September 16, 2015

Macam Macam Hukum Syar'i

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Ushul Fiqh terdiri dari dua kata yaitu ushul dan Fiqh. Kata Ushul dalah bentuk jamak dari kata ashl  yang menurut bahasa berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Ushul Fiqh adalah sesuatu yang dijadikan dasar bagi Fiqh.[1]
Sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara’ merupakan inti dari ilmu fiqh dan ushul fiqih. Sasaran dari kedua disiplin ilmu ini adalah sama-sama mengetahui hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, meskipun dengan tinjauan yang berbeda.[2]
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai pembagian hukum-hukum syar’I dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum syar’i.

B.  Rumusan Masalah
Dari uraian diatas rumusan masalah dalam makalah ini antara lain :
     I.          Apa yang dimaksud dengan al-Hakim dan bagaimana penjelasannya?
  II.          Apa yang dimaksud dengan al-hukmu dan bagaimana penjelasannya?
III.          Apa yang disebut dengan hukum taklifi?
IV.          Apa yang dimaksud dengan hukum Wadl’i?
  V.          Apa yang dimaksud dengan Mahkum ‘Alahi?
VI.          Apa yang dimaksud dengan Mahkum Bihi?
PEMBAHASAN

I.     Al-Hakim
Al-hakim adalah yang menetapkan hukum atau penguasa hukum. Dalam Islam para Ulama telah sepakat bahwa Allah adalah sebagai hakim bagi semua tingkah laku dan perbuatan orang-orang mukallaf.[3]
Para ulama tidak berbeda pendapat tentang sumber hukum syara’, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat AL-An’am ayat 57 :
… Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”. (Q.S. 6:57).
Ada beberapa pendapat dari para Ulama mengenai kedudukan akal dalam menentukan hukum syari’at. Ulama Syi’ah berpendapat bahwa akal merupakan sumber hukum fiqh berkenaan dengan sesuatu yang tidak tersebut dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Menurut Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa penerimaan akal sebagai salah satu sumber fiqh islam itu karena ada dasar dari syara’. Sedangkan jumhur fuqoha tidak menjadikan akal sebagai pembuat hukum, dan mereka mengembalikan sesuatu yang tidak ada nash nya kepada sesuatu yang ada nashnya dengan beberapa jalan, baik dengan jalan qiyas, istihsan, atau dikembalikan kepada kemaslahatan yang dibenarkan syara’.
Perbedaan antara ulama Syi’ah dengan jumhur fuqoha tentang eksistensi akal adalah berpangkal dari adanya perbedaan dalam tahsin ‘aqly dan taqbih ‘aqly.
1.    Baik dan Buruk Menurut Akal
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat menjadi tiga hal, antara lain :
a.    Golongan Mu’tazilah
Golongan ini berpendapat bahwa baik dan buruk memiliki dua sifat esensial yang ada pada sebagian hal, dan sebagian lainnya berada antar manfaat dan madarat serta diantara baik dan buruk.
Menurut pendapat kaum Mu’tazilah, sesuatu itu terbagi menjadi tiga bagian antara lain:
1.    Sesuatu yang baik menurut dzatnya, dan Allah berhak (wajib) memerintahkannya.
2.    Sesuatu yang buruk menurut dzatnya dan Allah tidak berhak memerintahkannya, dan
3.    Sesuatu yang ada diantara baik dan buruk. Bagian ini boleh (jaiz) diperintahkan dan boleh dilarang. Jika diperintahkan maka nilai kebaikannya adalah karena perintah (lil-amr), dan jika dilarang maka nilai keburukannya adalah karena larangan (lin-nahi).
Ketetapan madzab Mu’tazilah yang mendasari adanya hukum wajib atas sesuatu yang baik dan yang buruk menurut dzatnya. Sesuatu yang baik menurut dzatnya (esensinya) dengan sendirinya mewajibkan seseorang untuk mengerjakannya, meskipun dia tidak mengetahui hukum syara’. Demikian pula sesuatu yang buruk menurut dzatnya, menuntut seseorang untuk menjauhinya walaupun dia sendiri tidak mengetahui larangan dari syara’. Pendapat ini didasarkan pada tiga alasan yaitu:
1.    Ada perbuatan dan perkataan yang harus dilakukan oleh orang berakal, diamana keadaan si pelaku tidak dicela bahkan mendapat ujian.
2.    Baik dan buruk itu adalah dua hal yang dapat dijangkau oleh akal, dan mengetahui keduanya merupakan suatu kepastian.
3.    Jika ada suatu hal yang secara esensial, (­li dzatih) tidak mengandung sifat baik dan buruk yang masing-masing harus dikerjakan dan ditinggalkan tentu hal itu mengakibatkan bolehnya terjadi mu’jizat pada seorang pendusta, sehingga tidak akan dapat dibedakan antara seorang Nabi dengan seorang pendusta.
Pandangan dan alasan-alasan Madzab Mu’tazilah ini akhirnya menimbulkan tiga konsekuensi logis, antara lain:
1.    Bahwa ahli fatrah (manusia pada zaman antara dua nabi) serta orang yang belum dijangkau oleh atau belum mengetahui aturan syara’ berarti dituntut untuk melakukan sesuatu yang baik menurut dzatnya (hasan li dzatih) dan sekaligus dituntut agar meninggalkan sesuatu yang buruk menurut dzatnya (qabih li dzatih).
2.    Apabila tidak ada nash maka seseorang (umat Islam) dengan petunjuk akalnya dituntut untuk melakukan sesuatu, baik yang berupa hasan dzaty maupun yang qabih dzaty.
3.    Bahwa Allah SWT sungguh tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang buruk menurut dzatnya (qabih dzatih) dan melarang sesuatu yang buruk menurut dzatnya (hasan dzati).[4]

b.    Golongan Maturidiyah
Golongan ini dinukilkan dari Abu Hanifah dan dianut oleh ulama Hanifah. Mereka mengatakan bahwa sesuatu itu secara esensial ada yang baik dan ada yang buruk. Dengan demikian mereka membagi sesuatu kepada :
1.    Hasan li dzatihi ( baik menurut dzatnya)
2.    Qabih li dzatihi ( buruk menurut dzatnya)
3.    Sesuatu yang ada diantara keduanya dan ini tergantung pada perintah dan larangan Allah.
Dalam ketentuan ini kaum Maturidiyah dan kaum Hanafiyah sependapat dengan kaum Mu’tazilah, tetapi setelah itu terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Kaum Hanafi berpendapat bahwa tidak ada taklif (pembebanan) dan pahala hanya dengan keputusan akal saja, tetapi sesungguhnya urusan taklif, pahala, dan siska itu berdasarkan ketentuan nash.
c.    Golongan Asy’ariyah
Pendapat golongan Asy’ariyah yang dipegangi oleh jumhur ulama ushul, berpendapat bahwa segala sesuatu menurut dzatnya tidak ada yang baik maupun yang buruk. Tiada taklif (pembebanan) karena keputusan akal tetapi ta’lif  hanya berdasar pada perintah perintah larangan syar’i (Allah) semata.
Pendapat kaum Asy’ariyah ini berbeda pendapat dengan kaum Maturidiyah dan kaum Mu’tazilah. Mereka menetapkan bahwa sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang baik menurut dzatnya atau yang buruk menurut dzatnya, dan juga tidak ada taklif  (pembebanan hukum) kecuali dari Syar’i.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa  Jumhur-Fuqaha berpendapat bahwa al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah dan akal tidak dapat memberi beban hukum (taklif), meski ia mampu menemukan sesuatu yang hasan dzaty  serta yang qabih dzaty menurut pendapat sebagian ahli fiqih, yakni ulama Hanafiah.[5]
2.    Fungsi Akal Dalam Penetapan Hukum
Ada beberapa fungsi akal dalam membantu menetapkan hukum dalam Islam antara lain yaitu :
a.    Walaupun jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa akal tidak punya wewenang untuk mensyariatkan hukum dan menjatuhkan pembebanan-pembebanan hukum namun akal berfungsi untuk menggali nash-nash syara’ dan untuk menjelaskan kaidah-kaidah umum syar’i yang dapat menjadi pedoman dalam menganalogikan dan menerapkan prinsip hukum terhadap kasus-kasus baru yang dijumpai. Para imam (ulama) terdahulu, dengan mendayagunakan kemampuan akal itu, telah berhasil menyusun kaidah-kaidah yang dapat mereka gunakan untuk menggali (istinbath) hukum.

  II.     Al-Hukmu
Al-hukmu atau hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas yang lain. Sedangkan hukum menurut istilah agama (syara’) adalah: tuntutan dari Allah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap mukallaf.
A.Hanafie, dalam bukunya Ushul Fiqih, menjelaskan pengertian hukum sebagai berikut: “hukum menurut bahasa ialah menetapkan sesuatu atas yang lain”. Menurut syara’ ialah firman Allah atau sabda Nabi yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf), firman mana yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai tanda adanya yang lain.[6]
Dari definisi diatas mengandung tiga tuntutan yang berhubungan dengan manusia yang mukallaf, antara lain:[7]
1.    Tuntutan memperbuat, contonya seperti:
”dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat” (Q.S Al-Baqarah ayat 110)[8]
2.    Membolehkan, seperti:
maka adakalanya engkau lepaskan tawanan itu pada kemudiannya sebagai memberi kepadanya atau engkau terima tebusan dari padanya sampai berhenti peperangan itu.
3.    Menjadikan sesuatu sebagai tanda adanya yang lain, seperti:
“dirikanlah sholat dari sesudah tergelincinya matahari sampai gelap malam dan (dirikanlah pula sholat) subuh. Sesunguhnya shalat subuh itu disaksikan.(Q.S Al-Isra’78)

III.     Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan , dan pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya. Contoh hukum yang menunjukkan perintah adalah mendirikan sholat, membayar zakat, dan menunaikan haji. Sedangkan salah satu contoh hukum yang menunjukkan larangan untuk melakukannya adalah makan harta benda anak yatim.[9]
Dari kalangan para ahli ushul fiqih diperoleh keterangan bahwa, titah-titah agama yang masuk kedalam hukum taklifi ada empat macam, yaitu:
1.    Ijab (mewajibkan), yaitu titah yang mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, umpamanya firman Allah:
“Sembahlah olehmu akan Allah.” (Q.S.An-nisa ayat 35)
2.    Nadb (anjuran supaya dikerjakan), yaitu titah yang mengandung suruhan yang tidak mesti dikerjakan, hanya merupakan anjuran untuk melaksanakannya. Seperti firman Allah:
“Apabila kamu hutang dengan berjanji akan membayarnya pada ketika yang telah ditentukannya, maka tulislah hutang itu. (Q.S. Al-Baqarah ayat 282)
3.    Tahrim (mengharamkan), yaitu titah yang mengandung larangan yang mesti dijauhi, umpamanya firman Allah:
“jangan kamu mengatakan cis pada ibu bapakmu (mencibir ibu bapakmu), dan janganlah kamu menghardik keduanya.” (Q.S. Al-Isra ayat 23)
4.    Karohah (membencikan), yaitu titah yang mengandung larangan namun tidak mesti dijauhi. Seperti firman Allah :
“apabila kamu diseru kepada shalat Jum’at dihari Jum’at, maka bersegeralah kamu ke masjid untuk menyebut Allah (mengerjakan shalat jum’at) dan tinggalkanlah berjual beli.” (Q.S. Al-Jum’ah ayat 9)[10]

