Macam Macam Hukum Syar'i
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Ushul
Fiqh terdiri dari dua kata yaitu ushul dan Fiqh. Kata Ushul dalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa
berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Dari pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa Ushul Fiqh adalah sesuatu yang dijadikan dasar bagi
Fiqh.[1]
Sebagaimana
dikatakan oleh Imam al-Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara’ merupakan inti
dari ilmu fiqh dan ushul fiqih. Sasaran dari kedua disiplin ilmu ini adalah
sama-sama mengetahui hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang
mukallaf, meskipun dengan tinjauan yang berbeda.[2]
Dalam
makalah ini akan dijelaskan mengenai pembagian hukum-hukum syar’I dan hal-hal
yang berkaitan dengan hukum-hukum syar’i.
B. Rumusan
Masalah
Dari uraian diatas rumusan masalah dalam
makalah ini antara lain :
I.
Apa yang dimaksud
dengan al-Hakim dan bagaimana penjelasannya?
II.
Apa yang dimaksud
dengan al-hukmu dan bagaimana penjelasannya?
III.
Apa yang disebut dengan
hukum taklifi?
IV.
Apa yang dimaksud
dengan hukum Wadl’i?
V.
Apa yang dimaksud
dengan Mahkum ‘Alahi?
VI.
Apa yang dimaksud
dengan Mahkum Bihi?
PEMBAHASAN
I. Al-Hakim
Al-hakim
adalah yang menetapkan hukum atau penguasa hukum. Dalam Islam para Ulama telah
sepakat bahwa Allah adalah sebagai hakim bagi semua tingkah laku dan perbuatan
orang-orang mukallaf.[3]
Para
ulama tidak berbeda pendapat tentang sumber hukum syara’, hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat AL-An’am ayat 57 :
“… Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.
Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”.
(Q.S. 6:57).
Ada
beberapa pendapat dari para Ulama mengenai kedudukan akal dalam menentukan
hukum syari’at. Ulama Syi’ah berpendapat bahwa akal merupakan sumber hukum fiqh
berkenaan dengan sesuatu yang tidak tersebut dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Menurut Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa penerimaan akal sebagai salah satu
sumber fiqh islam itu karena ada dasar dari syara’. Sedangkan jumhur fuqoha
tidak menjadikan akal sebagai pembuat hukum, dan mereka mengembalikan sesuatu
yang tidak ada nash nya kepada sesuatu yang ada nashnya dengan beberapa jalan,
baik dengan jalan qiyas, istihsan, atau dikembalikan kepada kemaslahatan yang
dibenarkan syara’.
Perbedaan
antara ulama Syi’ah dengan jumhur fuqoha tentang eksistensi akal adalah
berpangkal dari adanya perbedaan dalam tahsin
‘aqly dan taqbih ‘aqly.
1. Baik
dan Buruk Menurut Akal
Dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat menjadi tiga hal, antara lain :
a. Golongan
Mu’tazilah
Golongan
ini berpendapat bahwa baik dan buruk memiliki dua sifat esensial yang ada pada
sebagian hal, dan sebagian lainnya berada antar manfaat dan madarat serta
diantara baik dan buruk.
Menurut
pendapat kaum Mu’tazilah, sesuatu itu terbagi menjadi tiga bagian antara lain:
1. Sesuatu
yang baik menurut dzatnya, dan Allah berhak (wajib) memerintahkannya.
2. Sesuatu
yang buruk menurut dzatnya dan Allah tidak berhak memerintahkannya, dan
3. Sesuatu
yang ada diantara baik dan buruk. Bagian ini boleh (jaiz) diperintahkan dan boleh
dilarang. Jika diperintahkan maka nilai kebaikannya adalah karena perintah (lil-amr), dan jika dilarang maka nilai
keburukannya adalah karena larangan (lin-nahi).
