Sadd Al Dzariah dan Qaul Ash Shahabi
SADD
AL-DZARI’AH DAN QAUL ASH-SHAHABI
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqih
Disusun Oleh:
Nana Lutfiana (131311110)
FAKULTAS DAKWAH DAN
KOMUNIKASI
MANAJEMEN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Sejarah
membuktikan, qaul ash-shahabi
merupakan rujukan hukum mengenai peristiwa-peristiwa hukum yang baru terjadi
setelah wafatnya Rasulullah SAW, yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam
Al-Qur’an dan sunnah. Akan tetapi harus dikatakan, sebagaimana layaknya suatu
komunitas masyarakat, tidak semua sahabat ahli dalam hukum Islam. Sedangkan
yang sebagai objek hukum syara’, perbuatan yang merupakan adz-dzari’ah berperan sebagai jalan/media/perantara untuk mencapai
tujuan hukum, dapat diberi predikat salah satu dari hukum taklifi yang lima, yaitu: wajib, sunnah, haram,
makruh, dan mubah. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang menjadi media
menghasilkan kemaslahatan, diperintahkan. Sebaliknya, suatu perbuatan yang
menjadi media menimbulkan mafsadah, maka ia dilarang.
II.
PERMASALAHAN
1. Apa definisi Sadd Dzari’ah?
2. Bagaimana kehujjahan Sadd Dzari’ah?
3. Apa saja dasar hukum Sadd Dzaria’ah?
4. Apa saja macam-macam Adz-Dzari’ah?
5. Apa definisi Qoulu Shahabi?
6. Bagaimana kehujjahan Qoulu Shahabi?
III.
PEMBAHASAN
A. Definisi Sadd Dzari’ah
Secara
etimologi, dzari’ah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu.” Ada juga yang
mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang
dilarang dan mengandung kemudaratan.”[1]
Sedangkan dalam pengertian ushul fiqh, yang dimaksud dengan adz-dzari’ah ialah,
sesuatu yang merupakan media dan jalan untuk sampai kepada sesuatu yang
berkaitan dengan hukum syara’, baik yang haram ataupun yang halal (yang
terlarang atau yang dibenarkan), dan yang menuju ketaatan atau kemaksiatan.[2]
Yang
dimaksud dengan sadd dzari’ah (makna generic: menutup jalan) ialah, mencegah
sesuatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan al-mafsadah (kerusakan), jika
ia akan menimbulkan mafsadah. Pencegahan terhadap mafsadah dilakukan karena ia
bersifat terlarang. Sebagai contoh, pada dasarnya, menjual anggur adalah mubah
(boleh), karena anggur adalah buah-buahan yang halal dimakan. Akan tetapi,
menjual anggur kepada orang yang akan mengolahnya menjadi minuman keras menjadi
terlarang. Perbuatan tersebut terlarang, karena akan menimbulkan mafsadah.
Larangan tersebut untuk mencegah agar orang jangan membuat minuman keras, dan
agar orang terhindar dari meminum minuman yang memabukkan, di mana keduanya
merupakan mafsadah.[3]
B. Kehujjahan Sadd Dzari’ah
Sebagaimana
halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd al-dzarỉ‘ah merupakan salah satu metode pengambilan
keputusan hukum (istinbâth al-hukm) dalam
Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd al-dzarỉ‘ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua
ulama sepakat dengan sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode dalam menetapkan
hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan
dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima
sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.[4]
Kelompok
pertama,
yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab
Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan
mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka
sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Kelompok
kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini
menolak sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode istinbath pada kasus
tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam
Syafi’i menggunakan sadd al-dzarỉ‘ah, adalah ketika beliau melarang
seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut
beliau akan menjadi sarana (al-dzarỉ‘ah) kepada tindakan mencegah untuk
memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga al-dzarỉ‘ah kepada
tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah
rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun. Contoh kasus
penggunaan sadd al-dzarỉ‘ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita
yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk
berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok.
Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak
boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd al-dzarỉ‘ah
agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam
keadaan iddah. Sedangkan
kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd
al-dzarỉ‘ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyû’
al-ajal).
Kelompok
ketiga, yang menolak
sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal
ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna
tekstual (zhâhir al-lafzh). Sementara sadd al-dzarỉ‘ah adalah
hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan,
meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka
konsep sadd al-dzarỉ‘ah adalah semata-mata produk akal dan tidak
berdasarkan pada nash secara langsung. Contoh kasus penolakan kalangan
al-Zhahiri dalam penggunaan sadd al-dzarỉ‘ah adalah ketika Ibnu Hazm begitu
keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi
lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal.
Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (al-dzarỉ‘ah)
bagi wanita untuk sekadar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris
lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu
jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan
mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.
C.
Dasar Hukum Sadd Dzari’ah
1.
Al-Qur’an
“Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.” (QS. al-An’âm, 6: 108).
Pada ayat di atas, mencaci maki Tuhan atau sembahan agama
lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan
adanya sesuatu mafsadah yang
dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang
Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh
orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi,
maka larangan mencaci maki Tuhan
agama lain merupakan tindakan preventif (sadd
al-dzari’ah).[5]
2.
Sunnah
Dari Abdullah bin Amr RA, ia
berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki
melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya
seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki
mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas
mencaci maki ayah dan ibu orang tua lelaki tersebut.”
Hadis ini dijadikan oleh Imam
Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd adz-dzarỉ‘ah.
Berdasarkan hadits tersebut, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam
konteks sadd al-dzari’ah.
3.
Kaedah Fiqih
“Menolak keburukan (mafsadah) lebih
diutamakan daripada meraih kebaikan (mashlahah).”
Kaedah ini merupakan kaedah asasi
yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaedah lain
juga bersandar pada kaedah ini. Karena itulah, sadd al-dzarỉ‘ah pun bisa
disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd al-dzarỉ‘ah
terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.
4. Logika
Secara logika, ketika seseorang
membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang
akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang
suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa
mengantarkan kepada perbuatan tersebut.
D. Macam-macam Sadd Dzari’ah
Para ulama membagi dzariah
berdasarkan dua segi-segi kualitas kemafsadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
1. Adzariah
dari segi kualitas kemafsadatan Menurut
Imam Abu Syatibi membagi Adzariah
kepada 4 macam, yaitu:[6]
a. Dzariah
yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan chariah itu
tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya: menggali sumur di
depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik tumah jatuh
ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikeni hukuman karena melakukan perbuatan
dengan sengaja.
b. Dzariah
yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kelau Dzariah itu
dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya
prbuatan yang dilarang.
Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuan keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya, menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, naun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk dioleh menjadi menuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan utnuk membunuh atau menyakiti orang lain.
Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuan keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya, menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, naun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk dioleh menjadi menuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan utnuk membunuh atau menyakiti orang lain.
c. Dzariah
yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini berarti
bila Dzariah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan
berlangsungnya perbuatan yang dilarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang
tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya
seirng dijadikan sarana untuk riba.
d. Dzariah
yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang, dalam hal
ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan.
Umpamanya mengali lobang di kebun sendiri yang jarang di lalui orang, menurut
kebiasaannya tida ada orang yang lewat di tempat tertutup kedalam lobang. Namun
tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh ke dalam lobang.
2. Dzariah
dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:[7]
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:[7]
a. Dzariah
yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum yang memabukkan
yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk. Perbuatan zina yang membawa pada
kerusakan tata keturunan.
b. Dzariah
yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak, baik
dengan sengaja, seperti nikah muhalli, atau tidak sengaja sepserti mencaci
sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun
dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidak boleh hukumnya. Mencaci sembahan agama
lain itu sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut dapat dijadikan
perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang.
c. Dzariah
yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun
biasanya sampai juga
kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Seperti
berhiasnya seseorang perempuan yang baru kematian dalam masa iddah, berhiasnya
perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja
suaminya mati dan masih dalam masa iddah keadaannya lain.
d. Dzariah
yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada kerusasakan, sedangkan
kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat
wajah perempuan saat dipinang.
*Metode penentuan hukum adz-dzari’ah
Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak,
karena ia bisa menjadi sarana (al-dzarỉ‘ah) terjadinya suatu
perbuatan lain yang dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua
hal, yaitu:
1. Motif
atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan, apakah
perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan.
2. Akibat
yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan niat si
pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu perbuatan
adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu harus
dicegah.
E. Definisi Qoulu Shahabi
Sebagian ulama ushul fiqh menyebut
istilah qaulu shahabi dengan istilah “mazhab ash-shahabi”. Sebenarnya kedua
istilah ini tidak persis sama maknanya. Sebab yang dimaksud dengan qaulu
shahabi ialah, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seseorang atau beberapa
orang sahabat Rasulullah SAW secara individu., tentang suatu hukum syara’ yang
tidak terdapat ketentuannya, baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah SAW.
Sedangkan yang dimaksud mazhab shahabi menunjuk pengertian pendapat hukum para
sahabat secara keseluruhan, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat,
baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah, di mana pendapat para sahabat tersebut
merupakan hasil kesepakatan di antara mereka.[8]
Yang dimaksudkan dengan sahabat,
menurut ulama’ ushul fiqh, adala “seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW,
dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang
panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan
khusus dengan Rasulullah SAW., sehingga secara adat dinamakan sebagai sahabat.”
Ada pula ulama yang mempersingkat identitas sahabat itu dengan “orang-orang
yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW, serta hidup bersamanya dalam
waktu yang cukup lama.”[9]
F. Kehujjahan Qaulu Shahabi
Dalam hal ini, terdapat empat
pandangan ulama’. Pertama, madzhab shahabi tidak dapat dijadikan dalil hukum. Inilah pendapat jumhur ulama Asy’ariyyah,
Mu’tazilah, Syi’ah, pendapat yang kuat di kalangan ulama’ Syafi’iyyah, salah
satu riwayat dari Ahmad, ulama’ muta’akhkhirin Hanafiyyah dan Malikiyyah.
Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh beberapa ulama’ Ibn Hazm. Alasan
pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a. Firman Allah pada surat al-Hasyr:2
“maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang
yang mempunyai wawasan.
Ayat ini, menuntut mereka, memerintahkan orang-orang yang memiliki nalar
untuk berijtihad menggunakan nalar, dan hal itu sekaligus melarang orang yang
memiliki kapasitas intelektual yang tinggi untuk bertaklid, apabila jika qaul ash-shahabi tersebut bertentangan dengan al-qiyas.
b. Ijma’ telah terjadi di kalangan
sahabat, bahwa di antara sesama sahabatboleh berbeda pendapat. Oleh karena itu,
pendapat mereka bukan merupakan hujjah.
c. Dari segi logika, para sahabat
termasuk golongan mujtahid juga. Sedangkan pendapat mujtahid mempunyai peluang
untuk salah dan lupa. Oleh karena itu, mujtahid dari generasi tabi’in dan sesudahnya tidak wajib
mengikuti qaul ash-shahabi.
d. Fakta sejarah menunjukkan, beberapa
sahabat mengakui hasil ijtihad tabi’in
yang berbeda dengan hasil ijtihad mereka. Hal ini tentu tidak akan terjadi,
jika memang qaul ash-shahabi
merupakan hujjah.
Kedua, memandang mazhab sahabat dapat dijadikan dalil hukum dan didahulukan
dari qiyas. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama’ Hanafiyyah,
Malik, qaul qadim al-Syafi’i dan
salah satu riwayat dari Ahmad. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa dalil
sebagai berikut:
a. Firman Allah SWT pada surat Ali
Imran:110
“kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Ayat ini ditujukan kepada para sahabat, sehingga menunjukkan bahwa apa
yang mereka perintahkan adalah yang baik. Sedangkan perintah yang baik wajib
diterima.
b. Sabda Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain:
Dari Nabi SAW, beliau bersabda: “sebaik-baik kamu (adalah yang hidup
pada) maaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”
c. Dari segi alasan logika, pendapat
sahabat dijadikan hujjah karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat mereka itu
berasal dari Rasulullah SAW.
Ketiga, mazhab sahabat dapat dijadikan alasan hukum bila dikuatkan
oleh qiyas. Inilah pandangan al-Syafi’i di dalam qaul jadid-nya. Keempat,
mazhab sahabat dapat dijadikan alasan
hukum bila kontroversi dengan qiyas, karena dengan kontroversi demikian
berarti ia bukan bersumber dari qiyas, tetapi dari sunnah. Pendapat ini
bersumber dari kalangan Hanafiyyah.[10]
Para ulama’ ushul fiqh sepakat
menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad
tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa
fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para
sahabat yang terkait dengan permasalahn yang tidak bisa dinalar logika atau
ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian, para ulama’ ushul fiqh juga
sepakat bahwa ijma’ sahabat secara jelas, atau ijma’ sahabat yang tidak
diketahui ada yang mengingkarinya, dapat dijadikan hujjah, seperti kakek berhak
menerima pembagian warisan seperenam harta yang ditinggalkan si mayat
(pewaris).[11]
IV.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yang
dimaksud dengan dzari’ah dalam ushul
fiqh ialah “sesuatu yang menjadi sarana kepada yang diharamkan atau dihalalkan.
“Jika terdapat sesuatu sebagai sarana kepada yang diharamkan (membawa
kerusakan/mufsadah), maka sarana
tersebut harus ditututp/dicegah, dan inilah yang disebut sad al-dzari’ah, sebagai lawan fath
adz-dzari’ah, yakni suatu sarana yang membawa kepada kemaslahatan. Adapun mazhab shahabi yaitu pendapat para
sahabat Rasulullah SAW, tentang suatu kasus, baik berupa fatwa atau ketetapan
hukum, sedangkan nas tidak menjelaskan hukum tersebut.
B. Saran
Dengan
adanya makalah ini, penulis berharap agar dapat memenuhi tugas mata kuliah Ushul
Fiqh dengan baik. Makalah ini disusun agar para pembaca dapat mengetahui tentang
Sadd Adz-Dzari’ah dan Qaulu Ash-Shahabi..
Agar
tidak terjadi kesalahan disarankan agar pembaca dapat mencari tahu lebih lanjut
dari sumber-sumber yang ada. Demikianlah makalah ini saya buat semoga
bermanfaat dan apabila ada kekurangan dan kesalahan saya mohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Rahman, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011).
Haroen,
Nasrun, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).
Rusli,
Nasrun, Konsep Ijtihad Al-Syaukani:
Relevansinya bagi PembaharuanHukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos,
1999).
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/al-dzari%E2%80%99ah-memahami-konsep-sadd-al-dzari%E2%80%99ah-dan-fath-al-dzari%E2%80%99ah/.
Diakses pada 21-09-14.
[1] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 160.
[2] Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah,2011), hlm. 236.
[3] Ibid, hlm. 236.
[8] Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 225.
[9] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 155-156.
[10] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi PembaharuanHukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 36.
[11] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 156.
0 komentar:
Post a Comment