IV.     Hukum Wadh’i
Hukum wadh’I dibagi menjadi tiga bagian , antara lain yaitu:
1.    Sebab
Menurut Jumhur Ulama sebab (al-Sabab) adalah sesuatu yang lahir dan jelas batasan-batasannya, yang oleh Allah (al-Syari’, pembuat hukum) dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum.
Sebab dibagi menjadi dua yaitu sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf dan sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf. Sebab yang bukan  berasal dari perbuatan mukallaf adalah sebab-sebab yang dijadikan oleh Allah sebagai tanda atau wujudnya hukum. Sedangkan sebab- sebab yang berasal dari mukallaf oleh Allah dijadikan sebagai akibat timbulnya hukum.[11]
Adanya sebab mengharuskan adanya akibat. Jadi sebab adalah sesuatu yang nyata dan pasti, yang dijadikan syar’i sebagai pertanda dalam hukum syara’ mengenai akibat.
2.    Syarat
Syarat adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum.
Perbedaan antara sebab dan syarat adalah bahwa ditemukan (adanya) syarat itu tidak memastikan adanya hukum. Oleh karenanya, adanya wudhu’ yang merupakan syaratnya sholat  tidak menentukan/ tidak mengakibatkan wajibnya shalat.
Adapun sebab, ditemukan (adannya) sebab itu memastikan adanya hukum, kecuali adanya mani’ (penghalang). Secara umum syarat merupakan penyempurna sebab atau penyempurna musabbab (efek). Ulama Ushul mengatakan bahwa sebab ada dua macam yaitu : syarat yang menyempurnkan sebab dan syarat yang menyempurnakan musabbab (efek).
Para ahli Ushul membagi syarat-syarat yang berhubungan dengan hukum wadh’I menjadi dua macam yaitu:
1.    Syarat syar’iyyah, yaitu: syarat yang oleh Syar’i (pembuat hukum ) dijadikan sebagai syarat untuk memenuhi sebab, atau memenuhi musabbab.
2.    Syarat ja’liyyah, yaitu syarat-syarat dimana Syar’i (pembuat hukum) emperbolehkan pihak-pihak yang membuat akad untuk membuat syarat dalam akad demi tegaknya hukum.[12]
3.    Mani’ (penghalang)
Al-Mani’ (penghalang) ialah sesuatu yang adanya dapat menyebabkan tidak adanya hukum atau membatalkan sebab. Menurut ulama Ushul mani’ adalah sesuatu yang timbul ketika sebab itu telah jelas dan syarat telah terpenuhi, dan menghalangi timbulnya akibat atas sebabnya.[13]
Mani’ yang menghalangi hukum dibagi menjadi tiga yaitu:
1.    Mani’ yang tidak mungkin berkumpul dengan hukum taklifi, yaitu berupa hilangnya akal dengan segala sebabnya, yakni tertidur, gila, atau sakit ayan.
2.    Mani’ yang dapat berkumpul dengan dasar pembebanan (taklif). Tatapi mani’ ini dapat menhilangkan pembebanan (taklif) secara menyeluruh, disamping ada kemungkinan dapat berkumpul dengannya.
3.    Mani’ yang tidak menghilangkan dasar tuntutan taklif tetapi menghapuskan ketetapannya, dan merubah tuntutan yang bersifat pasti (wajib) menjadi tuntutan yang bersifat pilihan (takhyiry). Misalnya sakit merupakan penghalang bagi fardhunya shalat jum’at, tetapi jika penderita sakit tersebut melaksanakan sholat maka sahlah sholatnya.
Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam menerangkan bahwa hukum wadh’i ada tujuh macam yaitu:
1.    Titah yang mengatakan bahwa sesuatu itu dijadikan sebab bagi wajib dikerjakannya suatu pekerjaan.
2.    Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi sesuatu.
3.    Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu menghalangi berlakunya sesuatu hukum.
4.    Titah yang menerangkan sahnya suatu pekerjan.
5.    Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu batal, tidak dipandang sah, tidak dihukum terlepas yang membuatnya dari tugas.
6.    Titah yang menetapkan atas mukallaf  (azimah)
7.    Titah yang memberikan pengertian bahwa hukum yang dimaksud itu sebagai pengganti azimah.

  V.     Mahkum ‘Alahi (Subyek Hukum)
Mahkum ‘alaihi ialah mukallaf yang dibebani hukum. Untuk membebani taklif hukum kepada mukallaf diperlukan beberapa syarat, diantaranya:
1.    Sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif (pembebanan) yakni dia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan al-Qur’an dan as-Sunnah baik yang langsung maupun melalui perantara.
2.    Seorang mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.[14]

VI.     Mahkum Bihi
Telah kita maklumi bahwa bekas ijab disebut wajib, bekas nadb dinamakan mandub atau sunnat, bekas tahrim dinamai haram atau dhur, bekasan karahah dinamai makruh, dan bekasan ibadah dinamakan mubah atau ja’iz.
Perbuatan mukallaf yang menyangkut masalah-masalah : ijab dinamai wajib, tahrim dinamai haram, karohah dinamai makruh, dan ibahah dinamai mubah. Hukum-hukum tersebut menurut uruf ahli ushul disebut mahkum bihi, sedangka tempat-tempat bergantung hukum disebut hukum takliefy.[15]
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa al-hakim adalah pembuat hukum. Para ulama telah sepakat bahwa al-hakim dalam islam adalah Allah SWT. Al-hukmu adalah menetapkan sesuatu atas yang lain. Menurut syara’ ialah firman Allah atau sabda Nabi yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf), firman mana yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai tanda adanya yang lain.
Hukum-hukum syara’ sebenarnya dibagi menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan , dan pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya. Selain itu termasuk hukum wadh’i. Mahkum ‘alaihi ialah mukallaf yang dibebani hukum. Sedangkan hukum-hukum tersebut menurut uruf ahli ushul disebut mahkum bihi.

B.  Saran
Dengan adanya  makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kriteria sempurna. Untuk itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pembuatan makalah yang selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar. Fiqh Dan Ushul Fiqh. ( Jakarta Utara : PT Raja Grafindo Persada.1996)
Departemen Agama RI.Al-Qur’an dan Terjemanya.
Departemen Agama RI.Ushul Fiqih. (Jakarta.1985)
Hanafie,A.Ushul Fiqh.  ( Wijaya Jakarta)
Khalaf,Abdul Wahab. Ilmu Ushulul Fiqh. (Bandung:Gema Risalah Press.1996)
Zahra,Muhammad Abu. Ushul Fiqh. (Jakarta :PT Pustaka Firdaus.1995)



[1] Departemen Agama RI, Ushul Fiqih (Jakarta.1985) hlm.1
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta :PT Pustaka Firdaus,1995) hlm.26
[3] Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, ( Jakarta Utara : PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm.139
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT pustaka Firdaus,1995) hlm.89-92
[5] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT pustaka Firdaus,1995) hlm.92-94
[6] A.Hanafie, Ushul Fiqh ( Wijaya Jakarta) hlm.12
[7] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta Utara : PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm.137-138
[8] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemanya, hml..30
[9] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT pustaka Firdaus,1995) hlm.27
[10] Departemen Agama RI, Ushul Fiqih (Jakarta.1985) hlm.21-23
[11] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT pustaka Firdaus,1995) hlm.70
[12] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT pustaka Firdaus,1995) hlm.75-77
[13]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, (Bandung:Gema Risalah Press,1996)hlm .203
[14] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, (Bandung:Gema Risalah Press,1996)hlm.229-223
[15] Departemen Agama RI, Ushul Fiqih (Jakarta.1985) hlm.27-28

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates