Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah
IJTIHAD KONTEMPORER MUHAMMADIYAH
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Umul Baroroh, M.Ag
Disusun oleh :
Akhlia Chairani (131311124
FAKULTAS DAKWAH DAN
KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO SEMARANG 2014
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ijtihad
berasal dari kata dasar jahada yang berarti “mencurahkan segala
kemampuan atau menanggung beban”. Ijtihad menurut arti bahasa, ialah usaha yang
optimal dan menanggung beban berat.
Nama
Muhammadiyah berasal dari kata bahasa Arab “Muhammad”. Berasal dari nama
Rasulullah saw., yang membawa agama Islam, yang berarti orang terpuji.
Sedangkan Muhammadiyah artinya ialah para pengikut Muhammad.[1]
Diberinya
organisasi Islam ini dengan nama Muhammadiyah adalah tepat, karena sesuai
dengan sifat maupun tujuannya, yaitu menghimpun kembali umat Islam untuk
mengikuti jejak langkah Nabi Muhammad saw.
Namun
bagi Muhammadiyah tidak hanya sekedar sebuah organisasi saja, tetapi lebih jauh
dari itu, adalah suatu pergerakan yang berciri tajdid di bidang hukum Islam,
yakni untuk mengembalikan Islam kepada kemurniannya serta Al-Hadits yang sahih,
adalah lain lagi masalahnya.[2]
B.
Rumusan Masalah
1.
Sejarah Ijtihad
Muhammadiyah ?
2.
Hakikat Ijtihad
dalam Muhammadiyah ?
3.
Lembaga Ijtihad
Muhammadiyah ?
4.
Metode Ijtihad
Muhammadiyah ?
5.
Tokoh-tokoh
Muhammadiyah ?
6.
Muhammadiyah
dan Beberapa Masalah Fiqih Kontemporer ?
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Ijtihad
Muhammadiyah
Bulan
Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1921 M) merupakan momentum
penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis
terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian
sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah
gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru,
yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman
Yogyakarta.[3]
Kata
Muhammadiyah secara bahasa berarti pengikut Nabi Muhammad. Penggunaan kata
“Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan
jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi
Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: “Dengan nama itu dia
bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad,
dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. dan tujuannya aialah
memahami dan melaksanakan agama Islam dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang
kemauan agama Islam. dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat
memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya”.
Berdirinya
Muhammadiyah adalah dalam masa pancaroba yang sulit dibayangkan pada masa
setelah 40 tahun kemerdekaan Indonesia.[4] Kelahiran dan keberadaan
Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan manifestasi dari
gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis)
yang menjadi pendirinya.
Kelahiran
Muhammadiyah melekat pada sikap, pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya,
yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan,
sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan
Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan sebagai para pembaru Islam dari
keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid
(pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (aqidah), ibadah, mu’amalah, dan
pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam.
Kyai
Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan
cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang
sejati, berfikir mana yang benar dan mana yang salah, tidak taklid dan fanatik
buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal pikirannya
tentang hakikat kehidupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus berpikir
praktik.
Kyai
Dahlan tidak ingin umat Islam taklid dalam beragama, juga tertinggal dalam
kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke
hal-hal yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal
pikiran dan ijtihad.
Adapun
faktor-faktor pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah :[5]
1.
Umat Islam
tidak memegang teguh tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan
merajalelanya syirik, bid’ah, dan khufarat, yang mengakibatkan umat Islam tidak
merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam
tidak memancarkan sinar kemurniaannya lagi.
2.
Ketiadaan
persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah
islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat.
3.
Kegagalan dari
sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam,
karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman.
4.
Umat Islam
kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta
berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan
tradisionalisme.
5.
Dan karena
keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta
berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin
menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat.
Dari
uraian diatas, dapat disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena
alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut:
1.
Membersihkan
Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam
2.
Reformulasi
doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern
3.
Reformulasi
ajaran dan pendidikan Islam, dan
4.
Mempertahankan
Islam dari pengaruh dan serangan luar.
Kelahiran
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam melalui sistem organisasi, juga memperoleh
rujukan teologis debagaimana tercemin dalam pemaknaan atau penafsiran Surat Ali
Imran ayat ke-104, yang memerintahkan adanya “sekelompok orang untuk
mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
munkar”.
B.
Hakikat Ijtihad
dalam Muhammadiyah
Muhammadiyah
dikenal sebagai gerakan tajdid. Identitas ini semakin ditonjolkan
setelah muktamar Muhammadiyah ke empat puluh dua di Yogyakarta tahun 1990. Salah
satu putusan muktamar yang berhubungan dengan identitas Muhammadiyah itu adalah
menetapkan adanya ketua bidang tajdid, yang dalam struktur kepengurusan
sebelumnya tidak pernah ada. Dengan demekian resmi Muhammadiyah menyebut
dirinya sebagai gerakan tajdid.
Adapun
rumusan tajdid yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut:[6]
a.
Pemurnian,
b.
Peningkatan,
pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam
arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran islam
yang berdasarkan dan bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam
arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”,
tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam
dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Untuk
melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan
aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih,
yang dijiwai oleh ajaran Islam.
Rumusan
tajdid di atas mengisyaratkan, bahwa dalam Muhammadiyah ijtihad dapat dilakukan
terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber
utama ajaran islam, Al-Qur’an dan Hadits, dan terhadap kasus yang terdapat
dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam bentuknya yang kedua dilakukan dengan
cara menafsirkan kembali Al-Qur’an dan Hadits sesuai dengan kondisi masyarakat
sekarang ini. Pada prinsipnya Muhammadiyah mengakui peranan akal dalam memahami
Al-Qur’an dan Hadits. Namun kata-kata yang dijiwai ajaran Islam memberi kesan
bahwa akal cukup terbatas dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul
sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam memahami nash Al-Qur’an dan Hadits.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa jika pemahaman akal berbeda dengan
kehendak zhahir nash, maka kehendak nash harus didahulukan dari pada pemahaman
akal.
Sedangkan
dalam masalah-masalah termasuk al-umur al-dunyawiyyat. Konsekwensi nya
adalah Muhammadiyah menerima istilah masalah-masalah yang berhubungan dengan
akhirat. Hal ini mengesankan adanya dikotomi antara masalah keduniaan yang
bersifat profan di satu pihak Dn
masalah-masalah keakhiratan yang bersifat sakral di pihak lain. Namun dikotomi
itu tidak dijelaskan secara eksplisit oleh Muhammadiyah. Yang ada dalam konsep
dasar Muhammadiyah adalah dibedakan antara mas’alah dunyawiyah di satu
pihak dan masalah ibadah di pihak lain.
Dalam
lapangan atau ruang lingkup ijtihad, Muhammadiyah berpendapat nahwa ijtihad,
dalam arti menyelesaikan masalah dan mengkaji ulang, hanya berlaku dalam bidang
fiqih saja. Masalah aqidah termasuk masalah yang tidak boleh diijtihadkan lagi,
apalagi jika dikaji secara rasional. Salah satu upaya yang ditawarkan
Muhammadiyah dalam menyelesaikan masalah-masalah kontemporer adalah
digiatkannya cara memahami Al-Qur’an dan Hadits melalui pendekatan
interdisipliner. Dapat difahami bahwa ijtihad dalam Muhammadiyah dapat
diartikan upaya menyelesaikan masalah yang secara eksplisit tidak terdapat
dalam Al-Qur’an dan Hadits, atau sebagai upaya reinterpretasi dan
kontekstualisasi ajaran dasar islam, Al-Qur’an dan Hadits.
C.
Lembaga Ijtihad
Muhammadiyah
Ijtihad
dapat dilakukan secara individual dan dapat pula secara kolektif. Muhammadiyah
memilih ijtihad dalam bentuknya yang kedua. Hal ini dapat dilihat dengan
dibentuknya sebuah lembaga yang disebut Majlis Tarjih atau Lajnah Tarjih.
1.
Tugas Pokok
Majlis Tarjih
Sejak
didirikannya pada tahun 1928 sampai sekarang, tugas Majlis Tarjih telah
mengalami perkembangan dan perubahan. Majlis ini hanya membahas dan memutuskan
masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil pendapat
yang dianggap kuat dalilnya. Tugas utama ini perlu dilakukan oleh Majlis
Tarjih, ketika lembaga ini didirikan, karena masalah khilafiyat sudah
begitu meruncing. Kalau tidak diselesaikan, warga Muhammadiyah sendiri akan
mengalami perselisihan yang tajam. Tugas utama Majlis Tarjih pada aawalnya
hanya membuat tuntunan atau pedoman bagi warga Muhammadiyah, terutama mengenai
pelaksanaan ibadah.
Semakin
banyak tugas yang harus dilaksanakan oleh Majlis Tarjih, maka Pimpinan Pusat
Muhammdiyah pada tahun 1971 telah menetapkan Qaidah Lajnah Tarjih. Dalam pasal
2 Qaidah tersebut disebutkan, bahwa tugas Lajnah Tarjih adalah sebagai berikut:
a.
Menyelidiki dan
memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya.
b.
Menyusun
tuntuna ‘Aqidah, Akhlaq, Ibadah dan Mu’amalah Dunyawiyyah.
c.
Memberi fatwa
dan nasihat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri memandang perlu.
2.
Kualifikasi
Anggota Lajnah Tarjih
Ijtihad
dalam berbagai masalah kontemporer merupakan tugas yang tidak mudah, maka orang
yang ikut serta dalam pembahasan tersebut seharusnya memenuhi kualifikasi
ijtihad. [7]
Muhammadiyah
melalui Qaidah Lajnah Tarjihnya telah menetapkan persyaratan bagi peserta
musyawarah tarjih dan anggota lajnah tarjih. Secara umum, dalam Pasal 4 ayat
(1) Qaidah Lajnah Tarjih, disebutkan bahwa syarat anggota Lajnah Tarjih adalah
“Ulama (laki-laki atau perempuan) anggota persyarikatan yang mempunyai
kemampuan bertarjih”. Yang dimaksud dengan ulama disini adalah ulama dalam
pengertian khusus, yaitu ahli dalam bidang agama Islam. Hal ini dapat dilihat
dengan ungkapan berikutnya “yang mempunyai kemampuan bertarjih”. Tentu yang
dimaksud dengan bertarjih disini adalah melakukan kegiatan di bidang istinbath
hukum atau lebih tegas lagi berijtihad. Itulah yang dimaksud oleh warga
Muhammadiyah harus mampu “membaca kitab kuning”, paling tidak dapat membaca dan
memahami kitab Subulu al-Salam.
D.
Metode Ijtihad
Muhammadiyah
Muhammadiyah
merupakan gerakan dakwah islam yang menekankan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai
sumber ajaran, nahi munkar sebagai
tema perjuangan, dan baldatun thayyibatun
warabbun ghafur sebagai cita-cita. Tarjih merupakan majelis yang memiliki
tugas untuk memberi fatwa agar diamalkan oleh warga Muhammadiyah pada
khususnya, dan umat Islam Indonesia pada umumnya. Tarjih, sebagai majelis tentu
akan tumbuh dan berkembang seirama dengan dinamika persyarikatan Muhammadiyah
dalam melintasi sejarah perjuangan bangsa.[8]
Muhammadiyah
dalam berijtihad menggunakan metode saddu Al-Zariat. Tujuan penggunaan metode
ini adalah untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah untuk kemaslahatan
manusia.
Dari
uraian tersebut di atas dapat difahami, bahwa Muhammadiyah dalam berijtihad
menempuh tiga jalur, yaitu:[9]
a)
Al-Ijtihad
al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash
Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam
aliran Hanafiah, Bayan (penjelasan) dibedakan dalam lima macam, yaitu:
a.
Bayan Taqrir
Bayan
Taqrir adalah penjelasan dalam rangka mengungkapkan suatu makna dengan
dasar-dsar lain yang memberikan tambah jelasnya yang di maksud, baik makna
kata-kata maupun ungkapan dalam nash atau dalil. Contohnya kata-kata dalam
surat Shad ayat 73:
Artinya:
“lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya”
Kata
“malaikat” mengandung kata umum “seluruh malaikat” yaitu ditegaskan dengan “kulluhum
ajma’in” (seluruhnya).
b.
Bayan Tafsir
Bayan
Tafsir adalah penjelasan suatu lafazh atau kata-kata, sehingga nash tersebut
menjadi lebih jelas yang dimaksud. Seperti menafsirkan kata-kata yang mujmal
menjadi mufshal, kata-kata yang tersembunyi makna dan maksudnya, sehingga
menjadi jelas yang dimaksud. Termasuk juga lafazh-lafazh musykil, yaitu lafazh
yang sulit diartikan menjadi lafazh yang dapat dicari makna yang dimaksud.
Termasuk pula dalam bayan tafsir ini adalah mencari penjelasan lafazh yang
mengandung makna ganda (musytarak), sehingga dapat ditentukan makna yang
diambil untuk menentukan hukum suatu nash. Bayan Tafsir juga dapat dilakukan
pada kata-kata yang termasuk kualifikasi dallat-u ‘l-iqtidla’.
Penjelasan
tafsir disini adalah mencari secara detail terhadap makna yang dimaksud dengan
lafazh-lafazh tersebut. Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 43.
Kata-kata dalam ayat itu mujmal, perlu penjelasan. Maka sabda Nabi SAW:
“Shalatlah
engkau sekalian, seperti engkau melihat aku shalat.
c.
Bayan Taghyir
Bayan
Tagyir adalah keterangan-keterangan yang mengubah makna yang zhahir menjadi
makna yang dituju, seperti kata-kata yang mengandung pengecualian atau
istisna’. Dalam hal ini usaha yang dilakukan adalah mencari mukhashshish dari
makna umum tadi. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam thuruq-u ‘listinbath
adanya takhsis itu berupa kata-kata dan bukan kata-kata.[10]
Ø Bi ‘il-Kalam (berupa kata-kata)
Yang
berupa kata-kata itu bisa berupa kata-kata yang berdiri sendii dan bersambung
yang disebut mustaqil dan muttashil dan juga ghairu muttashil. Artinya
kata-kata yang tidak berdiri sendiri dan bersambung seperti:
1)
Istitsna’,
contoh ayat 106 surat al-Nahl, bahwa orang kafir akan mendapatkan murka Allah,
kecuali kekafirannya itu dipaksa. Sedangkan batinnya tetap beriman.
2)
Badal ba’ad min
al-kull, contohnya ayat 97 surat Ali Imran, bahwa Allah mewajibkan setiap orang
untuk menunaikan ibadah haji, hanya saja maksudnya orang yang mempunyai
kemampuan.
3)
Sifat,
contohnya ayat 25 surat al-Nisa, mengandung kebolehan mengawini budak wanita
yang beriman, bukan semua budak beriman.
4)
Kata-kata
syarat, contohnya ayat 228 surat al-Baqarah, bahwa suami yang telah
mencerainya, dimasa iddah lebih berhak merujuk istrinya, bila memang maksud
baik.
5)
Ghayah,
contohnya ayat 15 surat al-Isra bahwa Allah akan menyiksa kaum yang berbuat
bertentangan dengan agama, sampai mereka (ummat atau kaum) itu telah dapat
dakwah ajakan Rasul.
Ø Ghairu Kalam (tidak berupa kata-kata)
Ghairu
kalam takhsis kata-kata umum yang tidak berupa kata-kata. Itu bisa berupa
logika yang logis, bisa berupa adat kebiasaan.
Pada
bayan Taghyir ini juga bisa berupa penjelasan tentang kata-kata yang mutlaq
menjadi muqayyad. Dalam hal ini usaha mencari muqayyid dari lafazh mutlaq,
sehinggga menjadi jelas yang dimaksud. Seperti dalam ayat 2 surat al-Maidah,
bahwa Allah mengharamkan darah dan dalam ayat 145 surat al-an’am, Allah
menyebutkan yang di haramkan itu darah yang mengalir (dam masfuhan), yang
disebut lafazh muqayyad. Mencari keterangan apakah satu lafazh itu muqayyad
atau tidak, termasuk ijtihad bayani dengan bayan taghyir.
d.
Bayan Tabdil
Bayan
Tabdil adalah usaha mencari penjelasan dengan jalan nasakh. Maksudnya, mencari
apakah ada nasik-mansukh dalam hukum masalah yang dicari oleh seorang mujtahid.
Masalah nasikh-mansukh itu terutama diperlukan dalam dalil sunnah, karena dalam
al-Qur’an akhir-akhir ini berkembang lagi pendapat yang menanggapi tidak adanya
nasikh-mansukh itu adalah pada ayat-ayat yang terdapat pada kitab-kitab
sebelumnya al-Qur’an. Nasik-mansukh dalam al-Qur’an bukanlah menghapus ayat
terhadap ayat lain, tetapi mentakhsisikan ayat yang bermaksud umum oleh
ayat-ayat terhadap ayat lain, tetapi ada nasikh-mansukh pada sunnah atau
al-hadits. Seperti contoh nabi SAW dahulu melarang ziarah kubur, yang kemudia
membolehkannya, yang terkenal dalam sabdanya yang berbunyi: “Dahulu saya
melarang engkau sekalian untuk ziarah kubur, berziarah kuburlah kamu sekarang”
(HR.Ibnu Majah).
e.
Bayan dlarurah
Bayan
Dlalurah adalah keterangan yang tidak disebutkan, tetapi tidak boleh tidak
harus diungkapkan. Bayan ini tidak berupa kata-kata, tetapi sesuatu yang
didiamkan. Bayan Dlalurah itu ada 4 macam, yaitu:
Ø Sesuatu yang didiamkan tetapi sebetulnya harus diucapkan. Seperti
firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 11:
Artinya:
“Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika yang meninggal
tidak mempunyai dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga”.
Ø Petunjuk keterangan diamnya seseorang yang berfungsi memberi
penjelasan atau keterangan menunjukkan keizinan, seperti diamnya Nabi SAW waktu
menyaksikan perbuatan sahabat. Hal itu mengandung keterangan keizinan Nabi
terhadap perbuatan tersebut. Seperti penjelasan Nabi SAW tentang diamnya
seseorang anak gadis ketika ditanya oleh orangtuanya untuk dinikahkan, diamnya
anak itu dianggak setuju.
Ø Penjelasan tentang diamnya seseorang dianggap untuk menghindari
adanya tipuan. Seperti diamnya wali atau pengampu atas anak yang diampunya
melakukan akad jual beli. Untuk menghindari kerugian bagi orang lain,
didasarkan sabda Nabi SAW.
Ø Keterangan sesuatu yang didiamkan atau tidak disebutkan, tetapi
mengandung sesuatu penjelasan yang disebutkan kebiasaan orang arab
menghitungnya.
b)
Al-Ijtihad
al-Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru, dengan cara menganalogikannya dnegan
kasus yang hukumnya telah diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Ijtihad
ini dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya
secara langsung, seperti menghisap ganja. Tetapi ada nash al-Qur’an maupun
al-sunnah yang menunjukkan keharaman zat sejenis, seperti keharaman khamr.
Dengan
mendasarkan masalah yang akan dicari hukumnya, menghisap ganja itu, tidak
didapati pada al-Qur’an maupun al-sunnah, yang ada kesamaan adalah larangan
al-Qur’an tentang khamr. Menyamakan hukum keharaman ganja dengan hukum
keharaman khamr, menurut ahli ushul disebut menetapkan hukum berdasarkan qiyas
(analogi, menurut ilmu logika atau mantiq). Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan
metode ini dapat saja dilakukan dengan nama Ijtihad Qiyasi.
c)
Al-Ijtihad
al-Istishlahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat
dalam kedua sumber hukum diatas, dengan cara menggunakan penalaran yang
didasarkan atas kemaslahatan. Ijtihad ini dapat ditempuh dengan beberapa metode
yaitu:
1)
Metode Istihsan
Mengecualikan
dari qiyas yang berdasar illah jail menggunakan qiyas khafi, mengecualikan dari
nash umum yang melarang dengan membolehkannya karena adanya kemaslahatan yang
akan dicapai atas dasar darurat maupun menghindari kesempitan.
2)
Metode Sadd-u
‘l-dzari’ah
Yaitu
kebalikan dari ihtisan, dalam nash membolehkan sesuatu itu. Tetapi kalau
dibolehkan itu dibuka sama sekali dalam kondisi tertentu akan membawa mafsadah
(kerusakan) makapatut dilarang, dengan dasar sad-u’l-dzari’ah. Artinya menutup
sesuatu (yang dibolehkan) yang dapat menuju kerusakan.
3)
Metode Istislah
Yakni
mencari ketentuan suatu masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya berdasarkan
nash, baik yang melarang atau memerintah (menyuruh), dengan dasar kemaslahatan
yang akan dicapai. Kemaslahatan yang ingin dicari itu disebut mashlahah
mursalah. Ijtihad dalam hal ini adalah melakukan penelitian sejauh mana
maslahah yang akan dicapai dan mafaadah yang akan terdapat, apabila ada juga
penelitian terhadap nash, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah, yang menyebutkan
untuk dicapai suatu mashlahah atau mafsadat yang harus dihindari.
4)
Menetapkan
hukum sesuatu, didasarkan pada kebiasaan ('urf) yang telah ada, berlaku
mendatangkan manfaat dan tidak dilarang oleh nash serta tidak mendatangkan
mafsadah yang lebih besar.
5)
Ijtihad dalam
menafsirkan ayat kauniyah. Ijtihad ini menafsirkan ayat yang mengandung
ketentuan sunnatullah, yang berupa gejala alam yang disebut kauniyah ini dapat
dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
E.
Tokoh-Tokoh
Muhammadiyah dari Masa ke Masa
1.
KH. Ahmad
Dahlan, awal jabatan 1912, akhir jabatan 1923.
2.
KH. Ibrahim,
awal jabatan 1923, akhir jabatan 1932.
3.
KH. Hisyam,
awal jabatan 1932, akhir jabatan 1936.
4.
KH. Mas Mansur,
awal jabatan 1936, awal jabatan 1942.
5.
Ki Bagoes
Hadikoesoemo, awal jabatan 1942, akhir jabatan 1953.
6.
Buya AR Sutan
Mansur, awal jabatan 1953, akhir jabatan 1959.
7.
KH. M Yunus
Anis, awal jabatan 1959, akhir jabatan 1962.
8.
KH. Ahmad
Badawi, awal jabatan 1962, akhir jabatan 1968.
9.
KH. Faqih
Usman, awal jabatan 1968, akhir jabatan 1971.
10.
KH. AR.
Fachruddin, awal jabatan 1971, akhir jabatan 1990.
11.
KH. A. Azhar
Basyir, awal jabatan, 1990, akhir jabatan 1995.
12.
Prof. Dr. H.
Amien Rais, awal jabatan 1995, akhir jabatan 2000.
13.
Prof. Dr. H.
Ahmad syafi’i Ma’arif, awal jabatan 2000, akhir jabatan 2005.
14.
Prof. Dr. H.
Din Syamsuddin, awal jabatan 2005 sampai sekarang dan habis masa jabatannya
tahun 2015.[11]
F.
Muhammadiyah
dan Beberapa Masalah Fiqih Kontemporer
· Bidang Kedokteran dan Rekayasa Manusia
Ø Keluarga Berencana
Tahun
1970 pemerintah membentuk lembaga yang disebut Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN).
Keputusan
yang diambil Majlis Tarjih Muhammadiyah mengenai hukum mengikuti program
Keluarga Berencana ini adalah bahwa meskipun pada dasarnya menjarangkan atau
membatasi kelahiran itu tidak dibenarkan, namun dalam keadaan darurat tindakan
itu dapat dibenarkan.
Bagi
muhammadiyah darurat yang dapat dijadikan dasar bolehnya melakukan penjarakan
dan penundaan kehamilan dalam mengikuti program Keluarga Berencana adalah
sebagai berikut:
a)
Mengkhawatirkan
keselamatan jiwa atau kesehatan ibu karena mengandung atau melahirkan, bila hal
itu diketahui dengan pengalaman atau keterangan dokter yang dapat dipercaya.
b)
Mengkhawatirkan
keselamatan agama, akibat faktor-faktor kesempitan penghidupan, seperti
kekhawatiran akan terseret menerima hal-hal yang haram atau menjalankan atau
melanggar larangan agama karena didorong oleh kepentingan anak-anak.
c)
Mengkhawatirkan
kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran terlalu dekat.
· Bidang Ekonomi dan Keuangan
Lembaga
keuangan, baik bank maun bukan bank, semakin banyak jumlahnya. Keberadaannnya
tidak dapat dipisahkan dari masalah ekonomi umat manusia secara keseluruhan.
Sistem dan mekanisme lembaga-lembaga tersebut diatur sedemikian rupa, sehingga
berfungsi sebagai sarana penghubung anatar pemilik modal di satu pihak dan
pengusaha atau pengguna modal di pihak lain.
Muhammadiyah
telah menyoroti dan membahas masalah-masalah tersebut dipandang dari segi ilmu
fiqih. Berikut ini akan dibahas hasil ijtihad Muhammadiyah tentang bunga bank
dan asuransi.[12]
Ø Bunga Bank
Bank
bertujuan untuk mencari keuntungan. Kegiatan yang dilakukan oleh bank di
antaranya adalah menyediakan dan menjual uang sebagai barang dagangannya dan
menjual jasa. Bank dapat dikatakan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya
adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang.
Keadaan
dan fungsi uang tidak beda dari barang atau alat-alat produksi lainnya.
Kelebihan uang diabndingkan barang-barang lainnya adalah karena uang berfungsi
sebagai alat tukar yang mempunyai sifat likuiditas dan merupakan ukuran nilai
barang. Karena itu uang juga dapat dibeli atau disewakan dengan membayar sewa
yang disebut uang jasa atau bunga.
Muhammadiyah
membahas masalah bunga bank dan lembaga keuangan pada umumnya. Muhammadiyah
menyadari bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang baru, belum ada pada masa
awal Islam.
Ø Asuransi
Dalam
kitab Undang-undang Hukum Dagang, asuransi
dirumuskan sebagai: “Sesuatu persetujuan dalam mana pihak yang
menanggung berjanji terhadap pihak yang ditanggung untuk menerima sejumlah
premi mengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh pihak yang ditanggung,
sebagai akibat suatu peristiwa yang belum terang akan terjadinya”. Dari rumusan
tersebut dapat dipahami bahwa dalam asuransi terlihat dua pihak, yaitu penanggung
dan tertanggung. Pihak pertama biasanya berwujud lembaga atau perusahaan
asuransi, sedangkan pihak kedua adalah orang yang akan menderita karena suatu
peristiwa yang belum terjadi. Sebagai kontra prestasi dari pertanggungan ini
pihak tertanggung diwajibkan membayar uang premi kepada pihak penanggung.
Ada
berbagai asuransi, diantaranya asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Asuransi
kerugian berhubungan dengan risiko-risiko selain terdapat pada jiwa, seperti
asuransi kebakaran, kecelakaan dan lain-lain. Sedangkan asuransi jiwa ialah
asuransi di mana yang dipertanggungkan di dalamnya adalah kerugian-kerugian
ekonomi atau keuangan sebagai akibat hilangnya jiwa atau karena usia lanjut.
Disadari
Muhammadiyah bahwa asuransi merupakan bentul mu’amalah yang baru. Karen aitu
masalahnya menjadi mas’alat ijtihadiyat. Dalam maslah ini Muhammadiyah
berpendapat, bahwa asuransi itu hukumnya mubah, apabila asuransi itu bersifat
sosial. Sedangkan asuransi yang mengandung unsur-unsur riba, judi dan penipuan
hukumnya haram. Adapun unsur riba yang terdapat dalam asuransi, menurut
Muhammadiyah, adalah adanya kelebihan penerimaan jumlah santunan dari pada
pembayaran premi. Sedangkan unsur judi yang terdapat dalam asuransi, menurut
pengamatannya ialah adanya sifat untung-untungan bagi tertanggung yang menerima
jumlah tanggungan yang lebih besar dari pada premi atau sebaliknya, penanggung
akan menerima keuntungan, jika dalam masa pertanggungan tidak terjadi peristiwa
yang telah ditentukan dalam perjanjian.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Muhammadiyah
lahir pada Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November
1921 M). Pendiri Muhammadiyah yaitu KH. Ahmad Dachlan. Adapun faktor-faktor
pendorong lahirnya Muhammadiyah diantaranya yaitu : Umat Islam tidak memegang
teguh tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya
syirik, bid’ah, dan khufarat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan
golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak
memancarkan sinar kemurniaannya lagi.
Lembaga
Ijtihad Muhammadiyah dibentuknya sebuah lembaga yang disebut Majlis Tarjih atau
Lajnah Tarjih.
Tokoh-tokoh
Muhammadiyah: KH. Ahmad Dahlan, KH. Ibrahim, KH. Hisyam, KH. Mas Mansur, Ki
Bagoes Hadikoesoemo, Buya AR Sutan Mansur, KH. Ahmad Badawi, KH. M Yunus Anis,
KH. Faqih Usman, KH. AR. Fachruddin, dan seterusnya.
Muhammadiyah
dalam berijtihad menggunakan metode saddu Al-Zariat. Tujuan penggunaan metode
ini adalah untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah untuk kemaslahatan
manusia.
Muhammadiyah membahas masalah fiqih
kontemporer yaitu: pertama, bidang kedokteran dan rekayasa sosial yang kedua,
bidang ekonomi dan keuangan.
B.
SARAN
Demikian
makalah ini penulis susun, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini tentunya
masih banyak kekurangan baik dari segi materi maupun segi tata bahasa. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna
evaluasi kedepannya. Semoga dibalik ketidaksempurnaan yang ada, makalah ini
tetap dapat memberikan manfaat yang baik bagi kita semua, Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, Umar.
Muhammadiyah Jalan Lurus. Surabaya: IKAPI. 1990.
http://www.muhammadiyah.or.id/content-178-det-sejarah-singkat.html.
tanggal 24 september 2014. Pukul 21:19.
http://yuliastuti90.blogspot.com/2012//11/metode-ijtihad-dalam-manhaj-tarjih.html.
tanggal 29 september 2014. Pukul 20:10.
Imampuro, Rachmat. Mengungkap Da’wah KH. Ahmad Dachlan dan KH.
Hasyim Asy’ari. Semarang: Badan Penerbit Fakultas Da’wah. 1982.
Jamil, Fathurrahman. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta:
Logos Publishimg House. 1995.
Karim, M. Rusli. Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar. Jakarta:
Rajawali. 1986.
Soeratno,
Siti Chamamah. Al-Muhammadiyah sebagai Gerakan Seni dan Budaya. Jakarta:
Pustaka Pelajar. 2009.
[1]
Drs. Rachmat Imampuro, Mengungkap Da’wah KH. Ahmad Dachlan dan KH. Hasyim
Asy’ari (Semarang: Badan Penerbit Fakultas Da’wah, 1982), hlm.39
[2]
Umar Hasyim, Muhammadiyah Jalan Lurus (Surabaya: IKAPI, 1990), hlm.5
[4]
M. Rusli Karim, Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar (Jakarta:Rajawali, 1986)
hal. 95
[6]
Fathurrahman Jamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta:Logos
Publising House, 1995), hlm.58
[7]
Fathurrahman Jamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta:Logos
Publising House, 1995), hlm. 67
[8]
Prof. DR. Hj. Siti Chamamah Soeratno, et. Al. Muhammadiyah sebagai gerakan seni
dan budaya:suatu warisan intelektual yang terlupakan. Pustaka Pelajar, 2009,
hal. 31
[9]
Fathurrahman Jamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta:Logos
Publising House, 1995), hlm.78
[11]
Drs. Rachmat Imampuro, Mengungkap Da’wah KH. Ahmad Dachlan dan KH. Hasyim
Asy’ari (Semarang: Badan Penerbit Fakultas Da’wah, 1982), hlm. 20
[12]Fathurrahman
Jamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta:Logos Publising
House, 1995), hlm.120
0 komentar:
Post a Comment