September 18, 2015

Sadd Al Dzariah dan Qaul Ash Shahabi

SADD AL-DZARI’AH DAN QAUL ASH-SHAHABI

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqih

Disusun Oleh:
Nana Lutfiana                         (131311110)


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
MANAJEMEN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG

2014

I.                   PENDAHULUAN
Sejarah membuktikan, qaul ash-shahabi merupakan rujukan hukum mengenai peristiwa-peristiwa hukum yang baru terjadi setelah wafatnya Rasulullah SAW, yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah. Akan tetapi harus dikatakan, sebagaimana layaknya suatu komunitas masyarakat, tidak semua sahabat ahli dalam hukum Islam. Sedangkan yang sebagai objek hukum syara’, perbuatan yang merupakan adz-dzari’ah berperan sebagai jalan/media/perantara untuk mencapai tujuan hukum, dapat diberi predikat salah satu dari hukum taklifi  yang lima, yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang menjadi media menghasilkan kemaslahatan, diperintahkan. Sebaliknya, suatu perbuatan yang menjadi media menimbulkan mafsadah, maka ia dilarang.
II.                PERMASALAHAN
1.      Apa definisi Sadd Dzari’ah?
2.      Bagaimana kehujjahan Sadd Dzari’ah?
3.      Apa saja dasar hukum Sadd Dzaria’ah?
4.      Apa saja macam-macam Adz-Dzari’ah?
5.      Apa definisi Qoulu Shahabi?
6.      Bagaimana kehujjahan Qoulu Shahabi?


III.             PEMBAHASAN
A.    Definisi Sadd Dzari’ah
Secara etimologi, dzari’ah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu.” Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan.”[1] Sedangkan dalam pengertian ushul fiqh, yang dimaksud dengan adz-dzari’ah ialah, sesuatu yang merupakan media dan jalan untuk sampai kepada sesuatu yang berkaitan dengan hukum syara’, baik yang haram ataupun yang halal (yang terlarang atau yang dibenarkan), dan yang menuju ketaatan atau kemaksiatan.[2]
Yang dimaksud dengan sadd dzari’ah (makna generic: menutup jalan) ialah, mencegah sesuatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan al-mafsadah (kerusakan), jika ia akan menimbulkan mafsadah. Pencegahan terhadap mafsadah dilakukan karena ia bersifat terlarang. Sebagai contoh, pada dasarnya, menjual anggur adalah mubah (boleh), karena anggur adalah buah-buahan yang halal dimakan. Akan tetapi, menjual anggur kepada orang yang akan mengolahnya menjadi minuman keras menjadi terlarang. Perbuatan tersebut terlarang, karena akan menimbulkan mafsadah. Larangan tersebut untuk mencegah agar orang jangan membuat minuman keras, dan agar orang terhindar dari meminum minuman yang memabukkan, di mana keduanya merupakan mafsadah.[3]
B.     Kehujjahan Sadd Dzari’ah
Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd al-dzarỉ‘ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbâth al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd al-dzarỉ‘ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.[4]
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafi’i menggunakan sadd al-dzarỉ‘ah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (al-dzarỉ‘ah) kepada tindakan mencegah untuk memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga al-dzarỉ‘ah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun. Contoh kasus penggunaan sadd al-dzarỉ‘ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd al-dzarỉ‘ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah. Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd al-dzarỉ‘ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyû’ al-ajal).
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zhâhir al-lafzh). Sementara sadd al-dzarỉ‘ah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzarỉ‘ah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung. Contoh kasus penolakan kalangan al-Zhahiri dalam penggunaan sadd al-dzarỉ‘ah adalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (al-dzarỉ‘ah) bagi wanita untuk sekadar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.
C.     Dasar Hukum Sadd Dzari’ah
1.      Al-Qur’an
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. al-An’âm, 6: 108).
Pada ayat di atas, mencaci maki Tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki Tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd al-dzari’ah).[5]


2.      Sunnah
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu orang tua lelaki tersebut.”
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd adz-dzarỉ‘ah. Berdasarkan hadits tersebut, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd al-dzari’ah.
3.      Kaedah Fiqih
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (mashlahah).
Kaedah ini merupakan kaedah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaedah lain juga bersandar pada kaedah ini. Karena itulah, sadd al-dzarỉ‘ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd al-dzarỉ‘ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.
4.      Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut.
D.    Macam-macam Sadd Dzari’ah
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi-segi kualitas kemafsadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
1.      Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan Menurut Imam Abu Syatibi membagi Adzariah kepada 4 macam, yaitu:[6]
a.       Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan chariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya: menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik tumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikeni hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.
b.      Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kelau Dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya prbuatan yang dilarang.
Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuan keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya, menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, naun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk dioleh menjadi menuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan utnuk membunuh atau menyakiti orang lain.
c.       Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini berarti bila Dzariah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang dilarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya seirng dijadikan sarana untuk riba.
d.      Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang, dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya mengali lobang di kebun sendiri yang jarang di lalui orang, menurut kebiasaannya tida ada orang yang lewat di tempat tertutup kedalam lobang. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh ke dalam lobang.
2.      Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:[7]
a.       Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk. Perbuatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan.
b.      Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak, baik dengan sengaja, seperti nikah muhalli, atau tidak sengaja sepserti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidak boleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang.
c.       Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Seperti berhiasnya seseorang perempuan yang baru kematian dalam masa iddah, berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja suaminya mati dan masih dalam masa iddah keadaannya lain.
d.      Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada kerusasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.
*Metode penentuan hukum adz-dzari’ah
Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi sarana (al-dzarỉ‘ah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:
1.      Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan.  
2.      Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu harus dicegah.
E.     Definisi Qoulu Shahabi
Sebagian ulama ushul fiqh menyebut istilah qaulu shahabi dengan istilah “mazhab ash-shahabi”. Sebenarnya kedua istilah ini tidak persis sama maknanya. Sebab yang dimaksud dengan qaulu shahabi ialah, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seseorang atau beberapa orang sahabat Rasulullah SAW secara individu., tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuannya, baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan yang dimaksud mazhab shahabi menunjuk pengertian pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat, baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah, di mana pendapat para sahabat tersebut merupakan hasil kesepakatan di antara mereka.[8]
Yang dimaksudkan dengan sahabat, menurut ulama’ ushul fiqh, adala “seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW, dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah SAW., sehingga secara adat dinamakan sebagai sahabat.” Ada pula ulama yang mempersingkat identitas sahabat itu dengan “orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW, serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama.”[9]
F.      Kehujjahan Qaulu Shahabi
Dalam hal ini, terdapat empat pandangan ulama’. Pertama, madzhab shahabi tidak dapat dijadikan dalil hukum. Inilah pendapat jumhur ulama Asy’ariyyah, Mu’tazilah, Syi’ah, pendapat yang kuat di kalangan ulama’ Syafi’iyyah, salah satu riwayat dari Ahmad, ulama’ muta’akhkhirin Hanafiyyah dan Malikiyyah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh beberapa ulama’ Ibn Hazm. Alasan pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a.       Firman Allah pada surat al-Hasyr:2
“maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
Ayat ini, menuntut mereka, memerintahkan orang-orang yang memiliki nalar untuk berijtihad menggunakan nalar, dan hal itu sekaligus melarang orang yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi untuk bertaklid,  apabila jika qaul ash-shahabi tersebut bertentangan dengan al-qiyas.
b.      Ijma’ telah terjadi di kalangan sahabat, bahwa di antara sesama sahabatboleh berbeda pendapat. Oleh karena itu, pendapat mereka bukan merupakan hujjah.
c.       Dari segi logika, para sahabat termasuk golongan mujtahid juga. Sedangkan pendapat mujtahid mempunyai peluang untuk salah dan lupa. Oleh karena itu, mujtahid dari generasi tabi’in dan sesudahnya tidak wajib mengikuti qaul ash-shahabi.
d.      Fakta sejarah menunjukkan, beberapa sahabat mengakui hasil ijtihad tabi’in yang berbeda dengan hasil ijtihad mereka. Hal ini tentu tidak akan terjadi, jika memang qaul ash-shahabi merupakan hujjah.   
Kedua, memandang mazhab sahabat dapat dijadikan dalil hukum dan didahulukan dari qiyas. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama’ Hanafiyyah, Malik, qaul qadim al-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Ahmad. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa dalil sebagai berikut:
a.       Firman Allah SWT pada surat Ali Imran:110
“kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Ayat ini ditujukan kepada para sahabat, sehingga menunjukkan bahwa apa yang mereka perintahkan adalah yang baik. Sedangkan perintah yang baik wajib diterima.
b.      Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain:
Dari Nabi SAW, beliau bersabda: “sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) maaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”
c.       Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat mereka itu berasal dari Rasulullah SAW. 
Ketiga, mazhab sahabat dapat dijadikan alasan hukum bila dikuatkan oleh qiyas. Inilah pandangan al-Syafi’i di dalam qaul jadid-nya. Keempat, mazhab sahabat dapat dijadikan alasan hukum bila kontroversi dengan qiyas, karena dengan kontroversi demikian berarti ia bukan bersumber dari qiyas, tetapi dari sunnah. Pendapat ini bersumber dari kalangan Hanafiyyah.[10] 
Para ulama’ ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahn yang tidak bisa dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian, para ulama’ ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma’ sahabat secara jelas, atau ijma’ sahabat yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya, dapat dijadikan hujjah, seperti kakek berhak menerima pembagian warisan seperenam harta yang ditinggalkan si mayat (pewaris).[11]




IV.             PENUTUP
A.    Kesimpulan
Yang dimaksud dengan dzari’ah dalam ushul fiqh ialah “sesuatu yang menjadi sarana kepada yang diharamkan atau dihalalkan. “Jika terdapat sesuatu sebagai sarana kepada yang diharamkan (membawa kerusakan/mufsadah), maka sarana tersebut harus ditututp/dicegah, dan inilah yang disebut sad al-dzari’ah, sebagai lawan fath adz-dzari’ah, yakni suatu sarana yang membawa kepada kemaslahatan. Adapun mazhab shahabi yaitu pendapat para sahabat Rasulullah SAW, tentang suatu kasus, baik berupa fatwa atau ketetapan hukum, sedangkan nas tidak menjelaskan hukum tersebut. 

B.     Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis berharap agar dapat memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh dengan baik. Makalah ini disusun agar para pembaca dapat mengetahui tentang Sadd Adz-Dzari’ah dan Qaulu Ash-Shahabi..
Agar tidak terjadi kesalahan disarankan agar pembaca dapat mencari tahu lebih lanjut dari sumber-sumber yang ada. Demikianlah makalah ini saya buat semoga bermanfaat dan apabila ada kekurangan dan kesalahan saya mohon maaf.

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Rahman, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011).
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).
Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi PembaharuanHukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999).



[1] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 160.
[2] Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah,2011), hlm. 236.
[3] Ibid, hlm. 236.
[8] Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 225.
[9] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 155-156.
[10] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi PembaharuanHukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 36.
[11] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 156.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates