kecil-kecil. Kebanyakan penjelasan Al-Qur’an ada
dalam As-Sunnah. Sekalipun demikian ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Al-Qur’an cukup lengkap. Jadi ia merupakan pokok-pokok atau garis besar yang
lengkap. Kesimpulannya, kebanyakan hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an itu
kulli (bersifat umum, serta besar, global) tidak membicarakan soal yang
kecil-kecil (juz’i).
5.
Asas- asas hukum
a.
Tidak memberatkan
b.
Islam tidak memperbanyak beban atau tuntutan
c.
Ketentuan- ketentuan Islam datang secara
berangsur-angsur
6.
Pokok- pokok isi Al-Qur’an
a.
Masalah tauhid
b.
Ibadat
c.
Janji dan ancaman
d.
Jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat
e.
Riwayat dan ceritera.[3]
7.
Macam-macam hukum
Menurut Abd. Wahab Khallaf, hukum
yang dikandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari tiga macam :
a.
Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan
keimanan.
b.
Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan
perbuatan keutamaan dan meninggalkan kehinaan.
c.
Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan
ucapan, perbuatan, transaksi dan pengelolaan harta.
Selanjutnya Abd. Wahab Khallaf
mengemukakan hukum-hukum amaliyah di dalam Al-Qur’an terdiri atas dua cabang
hukum :
a.
Hukum-hukum ibadah seperti sholat, puasa,
zakat, haji, nadzar, sumpah, dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan
antara manusia dan Allah SWT.
b.
Hukum-hukum mu’amalah seperti aqad, pembelanjaan,
hukuman, jinayat, dan lain-lain selain ibadah yaitu yang mengatur hubungan
antara manusia dengan manusia, baik perorangan maupun kelompok. Inilah yang
disebut mu’amalah yang didalam hukum modern bercabang- cabang sebagai berikut :
hukum badan pribadi, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara, hukum perundang-undangan,
hukum ketatanegaraan, dan hukum tentang ekonomi keuangan.
8.
Dalalah ayat-ayat Al-Qur’an yang Qoth’i dan
dzanni
a.
Nash yang qoth’i dalalahnya atas hukumnya
yaitu nashnya menunjukkan kepada makna yang bisa difahami secara tertentu,
tidak ada kemungkinan menerima ta’wil, tidak ada pengertian selain dari pada
apa yang telah dicantumkan.
b.
Nash yang dzanni dalalahnya yaitu menunjuk
atas yang mungkin dita’wilkan, atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna
lain.[4]
B.
As- Sunnah
1.
Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah
menurut istilah syar’i ialah sabda, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) yang
berasal dari Rasulullah saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut di atas yang
disadarkannya kepada Rasulullah saw, maka Sunnah itu dapat dibedakan kepada 3
macam,
a.
Sunnah qauliyah (perkataan),
Sunnah
qauliyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian.
Misalnya Sabda beliau yang artinya: Tidak ada kemudharatan dan tidak pula
memadharatkan. (HR. Malik.) adalah suatu
sunnah-qauliyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak
membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
b.
Sunnah fi’liyah (perbuatan)
Sunnah
fi’liyah ialah segala tindakan Rasulullah saw, misalnya tindakan beliau
mengerjakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan
rukun-rukun melaksakan, menjalankan ibadah haji dan sebagainya.
c.
Sunnah taqririyah
Sunnah
taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya
maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau
bahkan disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap
perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai
perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.
Selanjutnya,
Sunnah ditinjau dari sedikit atau
banyaknya orang yang meriwayatkan, dibagi kepada 3 bagian :
a.
Sunnah Mutawatir, Yaitu segala sesuatu dari
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat yang menurut adat
kebiasaan mustahil mereke bersepakat untuk berdusta, kemudian dari sahabat
diriwayatkan pula oleh para tabi’in
dalam jumlah yang seimbang dengan jumlah para sahabat. Yang meriwayatkan pada
mula pertama.
b.
Sunnah masyhur, yaitu segala sesuatu dari
Rasulullah yang diriwayatkan oleh seorang sahabat atau dua orang atau lebih
yang tidak sampai mencapai derajat mutawatiroh, kemudian dari sahabat tersebut
diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’in yang mencapai derajat mutawatiroh dan
dari sekian banyak tabi’in diriwayatkan oleh sekian banyak rawi yang mutawatir
pula.
c.
Sunnah Ahad, yaitu segala sesuatu dari
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, dua atau lebih yang
tidak sampai derajat mutawatir, kemudian diriwayatkan oleh seorang tabi’in, dua
atau lebih dan seterusnya diriwayatkan oleh perawi-perawi dalam keadaan yang
sama.
Kemudian
sunnah/hadits Ahad ini terbagi kepada 3 bagian yaitu :
a.
Sunnah/hadist Shahih. Ialah hadits yang diriwayatkan
oleh perawi yang adil dan sempurna ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai
Rasulullah, tidak mempunyai cacat.
b.
Sunnah/hadist Hasan, ialah hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil tetapi kurang ketelitiannya, sanadnya
bersambung sampai Rasulullah, tidak mempunyai cacat dan tidak berlawanan degan periwayatan orang yang lebih
terpercaya.
c.
Sunnah/Hadits dhaif. Hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan.
2.
Kehujjahan As-Sunnah
Kedudukan
As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para
sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah
Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah
(alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya
mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada
Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair
mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang
dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan,
makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari
empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar. Hukum-hukum
yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang
diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32,
An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.[5]
3.
Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
As-Sunnah,
dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni
hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek
hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah
Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain,
As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Adapun
fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3
fungsi sebagai berikut:
a.
As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat)
hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar
hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai penguat dan
pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
larangan syirik, riba dan sebagainya.
b.
As-Sunnah memberikan Keterangan (bayan)
ayat-ayat al-Qur’an.
1.
Memberikan perincian ayat-ayat yang masih
mujmal. (seperti halnya perintah shalat dalam al-qur’an). yaitu ayat-ayat
Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana,
dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang
bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah
kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari).
2.
Membatasi Kemutlakannya. (seperti dalam berwasiat,
maka hadits memberikan batasan sepertiga.
3.
Mentakhsiskan keumumannya. (seperti
keharamanan bangkai, hadits mengecualikan bangkai ikan, belalang dll)
4.
Membuat hukum baru yang tiada terdapat dalam
al-qur’an (seperti keharaman binatang buas dan bertaring).[6]
C.
IJMA’
Pada
penjelasan ini akan diterangkan dalil-dalil ijtihaj, yaitu dalil-dalil yang
bukan berasal dari nash, tetapi berasal dari dalil-dalil akal, namun tidak
terlepas dan ada hubungannya dengan asas-asas pokok agama Islam yang terdapat
dalam nash. Dan yang tremasuk dalil-dalil ijtihaj diantaranya adalah ijma’.
1.
Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut
bahasa Arab adalah kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, sedang
menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan mujtahij umat Islam tentang hukum
syara’ dari suatu peristiwa yang terjadi setelah Rosulullah SAW meninggal
dunia.
Sebagai contoh
setelah Rosulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang
pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka yang ada pada waktu itu sepakat
untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah
Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang
kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar itu, namun kemudian kaum muslimin
menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti itu dapat dikatan ijma’.
2.
Dasar hukum ijma’
Dasar hukum ijma’ berupa Al-Qur’an,
Al Hadits dan akal pikiran.
a.
Al-Qur’an
sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat
An-Nisa ayat 59, Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menaati
Perintah-Nya, Rasul, dan juga Ulil Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amri sebagai
Ulama’, jika ulama’ telah sepakat mengenai sesuatu hukum hendaknya hukum itu
diikuti dan ditaati.
b.
Al-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan
ijma’ tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa maka ijma’ itu hendaklah
diikuti. Karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melekukan
kesalahan apalagi kemaksiatan atau dusta.
c.
Akal pikiran
Setiap ijma’ yang dilakukan atas
hukum syara’ hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam.
jika para mujtahid telah melakukan demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah
dilakukan tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi Al-Qur’an dan Al-Hadits,
karena semua dilakukan atas dasar kedua dalil itu.
3.
Rukun-rukun ijma’
Dari definisi dan dasar hukum ijma’
diatas, maka para ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma’ sebagai
berikut:
a.
Harus ada beberapa orang mujtahid dikala
terjadinya suatu peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan
dalam menetapkan hukum peristiwa itu.
b.
Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah
seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam.
c.
Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas
oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain
tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu.
d.
Kesepakantan itu hendaknya merupakan
kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
4.
Kemungkinan terjadinya ijma’
Jika
diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rosulullah SAW sampai sekarang,
dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma’, maka ijma’ dapat dibagi atas
tiga periode, yaitu:
a.
Periode Rosulullah SAW, Pada masa ini beliau
merupakan sumber hukum setiap ada peristiwa atau kejadian, karena kaum muslimin
dapat menanyakannya secara langsung kepada Rosulullah. Jadi ijma’ tidak
diperlukan pada masa Rosulullah SAW
b.
Periode khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khahthob, Pada masa ini ijma’
mungkin terjadi pada khalifah Abu Bakar dan
Umar bin Khahthob dan enam tahun pertama khalifah Utsman.
c.
Periode sesudahnya, Setelah masa enam tahun
pemerintahan khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma’ sesuai
dengan rukrun-rukun yang telah
ditetapkan diatas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta
luasnya daerah yang berpenduduk Islam.[7]
5.
Macam-macam ijma’
Dalam kitab-kitab fiqh dan ushul
fiqh diterangkan macam-macam ijma’ dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap
tiap segi ditinjau atas beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya,
maka ijma’ terdiri atas:
a.
Ijma’ bayani, yaitu para mujtahid menyatakan
pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik
berupa ucapan atau tulisan. Ijma’ bayani disebut juga ijma; sharih, ijma’
qauli, atau ijma’ haqiqi
b.
Ijma’ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau
sebagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka
berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum
yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma’ ini disebut
juga ijma’ itibari.
Ditinjau dari
segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’ dapat dibagi:
a.
Ijma’ qath’i yaitu hukum yang dihasilkan ijma’
itu adalah qath’i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa
hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil
ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
b.
Ijma’ dhanni, yaitu hukam yang dihasilkan
ijma’ itu dhanni, masih ada kemungkinan laim bahwa hukum dari peristiwa atau
kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau
dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.[8]
D.
Qias
1.
Pengertian qias
Qiyas menurut
para ahli ushul fiqh adalah mempersamakan
hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu
peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya dari
kedua peristiwa itu.
Sesuai dengan
tarif di atas tersebut, apabila ada suatu peristiwa yang hukumnya telah
ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah diketahui menurut suatu dari cara-cara mengetahui
illat-illat hukum, kemudian didapatkan suatu peristiwa lain yang hukumnya tidak
ditetapkan oleh suatu nash, tetapi illat
hukumnya adalah sama dengan illat hukum dari peristiwa yang sudah mempunyai
nash tersebut, maka hukumnya peristiwa yang tidak ada nashnya ini disamakan
dengan hukum peristiwa yang ada nashnya, lantaran adanya persamaan illat hukum
pada kedua peristiwa itu.
Misalnya,
masalah meminum khamr merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan
dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat
memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan
hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya.[9]
2.
Rukun qias
a. Ashal
(pokok), yaitu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat
mengkiyaskan. Ashal itu juga disebut
dengan maqis ‘alaih (yang dijadikan tempat mengkiyaskan) atau mahmul alaih
(tempat membandingkannya) atau musyabbah bih (tempat menyerupakannya).
b. Far’u
(cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya dan peristiwa itulah yang
dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalnya. Disebut juga maqia (yang
dikiyaskan) dan musyabbah (yang diserupakan).
c. Hukum
Ashal, yaitu hukum syara yang ditetapkan oleh suatu nash dan dikehendaki untuk
menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
d. Illat,
yaitu suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang ashal, yang karena sifat
itu maka peristiwa ashal itu mempunyai
suatu hukum dan oleh karena sifat itu
terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabang itu dengan
hukum peristiwa yang ashal.[10]
3. Kedudukan
Qias
Menurut Jumhur
Ulama, bahwa qias adalah hukum syara’ yang dapat menjadi hujjah dalam
menetapkan suatu hukum dengan alasan: “Maka menjadi pandangan bagi orang-orang
yang berpikir.” (QS. Al-Hasyr:2)
Kalimat yang
menunjukkan qias dalam ayat ini “menjadi pandangan”, ini berarti membandingkan
antar hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
penjelasan yang telah dikemukakan diatas adalah Al-Qur’an Yaitu kalam Allah SWT
yang diturunkan olehNya dengan perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad
SAW dengan kata-kata berbahasa Arab dan dengan makna yang benar, agar menjadi
hujjah bagi Rosulullah SAW dalam pengakuannya sebagai Rosulullah, juga sebagai undang-undang
yang dijadikan pedoman oleh umat manusia dan sebagai amal ibadah bila dibaca.
Ia ditadwinkan di antara dua lembar mushaf, dimulai dengan Al-Fatihah dan
ditutup dengan An-Nas, dan telah sampai kepada kita dengan mutawatir, dianggap
ibadah apabila membacanya. Dan juga penjelasan mengenai Kehujjahan Al-Qur’an, Segi-segi kemu’jizatan
Al-Qur’an, Mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, Sifat-sifat hukum yang
terdapat di dalam Al-Qur’an, Asas- asas hukum, Pokok- pokok isi Al-Qur’an, Macam-macam
hukum, Dalalah ayat-ayat Al-Qur’an yang Qoth’i dan dzanni telah dikemukakan
diatas.
As-Sunnah
menurut istilah syar’i ialah sabda, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) yang
berasal dari Rasulullah saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut di atas yang
disadarkannya kepada Rasulullah saw. Dan penjelasan mengenai Kehujjahan
As-Sunnah dan Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telas dijelaskan diatas.
Ijma’ menurut
bahasa Arab adalah kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, sedang
menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan mujtahij umat Islam tentang hukum
syara’ dari suatu peristiwa yang terjadi setelah Rosulullah SAW meninggal
dunia. Dan penjelasan Dasar hukum ijma’, Kemungkinan terjadinya ijma’, Rukun-rukun
ijma’, Macam-macam ijma’
Qiyas menurut para ahli ushul fiqh
adalah mempersamakan hukum suatu
peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada
nashnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa itu. Dan
penjelasan Rukun qias, Kedudukan Qias telah dijelaskan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqih.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996
Departemen Agama RI. Ushul Fiqh.
Jakarta. Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 1985
Kallaf Abdul Wahab. Ilmu Ushul
Fiqih. Semarang: Dina Utama. 1999.
[1]
Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Jakarta, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1985. Hlm.62
[2]
Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Jakarta, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1985. Hlm.70-76
[3]
Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Jakarta, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1985. Hlm.86
[4]
Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Jakarta, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1985. Hlm.64-88
[5]
Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Jakarta, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1985. Hlm.94-96
[6]Abdul
Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999). Hlm. 57
[7]
Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Jakarta, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1985. Hlm.102
[8]
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999)Hlm. 62
[9]
Nazar Bakry,. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hlm.44
[10]
Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Jakarta, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1985. Hlm.118
0 komentar:
Post a Comment