September 16, 2015

Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah

IJTIHAD KONTEMPORER MUHAMMADIYAH
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Umul Baroroh, M.Ag
Disusun oleh :
  Akhlia Chairani              (131311124
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO SEMARANG 2014
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Ijtihad berasal dari kata dasar jahada yang berarti “mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban”. Ijtihad menurut arti bahasa, ialah usaha yang optimal dan menanggung beban berat.
Nama Muhammadiyah berasal dari kata bahasa Arab “Muhammad”. Berasal dari nama Rasulullah saw., yang membawa agama Islam, yang berarti orang terpuji. Sedangkan Muhammadiyah artinya ialah para pengikut Muhammad.[1]
Diberinya organisasi Islam ini dengan nama Muhammadiyah adalah tepat, karena sesuai dengan sifat maupun tujuannya, yaitu menghimpun kembali umat Islam untuk mengikuti jejak langkah Nabi Muhammad saw.
Namun bagi Muhammadiyah tidak hanya sekedar sebuah organisasi saja, tetapi lebih jauh dari itu, adalah suatu pergerakan yang berciri tajdid di bidang hukum Islam, yakni untuk mengembalikan Islam kepada kemurniannya serta Al-Hadits yang sahih, adalah lain lagi masalahnya.[2]

B.  Rumusan Masalah
1.    Sejarah Ijtihad Muhammadiyah ?
2.    Hakikat Ijtihad dalam Muhammadiyah ?
3.    Lembaga Ijtihad Muhammadiyah ?
4.    Metode Ijtihad Muhammadiyah ?
5.    Tokoh-tokoh Muhammadiyah ?
6.    Muhammadiyah dan Beberapa Masalah Fiqih Kontemporer ?
PEMBAHASAN
A.  Sejarah Ijtihad Muhammadiyah
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1921 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.[3]
Kata Muhammadiyah secara bahasa berarti pengikut Nabi Muhammad. Penggunaan kata “Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: “Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. dan tujuannya aialah memahami dan melaksanakan agama Islam dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya”.
Berdirinya Muhammadiyah adalah dalam masa pancaroba yang sulit dibayangkan pada masa setelah 40 tahun kemerdekaan Indonesia.[4] Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan manifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya.
Kelahiran Muhammadiyah melekat pada sikap, pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan sebagai para pembaru Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam.
Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang sejati, berfikir mana yang benar dan mana yang salah, tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal pikirannya tentang hakikat kehidupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus berpikir praktik.
Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid dalam beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal pikiran dan ijtihad.
Adapun faktor-faktor pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah :[5]
1.    Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khufarat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniaannya lagi.
2.    Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat.
3.    Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman.
4.    Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.
5.    Dan karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut:
1.    Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam
2.    Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern
3.    Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam, dan
4.    Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar.
Kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam melalui sistem organisasi, juga memperoleh rujukan teologis debagaimana tercemin dalam pemaknaan atau penafsiran Surat Ali Imran ayat ke-104, yang memerintahkan adanya “sekelompok orang untuk mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar”.

B.  Hakikat Ijtihad dalam Muhammadiyah
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan tajdid. Identitas ini semakin ditonjolkan setelah muktamar Muhammadiyah ke empat puluh dua di Yogyakarta tahun 1990. Salah satu putusan muktamar yang berhubungan dengan identitas Muhammadiyah itu adalah menetapkan adanya ketua bidang tajdid, yang dalam struktur kepengurusan sebelumnya tidak pernah ada. Dengan demekian resmi Muhammadiyah menyebut dirinya sebagai gerakan tajdid.
Adapun rumusan tajdid yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut:[6]
a.    Pemurnian,
b.    Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam.
Rumusan tajdid di atas mengisyaratkan, bahwa dalam Muhammadiyah ijtihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber utama ajaran islam, Al-Qur’an dan Hadits, dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam bentuknya yang kedua dilakukan dengan cara menafsirkan kembali Al-Qur’an dan Hadits sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya Muhammadiyah mengakui peranan akal dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits. Namun kata-kata yang dijiwai ajaran Islam memberi kesan bahwa akal cukup terbatas dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam memahami nash Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa jika pemahaman akal berbeda dengan kehendak zhahir nash, maka kehendak nash harus didahulukan dari pada pemahaman akal.
Sedangkan dalam masalah-masalah termasuk al-umur al-dunyawiyyat. Konsekwensi nya adalah Muhammadiyah menerima istilah masalah-masalah yang berhubungan dengan akhirat. Hal ini mengesankan adanya dikotomi antara masalah keduniaan yang bersifat profan di satu  pihak Dn masalah-masalah keakhiratan yang bersifat sakral di pihak lain. Namun dikotomi itu tidak dijelaskan secara eksplisit oleh Muhammadiyah. Yang ada dalam konsep dasar Muhammadiyah adalah dibedakan antara mas’alah dunyawiyah di satu pihak dan masalah ibadah di pihak lain.
Dalam lapangan atau ruang lingkup ijtihad, Muhammadiyah berpendapat nahwa ijtihad, dalam arti menyelesaikan masalah dan mengkaji ulang, hanya berlaku dalam bidang fiqih saja. Masalah aqidah termasuk masalah yang tidak boleh diijtihadkan lagi, apalagi jika dikaji secara rasional. Salah satu upaya yang ditawarkan Muhammadiyah dalam menyelesaikan masalah-masalah kontemporer adalah digiatkannya cara memahami Al-Qur’an dan Hadits melalui pendekatan interdisipliner. Dapat difahami bahwa ijtihad dalam Muhammadiyah dapat diartikan upaya menyelesaikan masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, atau sebagai upaya reinterpretasi dan kontekstualisasi ajaran dasar islam, Al-Qur’an dan Hadits.

C.  Lembaga Ijtihad Muhammadiyah
Ijtihad dapat dilakukan secara individual dan dapat pula secara kolektif. Muhammadiyah memilih ijtihad dalam bentuknya yang kedua. Hal ini dapat dilihat dengan dibentuknya sebuah lembaga yang disebut Majlis Tarjih atau Lajnah Tarjih.
1.    Tugas Pokok Majlis Tarjih
Sejak didirikannya pada tahun 1928 sampai sekarang, tugas Majlis Tarjih telah mengalami perkembangan dan perubahan. Majlis ini hanya membahas dan memutuskan masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil pendapat yang dianggap kuat dalilnya. Tugas utama ini perlu dilakukan oleh Majlis Tarjih, ketika lembaga ini didirikan, karena masalah khilafiyat sudah begitu meruncing. Kalau tidak diselesaikan, warga Muhammadiyah sendiri akan mengalami perselisihan yang tajam. Tugas utama Majlis Tarjih pada aawalnya hanya membuat tuntunan atau pedoman bagi warga Muhammadiyah, terutama mengenai pelaksanaan ibadah.
Semakin banyak tugas yang harus dilaksanakan oleh Majlis Tarjih, maka Pimpinan Pusat Muhammdiyah pada tahun 1971 telah menetapkan Qaidah Lajnah Tarjih. Dalam pasal 2 Qaidah tersebut disebutkan, bahwa tugas Lajnah Tarjih adalah sebagai berikut:
a.    Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya.
b.    Menyusun tuntuna ‘Aqidah, Akhlaq, Ibadah dan Mu’amalah Dunyawiyyah.
c.    Memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri memandang perlu.
2.    Kualifikasi Anggota Lajnah Tarjih
Ijtihad dalam berbagai masalah kontemporer merupakan tugas yang tidak mudah, maka orang yang ikut serta dalam pembahasan tersebut seharusnya memenuhi kualifikasi ijtihad. [7]
Muhammadiyah melalui Qaidah Lajnah Tarjihnya telah menetapkan persyaratan bagi peserta musyawarah tarjih dan anggota lajnah tarjih. Secara umum, dalam Pasal 4 ayat (1) Qaidah Lajnah Tarjih, disebutkan bahwa syarat anggota Lajnah Tarjih adalah “Ulama (laki-laki atau perempuan) anggota persyarikatan yang mempunyai kemampuan bertarjih”. Yang dimaksud dengan ulama disini adalah ulama dalam pengertian khusus, yaitu ahli dalam bidang agama Islam. Hal ini dapat dilihat dengan ungkapan berikutnya “yang mempunyai kemampuan bertarjih”. Tentu yang dimaksud dengan bertarjih disini adalah melakukan kegiatan di bidang istinbath hukum atau lebih tegas lagi berijtihad. Itulah yang dimaksud oleh warga Muhammadiyah harus mampu “membaca kitab kuning”, paling tidak dapat membaca dan memahami kitab Subulu al-Salam.   

D.  Metode Ijtihad Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah islam yang menekankan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber ajaran, nahi munkar sebagai tema perjuangan, dan baldatun thayyibatun warabbun ghafur sebagai cita-cita. Tarjih merupakan majelis yang memiliki tugas untuk memberi fatwa agar diamalkan oleh warga Muhammadiyah pada khususnya, dan umat Islam Indonesia pada umumnya. Tarjih, sebagai majelis tentu akan tumbuh dan berkembang seirama dengan dinamika persyarikatan Muhammadiyah dalam melintasi sejarah perjuangan bangsa.[8]
Muhammadiyah dalam berijtihad menggunakan metode saddu Al-Zariat. Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah untuk kemaslahatan manusia.
Dari uraian tersebut di atas dapat difahami, bahwa Muhammadiyah dalam berijtihad menempuh tiga jalur, yaitu:[9]
a)    Al-Ijtihad al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam aliran Hanafiah, Bayan (penjelasan) dibedakan dalam lima macam, yaitu:
a.    Bayan Taqrir
Bayan Taqrir adalah penjelasan dalam rangka mengungkapkan suatu makna dengan dasar-dsar lain yang memberikan tambah jelasnya yang di maksud, baik makna kata-kata maupun ungkapan dalam nash atau dalil. Contohnya kata-kata dalam surat Shad ayat 73:
Artinya: “lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya”
Kata “malaikat” mengandung kata umum “seluruh malaikat” yaitu ditegaskan dengan “kulluhum ajma’in” (seluruhnya).
b.    Bayan Tafsir
Bayan Tafsir adalah penjelasan suatu lafazh atau kata-kata, sehingga nash tersebut menjadi lebih jelas yang dimaksud. Seperti menafsirkan kata-kata yang mujmal menjadi mufshal, kata-kata yang tersembunyi makna dan maksudnya, sehingga menjadi jelas yang dimaksud. Termasuk juga lafazh-lafazh musykil, yaitu lafazh yang sulit diartikan menjadi lafazh yang dapat dicari makna yang dimaksud. Termasuk pula dalam bayan tafsir ini adalah mencari penjelasan lafazh yang mengandung makna ganda (musytarak), sehingga dapat ditentukan makna yang diambil untuk menentukan hukum suatu nash. Bayan Tafsir juga dapat dilakukan pada kata-kata yang termasuk kualifikasi dallat-u ‘l-iqtidla’.
Penjelasan tafsir disini adalah mencari secara detail terhadap makna yang dimaksud dengan lafazh-lafazh tersebut. Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 43. Kata-kata dalam ayat itu mujmal, perlu penjelasan. Maka sabda Nabi SAW:
“Shalatlah engkau sekalian, seperti engkau melihat aku shalat.
c.    Bayan Taghyir
Bayan Tagyir adalah keterangan-keterangan yang mengubah makna yang zhahir menjadi makna yang dituju, seperti kata-kata yang mengandung pengecualian atau istisna’. Dalam hal ini usaha yang dilakukan adalah mencari mukhashshish dari makna umum tadi. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam thuruq-u ‘listinbath adanya takhsis itu berupa kata-kata dan bukan kata-kata.[10]
Ø Bi ‘il-Kalam (berupa kata-kata)
Yang berupa kata-kata itu bisa berupa kata-kata yang berdiri sendii dan bersambung yang disebut mustaqil dan muttashil dan juga ghairu muttashil. Artinya kata-kata yang tidak berdiri sendiri dan bersambung seperti:
1)   Istitsna’, contoh ayat 106 surat al-Nahl, bahwa orang kafir akan mendapatkan murka Allah, kecuali kekafirannya itu dipaksa. Sedangkan batinnya tetap beriman.
2)   Badal ba’ad min al-kull, contohnya ayat 97 surat Ali Imran, bahwa Allah mewajibkan setiap orang untuk menunaikan ibadah haji, hanya saja maksudnya orang yang mempunyai kemampuan.
3)   Sifat, contohnya ayat 25 surat al-Nisa, mengandung kebolehan mengawini budak wanita yang beriman, bukan semua budak beriman.
4)   Kata-kata syarat, contohnya ayat 228 surat al-Baqarah, bahwa suami yang telah mencerainya, dimasa iddah lebih berhak merujuk istrinya, bila memang maksud baik.
5)   Ghayah, contohnya ayat 15 surat al-Isra bahwa Allah akan menyiksa kaum yang berbuat bertentangan dengan agama, sampai mereka (ummat atau kaum) itu telah dapat dakwah ajakan Rasul.
Ø Ghairu Kalam (tidak berupa kata-kata)
Ghairu kalam takhsis kata-kata umum yang tidak berupa kata-kata. Itu bisa berupa logika yang logis, bisa berupa adat kebiasaan.
Pada bayan Taghyir ini juga bisa berupa penjelasan tentang kata-kata yang mutlaq menjadi muqayyad. Dalam hal ini usaha mencari muqayyid dari lafazh mutlaq, sehinggga menjadi jelas yang dimaksud. Seperti dalam ayat 2 surat al-Maidah, bahwa Allah mengharamkan darah dan dalam ayat 145 surat al-an’am, Allah menyebutkan yang di haramkan itu darah yang mengalir (dam masfuhan), yang disebut lafazh muqayyad. Mencari keterangan apakah satu lafazh itu muqayyad atau tidak, termasuk ijtihad bayani dengan bayan taghyir.
d.   Bayan Tabdil
Bayan Tabdil adalah usaha mencari penjelasan dengan jalan nasakh. Maksudnya, mencari apakah ada nasik-mansukh dalam hukum masalah yang dicari oleh seorang mujtahid. Masalah nasikh-mansukh itu terutama diperlukan dalam dalil sunnah, karena dalam al-Qur’an akhir-akhir ini berkembang lagi pendapat yang menanggapi tidak adanya nasikh-mansukh itu adalah pada ayat-ayat yang terdapat pada kitab-kitab sebelumnya al-Qur’an. Nasik-mansukh dalam al-Qur’an bukanlah menghapus ayat terhadap ayat lain, tetapi mentakhsisikan ayat yang bermaksud umum oleh ayat-ayat terhadap ayat lain, tetapi ada nasikh-mansukh pada sunnah atau al-hadits. Seperti contoh nabi SAW dahulu melarang ziarah kubur, yang kemudia membolehkannya, yang terkenal dalam sabdanya yang berbunyi: “Dahulu saya melarang engkau sekalian untuk ziarah kubur, berziarah kuburlah kamu sekarang” (HR.Ibnu Majah).
e.    Bayan dlarurah
Bayan Dlalurah adalah keterangan yang tidak disebutkan, tetapi tidak boleh tidak harus diungkapkan. Bayan ini tidak berupa kata-kata, tetapi sesuatu yang didiamkan. Bayan Dlalurah itu ada 4 macam, yaitu:
Ø Sesuatu yang didiamkan tetapi sebetulnya harus diucapkan. Seperti firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 11:
Artinya: “Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika yang meninggal tidak mempunyai dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga”.
Ø Petunjuk keterangan diamnya seseorang yang berfungsi memberi penjelasan atau keterangan menunjukkan keizinan, seperti diamnya Nabi SAW waktu menyaksikan perbuatan sahabat. Hal itu mengandung keterangan keizinan Nabi terhadap perbuatan tersebut. Seperti penjelasan Nabi SAW tentang diamnya seseorang anak gadis ketika ditanya oleh orangtuanya untuk dinikahkan, diamnya anak itu dianggak setuju.
Ø Penjelasan tentang diamnya seseorang dianggap untuk menghindari adanya tipuan. Seperti diamnya wali atau pengampu atas anak yang diampunya melakukan akad jual beli. Untuk menghindari kerugian bagi orang lain, didasarkan sabda Nabi SAW.
Ø Keterangan sesuatu yang didiamkan atau tidak disebutkan, tetapi mengandung sesuatu penjelasan yang disebutkan kebiasaan orang arab menghitungnya.
b)   Al-Ijtihad al-Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru, dengan cara menganalogikannya dnegan kasus yang hukumnya telah diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Ijtihad ini dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya secara langsung, seperti menghisap ganja. Tetapi ada nash al-Qur’an maupun al-sunnah yang menunjukkan keharaman zat sejenis, seperti keharaman khamr.
Dengan mendasarkan masalah yang akan dicari hukumnya, menghisap ganja itu, tidak didapati pada al-Qur’an maupun al-sunnah, yang ada kesamaan adalah larangan al-Qur’an tentang khamr. Menyamakan hukum keharaman ganja dengan hukum keharaman khamr, menurut ahli ushul disebut menetapkan hukum berdasarkan qiyas (analogi, menurut ilmu logika atau mantiq). Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan metode ini dapat saja dilakukan dengan nama Ijtihad Qiyasi.
c)    Al-Ijtihad al-Istishlahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber hukum diatas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan. Ijtihad ini dapat ditempuh dengan beberapa metode yaitu:
1)   Metode Istihsan
Mengecualikan dari qiyas yang berdasar illah jail menggunakan qiyas khafi, mengecualikan dari nash umum yang melarang dengan membolehkannya karena adanya kemaslahatan yang akan dicapai atas dasar darurat maupun menghindari kesempitan.
2)   Metode Sadd-u ‘l-dzari’ah
Yaitu kebalikan dari ihtisan, dalam nash membolehkan sesuatu itu. Tetapi kalau dibolehkan itu dibuka sama sekali dalam kondisi tertentu akan membawa mafsadah (kerusakan) makapatut dilarang, dengan dasar sad-u’l-dzari’ah. Artinya menutup sesuatu (yang dibolehkan) yang dapat menuju kerusakan.
3)   Metode Istislah
Yakni mencari ketentuan suatu masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya berdasarkan nash, baik yang melarang atau memerintah (menyuruh), dengan dasar kemaslahatan yang akan dicapai. Kemaslahatan yang ingin dicari itu disebut mashlahah mursalah. Ijtihad dalam hal ini adalah melakukan penelitian sejauh mana maslahah yang akan dicapai dan mafaadah yang akan terdapat, apabila ada juga penelitian terhadap nash, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah, yang menyebutkan untuk dicapai suatu mashlahah atau mafsadat yang harus dihindari.
4)   Menetapkan hukum sesuatu, didasarkan pada kebiasaan ('urf) yang telah ada, berlaku mendatangkan manfaat dan tidak dilarang oleh nash serta tidak mendatangkan mafsadah yang lebih besar.
5)   Ijtihad dalam menafsirkan ayat kauniyah. Ijtihad ini menafsirkan ayat yang mengandung ketentuan sunnatullah, yang berupa gejala alam yang disebut kauniyah ini dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

E.   Tokoh-Tokoh Muhammadiyah dari Masa ke Masa
1.    KH. Ahmad Dahlan, awal jabatan 1912, akhir jabatan 1923.
2.    KH. Ibrahim, awal jabatan 1923, akhir jabatan 1932.
3.    KH. Hisyam, awal jabatan 1932, akhir jabatan 1936.
4.    KH. Mas Mansur, awal jabatan 1936, awal jabatan 1942.
5.    Ki Bagoes Hadikoesoemo, awal jabatan 1942, akhir jabatan 1953.
6.    Buya AR Sutan Mansur, awal jabatan 1953, akhir jabatan 1959.
7.    KH. M Yunus Anis, awal jabatan 1959, akhir jabatan 1962.
8.    KH. Ahmad Badawi, awal jabatan 1962, akhir jabatan 1968.
9.    KH. Faqih Usman, awal jabatan 1968, akhir jabatan 1971.
10.     KH. AR. Fachruddin, awal jabatan 1971, akhir jabatan 1990.
11.     KH. A. Azhar Basyir, awal jabatan, 1990, akhir jabatan 1995.
12.     Prof. Dr. H. Amien Rais, awal jabatan 1995, akhir jabatan 2000.
13.     Prof. Dr. H. Ahmad syafi’i Ma’arif, awal jabatan 2000, akhir jabatan 2005.
14.     Prof. Dr. H. Din Syamsuddin, awal jabatan 2005 sampai sekarang dan habis masa jabatannya tahun 2015.[11]

F.   Muhammadiyah dan Beberapa Masalah Fiqih Kontemporer
·      Bidang Kedokteran dan Rekayasa Manusia
Ø Keluarga Berencana
Tahun 1970 pemerintah membentuk lembaga yang disebut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Keputusan yang diambil Majlis Tarjih Muhammadiyah mengenai hukum mengikuti program Keluarga Berencana ini adalah bahwa meskipun pada dasarnya menjarangkan atau membatasi kelahiran itu tidak dibenarkan, namun dalam keadaan darurat tindakan itu dapat dibenarkan.
Bagi muhammadiyah darurat yang dapat dijadikan dasar bolehnya melakukan penjarakan dan penundaan kehamilan dalam mengikuti program Keluarga Berencana adalah sebagai berikut:
a)    Mengkhawatirkan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu karena mengandung atau melahirkan, bila hal itu diketahui dengan pengalaman atau keterangan dokter yang dapat dipercaya.
b)   Mengkhawatirkan keselamatan agama, akibat faktor-faktor kesempitan penghidupan, seperti kekhawatiran akan terseret menerima hal-hal yang haram atau menjalankan atau melanggar larangan agama karena didorong oleh kepentingan anak-anak.
c)    Mengkhawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran terlalu dekat.
·      Bidang Ekonomi dan Keuangan
Lembaga keuangan, baik bank maun bukan bank, semakin banyak jumlahnya. Keberadaannnya tidak dapat dipisahkan dari masalah ekonomi umat manusia secara keseluruhan. Sistem dan mekanisme lembaga-lembaga tersebut diatur sedemikian rupa, sehingga berfungsi sebagai sarana penghubung anatar pemilik modal di satu pihak dan pengusaha atau pengguna modal di pihak lain.
Muhammadiyah telah menyoroti dan membahas masalah-masalah tersebut dipandang dari segi ilmu fiqih. Berikut ini akan dibahas hasil ijtihad Muhammadiyah tentang bunga bank dan asuransi.[12]
Ø Bunga Bank
Bank bertujuan untuk mencari keuntungan. Kegiatan yang dilakukan oleh bank di antaranya adalah menyediakan dan menjual uang sebagai barang dagangannya dan menjual jasa. Bank dapat dikatakan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang.
Keadaan dan fungsi uang tidak beda dari barang atau alat-alat produksi lainnya. Kelebihan uang diabndingkan barang-barang lainnya adalah karena uang berfungsi sebagai alat tukar yang mempunyai sifat likuiditas dan merupakan ukuran nilai barang. Karena itu uang juga dapat dibeli atau disewakan dengan membayar sewa yang disebut uang jasa atau bunga.
Muhammadiyah membahas masalah bunga bank dan lembaga keuangan pada umumnya. Muhammadiyah menyadari bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang baru, belum ada pada masa awal Islam.
Ø Asuransi
Dalam kitab Undang-undang Hukum Dagang, asuransi  dirumuskan sebagai: “Sesuatu persetujuan dalam mana pihak yang menanggung berjanji terhadap pihak yang ditanggung untuk menerima sejumlah premi mengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh pihak yang ditanggung, sebagai akibat suatu peristiwa yang belum terang akan terjadinya”. Dari rumusan tersebut dapat dipahami bahwa dalam asuransi terlihat dua pihak, yaitu penanggung dan tertanggung. Pihak pertama biasanya berwujud lembaga atau perusahaan asuransi, sedangkan pihak kedua adalah orang yang akan menderita karena suatu peristiwa yang belum terjadi. Sebagai kontra prestasi dari pertanggungan ini pihak tertanggung diwajibkan membayar uang premi kepada pihak penanggung.
Ada berbagai asuransi, diantaranya asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Asuransi kerugian berhubungan dengan risiko-risiko selain terdapat pada jiwa, seperti asuransi kebakaran, kecelakaan dan lain-lain. Sedangkan asuransi jiwa ialah asuransi di mana yang dipertanggungkan di dalamnya adalah kerugian-kerugian ekonomi atau keuangan sebagai akibat hilangnya jiwa atau karena usia lanjut.