Ketetapan madzab Mu’tazilah yang mendasari adanya
hukum wajib atas sesuatu yang baik dan yang buruk menurut dzatnya. Sesuatu yang
baik menurut dzatnya (esensinya) dengan sendirinya mewajibkan seseorang untuk
mengerjakannya, meskipun dia tidak mengetahui hukum syara’. Demikian pula
sesuatu yang buruk menurut dzatnya, menuntut seseorang untuk menjauhinya
walaupun dia sendiri tidak mengetahui larangan dari syara’. Pendapat ini
didasarkan pada tiga alasan yaitu:
1. Ada
perbuatan dan perkataan yang harus dilakukan oleh orang berakal, diamana
keadaan si pelaku tidak dicela bahkan mendapat ujian.
2. Baik
dan buruk itu adalah dua hal yang dapat dijangkau oleh akal, dan mengetahui
keduanya merupakan suatu kepastian.
3. Jika
ada suatu hal yang secara esensial, (li dzatih) tidak mengandung sifat baik
dan buruk yang masing-masing harus dikerjakan dan ditinggalkan tentu hal itu
mengakibatkan bolehnya terjadi mu’jizat pada seorang pendusta, sehingga tidak
akan dapat dibedakan antara seorang Nabi dengan seorang pendusta.
Pandangan dan alasan-alasan Madzab Mu’tazilah ini akhirnya
menimbulkan tiga konsekuensi logis, antara lain:
1. Bahwa
ahli fatrah (manusia pada zaman
antara dua nabi) serta orang yang belum dijangkau oleh atau belum mengetahui
aturan syara’ berarti dituntut untuk melakukan sesuatu yang baik menurut
dzatnya (hasan li dzatih) dan sekaligus dituntut agar meninggalkan sesuatu yang
buruk menurut dzatnya (qabih li dzatih).
2. Apabila
tidak ada nash maka seseorang (umat Islam) dengan petunjuk akalnya dituntut
untuk melakukan sesuatu, baik yang berupa hasan dzaty maupun yang qabih dzaty.
3. Bahwa
Allah SWT sungguh tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang buruk menurut
dzatnya (qabih dzatih) dan melarang sesuatu yang buruk menurut dzatnya (hasan
dzati).[4]
b. Golongan
Maturidiyah
Golongan
ini dinukilkan dari Abu Hanifah dan dianut oleh ulama Hanifah. Mereka
mengatakan bahwa sesuatu itu secara esensial ada yang baik dan ada yang buruk.
Dengan demikian mereka membagi sesuatu kepada :
1. Hasan li dzatihi (
baik menurut dzatnya)
2. Qabih li dzatihi (
buruk menurut dzatnya)
3. Sesuatu
yang ada diantara keduanya dan ini tergantung pada perintah dan larangan Allah.
Dalam ketentuan ini kaum Maturidiyah dan kaum
Hanafiyah sependapat dengan kaum Mu’tazilah, tetapi setelah itu terjadi
perbedaan pendapat diantara mereka. Kaum Hanafi berpendapat bahwa tidak ada taklif (pembebanan) dan pahala hanya
dengan keputusan akal saja, tetapi sesungguhnya urusan taklif, pahala, dan siska itu berdasarkan ketentuan nash.
c. Golongan
Asy’ariyah
Pendapat
golongan Asy’ariyah yang dipegangi oleh jumhur ulama ushul, berpendapat bahwa
segala sesuatu menurut dzatnya tidak ada yang baik maupun yang buruk. Tiada taklif (pembebanan) karena keputusan
akal tetapi ta’lif hanya berdasar pada perintah perintah
larangan syar’i (Allah) semata.
Pendapat
kaum Asy’ariyah ini berbeda pendapat dengan kaum Maturidiyah dan kaum
Mu’tazilah. Mereka menetapkan bahwa sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang
baik menurut dzatnya atau yang buruk menurut dzatnya, dan juga tidak ada taklif (pembebanan hukum) kecuali dari Syar’i.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
Jumhur-Fuqaha berpendapat bahwa al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah
dan akal tidak dapat memberi beban hukum (taklif),
meski ia mampu menemukan sesuatu yang hasan
dzaty serta yang qabih dzaty menurut pendapat sebagian ahli fiqih, yakni ulama
Hanafiah.[5]
2. Fungsi
Akal Dalam Penetapan Hukum
Ada
beberapa fungsi akal dalam membantu menetapkan hukum dalam Islam antara lain
yaitu :
a. Walaupun
jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa akal tidak punya wewenang untuk
mensyariatkan hukum dan menjatuhkan pembebanan-pembebanan hukum namun akal berfungsi
untuk menggali nash-nash syara’ dan untuk menjelaskan kaidah-kaidah umum syar’i
yang dapat menjadi pedoman dalam menganalogikan dan menerapkan prinsip hukum
terhadap kasus-kasus baru yang dijumpai. Para imam (ulama) terdahulu, dengan
mendayagunakan kemampuan akal itu, telah berhasil menyusun kaidah-kaidah yang
dapat mereka gunakan untuk menggali (istinbath) hukum.
II.
Al-Hukmu
Al-hukmu
atau hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas yang lain. Sedangkan
hukum menurut istilah agama (syara’) adalah: tuntutan dari Allah yang
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap mukallaf.
A.Hanafie,
dalam bukunya Ushul Fiqih, menjelaskan pengertian hukum sebagai berikut: “hukum
menurut bahasa ialah menetapkan sesuatu atas yang lain”. Menurut syara’ ialah
firman Allah atau sabda Nabi yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa
(mukallaf), firman mana yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau
menjadikan sesuatu sebagai tanda adanya yang lain.[6]
Dari
definisi diatas mengandung tiga tuntutan yang berhubungan dengan manusia yang
mukallaf, antara lain:[7]
1. Tuntutan memperbuat, contonya
seperti:
”dan dirikanlah shalat
dan tunaikanlah zakat” (Q.S Al-Baqarah ayat
110)[8]
2. Membolehkan, seperti:
maka adakalanya
engkau lepaskan tawanan itu pada kemudiannya sebagai memberi kepadanya atau
engkau terima tebusan dari padanya sampai berhenti peperangan itu.
3. Menjadikan sesuatu
sebagai tanda adanya yang lain, seperti:
“dirikanlah
sholat dari sesudah tergelincinya matahari sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula sholat) subuh. Sesunguhnya shalat subuh itu disaksikan.(Q.S
Al-Isra’78)
III. Hukum
Taklifi
Hukum
taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan , dan pilihan
untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya. Contoh hukum yang menunjukkan
perintah adalah mendirikan sholat, membayar zakat, dan menunaikan haji. Sedangkan
salah satu contoh hukum yang menunjukkan larangan untuk melakukannya adalah
makan harta benda anak yatim.[9]
Dari
kalangan para ahli ushul fiqih diperoleh keterangan bahwa, titah-titah agama
yang masuk kedalam hukum taklifi ada empat macam, yaitu:
1. Ijab (mewajibkan),
yaitu titah yang mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, umpamanya firman
Allah:
“Sembahlah
olehmu akan Allah.” (Q.S.An-nisa ayat 35)
2. Nadb (anjuran
supaya dikerjakan), yaitu titah yang mengandung suruhan yang tidak mesti
dikerjakan, hanya merupakan anjuran untuk melaksanakannya. Seperti firman
Allah:
“Apabila
kamu hutang dengan berjanji akan membayarnya pada ketika yang telah
ditentukannya, maka tulislah hutang itu. (Q.S.
Al-Baqarah ayat 282)
3. Tahrim (mengharamkan),
yaitu titah yang mengandung larangan yang mesti dijauhi, umpamanya firman
Allah:
“jangan
kamu mengatakan cis pada ibu bapakmu (mencibir ibu bapakmu), dan janganlah kamu
menghardik keduanya.” (Q.S. Al-Isra ayat 23)
4. Karohah (membencikan),
yaitu titah yang mengandung larangan namun tidak mesti dijauhi. Seperti firman
Allah :
“apabila kamu diseru
kepada shalat Jum’at dihari Jum’at, maka bersegeralah kamu ke masjid untuk
menyebut Allah (mengerjakan shalat jum’at) dan tinggalkanlah berjual beli.” (Q.S.
Al-Jum’ah ayat 9)[10]
IV. Hukum
Wadh’i
Hukum wadh’I
dibagi menjadi tiga bagian , antara lain yaitu:
1. Sebab
Menurut
Jumhur Ulama sebab (al-Sabab) adalah sesuatu yang lahir dan jelas
batasan-batasannya, yang oleh Allah (al-Syari’,
pembuat hukum) dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum.
Sebab
dibagi menjadi dua yaitu sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf dan
sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf. Sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf adalah
sebab-sebab yang dijadikan oleh Allah sebagai tanda atau wujudnya hukum.
Sedangkan sebab- sebab yang berasal dari mukallaf oleh Allah dijadikan sebagai
akibat timbulnya hukum.[11]
Adanya
sebab mengharuskan adanya akibat. Jadi sebab adalah sesuatu yang nyata dan
pasti, yang dijadikan syar’i sebagai pertanda dalam hukum syara’ mengenai
akibat.
2. Syarat
Syarat
adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya
syarat berarti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya
hukum.
Perbedaan
antara sebab dan syarat adalah bahwa ditemukan (adanya) syarat itu tidak
memastikan adanya hukum. Oleh karenanya, adanya wudhu’ yang merupakan syaratnya
sholat tidak menentukan/ tidak
mengakibatkan wajibnya shalat.
Adapun
sebab, ditemukan (adannya) sebab itu memastikan adanya hukum, kecuali adanya
mani’ (penghalang). Secara umum syarat merupakan penyempurna sebab atau
penyempurna musabbab (efek). Ulama Ushul mengatakan bahwa sebab ada dua macam
yaitu : syarat yang menyempurnkan sebab dan syarat yang menyempurnakan musabbab
(efek).
Para
ahli Ushul membagi syarat-syarat yang berhubungan dengan hukum wadh’I menjadi
dua macam yaitu:
1. Syarat
syar’iyyah, yaitu: syarat yang oleh
Syar’i (pembuat hukum ) dijadikan sebagai syarat untuk memenuhi sebab, atau
memenuhi musabbab.
2. Syarat
ja’liyyah, yaitu syarat-syarat dimana
Syar’i (pembuat hukum) emperbolehkan pihak-pihak yang membuat akad untuk
membuat syarat dalam akad demi tegaknya hukum.[12]
3. Mani’
(penghalang)
Al-Mani’
(penghalang) ialah sesuatu yang adanya dapat menyebabkan tidak adanya hukum
atau membatalkan sebab. Menurut ulama Ushul mani’ adalah sesuatu yang timbul
ketika sebab itu telah jelas dan syarat telah terpenuhi, dan menghalangi
timbulnya akibat atas sebabnya.[13]
Mani’
yang menghalangi hukum dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Mani’
yang tidak mungkin berkumpul dengan hukum taklifi, yaitu berupa hilangnya akal
dengan segala sebabnya, yakni tertidur, gila, atau sakit ayan.
2. Mani’
yang dapat berkumpul dengan dasar pembebanan (taklif). Tatapi mani’ ini dapat
menhilangkan pembebanan (taklif) secara menyeluruh, disamping ada kemungkinan
dapat berkumpul dengannya.
3. Mani’
yang tidak menghilangkan dasar tuntutan taklif tetapi menghapuskan
ketetapannya, dan merubah tuntutan yang bersifat pasti (wajib) menjadi tuntutan
yang bersifat pilihan (takhyiry). Misalnya sakit merupakan penghalang bagi
fardhunya shalat jum’at, tetapi jika penderita sakit tersebut melaksanakan
sholat maka sahlah sholatnya.
Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam menerangkan bahwa
hukum wadh’i ada tujuh macam yaitu:
1. Titah
yang mengatakan bahwa sesuatu itu dijadikan sebab bagi wajib dikerjakannya
suatu pekerjaan.
2. Titah
yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi sesuatu.
3. Titah
yang menerangkan bahwa sesuatu itu menghalangi berlakunya sesuatu hukum.
4. Titah
yang menerangkan sahnya suatu pekerjan.
5. Titah
yang menerangkan bahwa sesuatu itu batal, tidak dipandang sah, tidak dihukum
terlepas yang membuatnya dari tugas.
6. Titah
yang menetapkan atas mukallaf (azimah)
7. Titah
yang memberikan pengertian bahwa hukum yang dimaksud itu sebagai pengganti
azimah.
V.
Mahkum ‘Alahi (Subyek
Hukum)
Mahkum
‘alaihi ialah mukallaf yang dibebani hukum. Untuk membebani taklif hukum kepada
mukallaf diperlukan beberapa syarat, diantaranya:
1. Sang
mukallaf harus dapat memahami dalil taklif (pembebanan) yakni dia harus mampu
memahami nash-nash hukum yang dibebankan al-Qur’an dan as-Sunnah baik yang
langsung maupun melalui perantara.
2. Seorang
mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.[14]
VI. Mahkum
Bihi
Telah
kita maklumi bahwa bekas ijab disebut wajib, bekas nadb dinamakan mandub atau
sunnat, bekas tahrim dinamai haram atau dhur, bekasan karahah dinamai makruh,
dan bekasan ibadah dinamakan mubah atau ja’iz.
Perbuatan
mukallaf yang menyangkut masalah-masalah : ijab dinamai wajib, tahrim dinamai
haram, karohah dinamai makruh, dan ibahah dinamai mubah. Hukum-hukum tersebut
menurut uruf ahli ushul disebut mahkum bihi, sedangka tempat-tempat bergantung
hukum disebut hukum takliefy.[15]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa al-hakim adalah pembuat hukum. Para ulama
telah sepakat bahwa al-hakim dalam islam adalah Allah SWT. Al-hukmu adalah
menetapkan sesuatu atas yang lain. Menurut syara’ ialah firman Allah atau sabda
Nabi yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf), firman mana
yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai
tanda adanya yang lain.
Hukum-hukum
syara’ sebenarnya dibagi menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan , dan
pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya. Selain itu termasuk
hukum wadh’i. Mahkum ‘alaihi ialah mukallaf yang dibebani hukum. Sedangkan
hukum-hukum tersebut menurut uruf ahli ushul disebut mahkum bihi.
B. Saran
Dengan
adanya makalah ini kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kriteria sempurna. Untuk itu pemakalah mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam
pembuatan makalah yang selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakry,
Nazar. Fiqh Dan Ushul Fiqh. ( Jakarta
Utara : PT Raja Grafindo Persada.1996)
Departemen
Agama RI.Al-Qur’an dan Terjemanya.
Departemen
Agama RI.Ushul Fiqih. (Jakarta.1985)
Hanafie,A.Ushul Fiqh. ( Wijaya Jakarta)
Khalaf,Abdul
Wahab. Ilmu Ushulul Fiqh. (Bandung:Gema
Risalah Press.1996)
Zahra,Muhammad
Abu. Ushul Fiqh. (Jakarta :PT Pustaka
Firdaus.1995)
[1] Departemen Agama RI, Ushul
Fiqih (Jakarta.1985) hlm.1
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqh, (Jakarta :PT Pustaka Firdaus,1995) hlm.26
[3] Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, ( Jakarta Utara : PT Raja
Grafindo Persada, 1996) hlm.139
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqih (Jakarta: PT pustaka Firdaus,1995) hlm.89-92
[5] Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqih (Jakarta: PT pustaka Firdaus,1995) hlm.92-94
[6] A.Hanafie, Ushul Fiqh (
Wijaya Jakarta) hlm.12
[7] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul
Fiqh (Jakarta Utara : PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm.137-138
[8] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemanya, hml..30
[9] Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqih (Jakarta: PT pustaka Firdaus,1995) hlm.27
[10] Departemen Agama RI, Ushul
Fiqih (Jakarta.1985) hlm.21-23
[11] Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqih (Jakarta: PT pustaka Firdaus,1995) hlm.70
[12] Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqih (Jakarta: PT pustaka Firdaus,1995) hlm.75-77
[13]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu
Ushulul Fiqh, (Bandung:Gema Risalah Press,1996)hlm .203
[14] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu
Ushulul Fiqh, (Bandung:Gema Risalah Press,1996)hlm.229-223
[15] Departemen Agama RI, Ushul
Fiqih (Jakarta.1985) hlm.27-28
0 komentar:
Post a Comment