Disadari Muhammadiyah bahwa asuransi merupakan bentul mu’amalah yang baru. Karen aitu masalahnya menjadi mas’alat ijtihadiyat. Dalam maslah ini Muhammadiyah berpendapat, bahwa asuransi itu hukumnya mubah, apabila asuransi itu bersifat sosial. Sedangkan asuransi yang mengandung unsur-unsur riba, judi dan penipuan hukumnya haram. Adapun unsur riba yang terdapat dalam asuransi, menurut Muhammadiyah, adalah adanya kelebihan penerimaan jumlah santunan dari pada pembayaran premi. Sedangkan unsur judi yang terdapat dalam asuransi, menurut pengamatannya ialah adanya sifat untung-untungan bagi tertanggung yang menerima jumlah tanggungan yang lebih besar dari pada premi atau sebaliknya, penanggung akan menerima keuntungan, jika dalam masa pertanggungan tidak terjadi peristiwa yang telah ditentukan dalam perjanjian.







PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Muhammadiyah lahir pada Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1921 M). Pendiri Muhammadiyah yaitu KH. Ahmad Dachlan. Adapun faktor-faktor pendorong lahirnya Muhammadiyah diantaranya yaitu : Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khufarat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniaannya lagi.
Lembaga Ijtihad Muhammadiyah dibentuknya sebuah lembaga yang disebut Majlis Tarjih atau Lajnah Tarjih.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah: KH. Ahmad Dahlan, KH. Ibrahim, KH. Hisyam, KH. Mas Mansur, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Buya AR Sutan Mansur, KH. Ahmad Badawi, KH. M Yunus Anis, KH. Faqih Usman, KH. AR. Fachruddin, dan seterusnya.
Muhammadiyah dalam berijtihad menggunakan metode saddu Al-Zariat. Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah untuk kemaslahatan manusia.
 Muhammadiyah membahas masalah fiqih kontemporer yaitu: pertama, bidang kedokteran dan rekayasa sosial yang kedua, bidang ekonomi dan keuangan.

B.  SARAN
Demikian makalah ini penulis susun, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini tentunya masih banyak kekurangan baik dari segi materi maupun segi tata bahasa. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna evaluasi kedepannya. Semoga dibalik ketidaksempurnaan yang ada, makalah ini tetap dapat memberikan manfaat yang baik bagi kita semua, Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Hasyim, Umar. Muhammadiyah Jalan Lurus. Surabaya: IKAPI. 1990.
Imampuro, Rachmat. Mengungkap Da’wah KH. Ahmad Dachlan dan KH. Hasyim Asy’ari. Semarang: Badan Penerbit Fakultas Da’wah. 1982.
Jamil, Fathurrahman. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: Logos Publishimg House. 1995.
Karim, M. Rusli. Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar. Jakarta: Rajawali. 1986.
Soeratno, Siti Chamamah. Al-Muhammadiyah sebagai Gerakan Seni dan Budaya. Jakarta: Pustaka Pelajar. 2009.



[1] Drs. Rachmat Imampuro, Mengungkap Da’wah KH. Ahmad Dachlan dan KH. Hasyim Asy’ari (Semarang: Badan Penerbit Fakultas Da’wah, 1982), hlm.39
[2] Umar Hasyim, Muhammadiyah Jalan Lurus (Surabaya: IKAPI, 1990), hlm.5
[4] M. Rusli Karim, Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar (Jakarta:Rajawali, 1986) hal. 95
[6] Fathurrahman Jamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta:Logos Publising House, 1995), hlm.58
[7] Fathurrahman Jamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta:Logos Publising House, 1995), hlm. 67
[8] Prof. DR. Hj. Siti Chamamah Soeratno, et. Al. Muhammadiyah sebagai gerakan seni dan budaya:suatu warisan intelektual yang terlupakan. Pustaka Pelajar, 2009, hal. 31
[9] Fathurrahman Jamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta:Logos Publising House, 1995), hlm.78
[11] Drs. Rachmat Imampuro, Mengungkap Da’wah KH. Ahmad Dachlan dan KH. Hasyim Asy’ari (Semarang: Badan Penerbit Fakultas Da’wah, 1982), hlm. 20
[12]Fathurrahman Jamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta:Logos Publising House, 1995), hlm.120

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates