Lafadz dari Segi Makna
LAFADZ DITINJAU
DARI SEGI MAKNA
Disusun guna
memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Disusun Oleh:
Umi Fatmah ( 131311116 )
FAKULTAS DAKWAH
DAN KOMUNIKASI
MANAJEMEN
DAKWAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI ( IAIN ) WALISONGO SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
a. Latar
belakang
Sumber hukum baik yang primer ataupun
sekunder adalah lafadz yang berbahasa arab, karena nabi yang menerima dan yang
menjelaskan Al-Qur’an itu menggunakan bahasa arab. oleh karena itu usaha untuk
memahami dan menggali hukum dari teks kedua sumber tersebut sangat tergantung
pada kemampuan memahami bahasa arab. Dan diantaranya harus mengetahui lafadz
yang telah terang artinya atau samar. [1]
b. Rumusan
masalah
1. Lafadz
ditinjau dari kejelasan maknanya ?
2. Lafadz
ditinjau dari segi cakupan maknanya ?
II.
PEMBAHASAN
1. Lafadz
ditinjua dari kejelasan maknanya
Ulama ushul fiqh membagi suatu lafadz
ditinjau dari segi tingkat kejelasan maknanya kepada dua kategori, yaitu: lafadz
yang terang dan yang samar maknanya.
a. Lafadz
yang samar maknanya
Lafadz yang samar (tidak terang, tidak
jelas) maknanya ialah, baik kesamaran maknanya itu berasal dari lafal itu
sendiri maupun karena factor luar yang mempengaruhinya, sehingga diperlukan
keterangan lain untuk mengetahui maknanya. Suatu lafadz ditinjau dari
ketersamaran maknanya terdiri atas empat tingkatan, yaitu lafadz al mutasyabih, al mujmal, al musykil, al
khafi.[2]
1.
Al-mutasyabih
Lafal mutasyabih ialah, lafadz
yang samar tunjukan maknanya karena memang lafadznya sendiri tidak memberi
petunjuk untuk menjelaskan maknanya. [3] ketidak
jelasan lafadz mutasyabih ini adalah karena sighatan
nya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya:
sedangkan syar’I membiarkan kesamaran
tersebut tanpa ada penjelasan. Mutasyabih
mempunyai dua bentuk:[4]
a. Dalam
bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan beberapa surat
Al-Qur’an seperti كهيعص,
الر, الم potongan-potongan
huruf ini tidak mengandung arti apa-apa ditinjau dari lafadznya.
b. Ayat-ayat
yang menurut zahir-nya mempersamakan
Allah maha pencipta dengan makhluk-Nya,
sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti lughawi-nya karena Allah SWT. Mahasuci dari pengertian yang
demikian. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Fath (48): 10:
يَدُ اللهِ فَوْ قَ أَيْدِ يْهِمْ
Arti lughawi
ayat tersebut: tangan Allah berada di atas tangan mereka.
Sumber
perbedaan pendapat antara ulama salaf
dan ulama khalaf sehubungan dengan
pemahaman lafadz mutasyabihat adalah
pada perbedaan mereka dalam memahami firman Allah pada surat Ali imran (3): 7:
هُوَ الَّدِ يْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكَتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ
هُنَّ أُمُّ الْكِتَا بِ وَأُخَرُ مُتَشَا بِهَا تٌ
2.
Al-mujmal
Lafadz mujmal ialah suatu lafadz yang
samar tunjukan maknanya, karena memang dari lafadz itu sendiri itu tidak
terdapat petunjuk tentang makna tertentu yang dimaksud olehnya, dan tidak ada
cara untuk mengetahui maknanya yang spesifik kecuali dengan penjelasan langsung
dari yang menggunakan lafadz tersebut. Semua lafadz mujmal yang terdapat dalam
al-qur’an dijelaskan oleh Rasulullah seperti lafadz ash-shalah,az-zakah,
ash-shaum, dan al-hajj. Dengan demikian tidak satu pun lafadz mujmal yang tidak
ada penjelasan maknanya. Hanya saja penjelasan itu ada yang bersifat tuntas,
dan ada yang bersifat tidak tuntas, sehingga menjadi objek ijtihad para
mujtahid dalam menentukan makna syar’inya.
3.
Al-musykil
Lafadz musykil ialah suatu lafadz yang
samar tunjukan maknanya, karena memang dari lafadz itu sendiri tidak terdapat
petunjuk tentang makna tertentu yang dimaksud. Pada umumnya lafadz musykil
terlihat dalam lafadz yang musytarak yaitu lafadz yang memiliki makna lebih
dari satu. Misalnya lafadz quru’ yang terdapat dalam surah al-Baqarah (2): 228
وَالْمُطَلَقَا
تُ يَـَرَ بَصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَ ثَةَ قُرُوْءٍ
Wanita-wanita yang
ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’
Untuk menentukan masa iddah wanita yang ditalak suaminya timbul
pertanyaan:
4.
Al-khafi
Lafadz khafi ialah lafadz yang tunjukan maknanya jelas pada diri lafadz tersebut,
tettapi menjadi samar karena ada factor lain yang menyamarkannya. Hal ini
disebabkan adanya sebagian lafadz khafi yang dipergunakan untuk menunjuk makna
yang spesifik. Misalnya, lafadz اٌلسَّارِقُ (pencuri) yang terdapat dalam surat al-maidah
(5): 38:
وَاٌلسَّارِقُ وَاٌاسَّارِقَةُفَاٌقْطَعُوٓأ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا
كَسَبَا نَكَلاً مِّنَ الله ۗ وَاللهُ عَزِيْزُ حَكِيمُ
Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.
Pada dasarnya,
lafadz as-sariq yang menunjukan pengertian dan makna yang jelas, yaitu
mengambil sejumlah harta orang lain yang tersimpan dengan baik dengan cara
diam-diam. Tetapi, kata as-sariq dapat juga menunjuk arti ath-tharrar
(pencopet) dan an-nabbasy (pencuri kain kafan), yang keduanya memiliki
unsure-unsur pencuri delik yang berbeda.
b. Lafadz
yang jelas maknanya
Lafadz yang jelas maknanya terbagi
menjadi 4 tingkat yang kekuatan dssari segi kejelasan artinya berbeda, yang
dikategorikan kedalam: jelas, lebih jelas dan paling jelas. Dari keempat
tingkat itu adalah:
1. Zhahir
Azh zahir ialah lafadz yang
menunjuk pengertian makna yang segera dapat dipahami dari lafadz tersebut,
tetapi tujuan utama penggunaan afadz itu sendiri, melainkan makna yang lain. Sebagi
contoh Allah berfirman dalam surah al-baqarah (2): 275:
وَأَحَلَّ اللهُ اٌلْبَيْعُ وَحَرَّمَ اٌلرِّبَوٰأ
Allah
menghallalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ditinjau
dari segi tunjukan maknanya, lafadz ayat ini sangat jelas menunjukan pengrtian
bahwa jual beli adalah halal, dan riba adalah haram. Akan tetapi, maksud utama
ayat tersebut adalah untuk membantah anggapan bahwa jual beli itu sama dengan
riba, tergambar dari sebab turunnya ayat (asbab an-nuzul) dan bagian ayat
sebelumnya yang berbunyi:
قَالُوانَّمَا الْبضيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
Mereka
(orang munafik) berkata: “sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”. (QS.al-baqarah (2): 274)
Disamping
tujuan utamanya bukan sekedar untuk menegaskan kehalalannya jual beli dan
mengharamkan riba, lafadz al-bai’ dan ar-riba’ pada ayat tersebut menunjuk
pengertian umum yang berpeluang untuk diberi makna khusus (at-takhshish)
. di tinjau dari hukum, lafadz zhahir wajib diamalkan sesuai dengan maknanya,
selama tidak ada dalil yang men-takhshish nya, atau men takwil nya me-naskh
nya.
2. Nash
An nash ialah lafadz yang menunjuk
pengertian maknanya yang jelas, dan (berbeda dengan makna zahir) tujuan utama
makna zahir tersebut memang untuk menunjuk maknanya itu sendiri. Lafadz an-nash
sama dengan az-zahir dari segi sama-sama berpeluang untuk di takhsih, ta’wil,
dan dinash semasa hidup Rasulullah. Dengan demikian, tingkat kejelasannya
berada diatas lafadz zahir. Lafadz nash dalam firman Allah pada surah an-Nisa
(4): 11:
مِنۢ بَعْدِ وَصِيَةٍ يُو صِى بِهَآ أَوْدَيْنٍ
Sesudah
diturunkan wasiat yang diwasiatkan (mayit) dan dibayar utangnya.
3. Mufassar
Al mufassar ialah lafadz yang
menunjuk pengertian maknanya yang jelas, dan tujuan utama lafadz tersebut
memang menunjuk makna itu sendiri. Lafadz mufasar tidak berpeluang untuk di
takhshih dan di ta’wil, tetapi masih berpeluang untuk din ash. Contohnya pada
surah an-Nur (24): 2:
آلزَّانِيَةُ وَالزَّانِى فَآجْلَدُ وأكُلَّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
Perempuan yang berzina
dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus dali dera.
Makna dan tujuan utama penggunaan
pada lafadz dengan menunjukan hukuman bagi pezina adalah seratus kali dera.
Kalimat bilangan “mi’ah” (seratus) dalam bahasa arab yang mengandung makna
khusus, sehingga tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.
4. Muhkam
Al muhkam ialah lafadz yang terang
maknanya untuk menunjuk pengertiannya, yang tujuan utama penggunaannya memang
untuk menunjuk makna yang itu. Lafadz muhkam berada pada tingkat paling atas
dari kejelasan artinya, karena lafadz ini menunjukan makna yang dimaksud sesuai
dengan kehendak si pembicara. Tidak menerima lafadz muhkam itu akan pembatalan
atau nasakh, terkadang disebabkan oleh teks lafadz itu sendiri yang menghendaki
demikian. Firman Allah dalam surat an-nur (24): 5:
وَلاَتَقْبَلُوْ
الَهُمْ شَهَادَةًاَبَدًا
Jangan
kamu terima dari mereka kesaksian selama-lamanya.
Muhkam terdiri dari dua macam, yaitu:
a. Muhkam lizatihi
atu muhkam dengan sendirinya bila tidak ada kemungkinan untuk pembatalan atau
naskh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul
dari lafadz nya dan diikuti pula penjelasan bahwa hokum dalam lafadz itu tidak
mungkin di nasakh.
b. Muhkam lighairhi
atau muhkam karena factor luar bila tidak dapatnya lafadz itu di nasakh bukan
karena nash (teks) itu sendiri tetapi karena tidak ada nash yang mennasakh nya.
Lafadz dalam bentuk ini dalam istilah ushul disebut lafadz yang qath’I
penunjuknya terhadap hukum.[5]
2.
Lafadz ditinjau dari segi cakupan
maknanya
Ditinjau dari segi cakupan maknanya,
suatu lafadz dapat dibagi menjadi dua yaitu: pertama, lafadz yang cakupan
pengertian maknanya bersifat umum, yang biasa di sebut oleh para ulama ushul
fiqh ialah al-amm. Yang kedua, lafadz yang cakupan maknanya bersifat khusus
(al-khashsh). Al-kashsh dapat pula dibagi menjadi dua bagian yaitu, yang
bersifat mutlak dan yang dikaitkan dengan suatu sifat tertentu.
a. Lafadz
al amm
Lafadz al amm ialah, suatu lafadz yang
digunakan untuk menunjuk pengertian satuan (afrad) maknanya yang umum, secara
menyeluruh dan tanpa batas, baik pengertian umum tersebut didapat dari bentuk
lafadznya sendiri maupun dari makna lafadznya.[6]
Sebagian ulama merumuskan definisi dari
lafadz al ‘amm, yaitu sebagai berikut:
1. Abu
hasan al bashri yang diikuti beberapa ulama dari syafi’I memberikan definisi
seperti:
هُوَالَفْظُا المَسْتَغْرِفُ لِجَمِيعِ مَا يَصلُحُ لَهُ
lafadz yang meliputi semua
pengertian yang patut baginya.
2.
Imam
al-ghazali memberikan definisi yang berbeda:
هُوَالَفْظُا الوَاحِدُالدَّالُّ مَنء جِهَةٍ وَاحِدَةٍ عَلَى شَيْئَيْنِ
فَصَاعِدًا
Suatu lafadz yang menunjukan
dari arah yang sama kepada dua hal atau lebih
3.
Abu
yahya (dari kalangan ulama hanbali) memberikan umusan sederhana:
مَاعَمَّ شَيْئَيْن فَصَا عِدًا
Suatu lafadz yang
meng-umum-I dua atau lebih
4.
Al-sarkhisi
(dari kalangan ulama hanafi) merumuskan definisi:
كُلُّ لَفْطٍ يَنْتَظِمُ جَمْعًا مِنَ الأَسَمَاءِ لَفْظًا أَوْمَعْنَى
Setiap lafadz yang mengordinasi
sekelompok nama dalam bentuk lafadz atau makna
Dari beberapa definisi tersebut
terlihat rumusan yang berbeda yang dapat ditarik hakikat dari lafadz am yang
mencakup jiwa dari setiap rumusan, yaitu:
a. Lafadz
itu terdiri dari satu pengertian secara tungal.
b. Lafadz
tunggal itu mengandung beberapa afrad (satuan pengertian)
c. Lafadz
yang tungggal itu dapat digunakan untuk setiap satuan pengertian secara sama
dengan penggunanya.[7]
Macam-mcam lafadz am yang dapat dikelompokan menjadi
tiga macam yaitu:
1. Lafadz
am yang dimaksud umum adalah lafadz yang dari segi lafadznya adalah am
sedangkan yang dimaksud dengan am adalah keumumannya.
2. Lafadz
am yang maksudnya adalah khushus adalah lafadz yang dari segi lafadznya adalah
am, namun dari segi makna yang terkandung didalamnya adalah khushus
3. Lafadz
am yang dikhususkan adalah lafadz yang selalu ada kemungkinan mendapat
takhshih.
b. Lafadz
khushus
Lafadz khas (khushus) adalah lawan dari
lafadz am (umum). Dengan demikian bila telah memahami lafadz am maka dapat
memahami lafadz khas. Khushus adalah keadaan lafadz yang mencakup sebagian
makna yang pantas baginya dan tidak untuk semuanya.
Pengertian khas adalah apa yang
sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafadz. Sedangkan
pengertian khushus adalah apa yang dikhususkan menurut ketentuan bahasa, bukan
berdasarkan kemauan.
c. Takhsih
Takhsih adalah penjelasan tentang hukum
pada lafadz am yang sejak semula memang dientukan untuk sebagian afradnya saja.
Dalil takhsih itu disebut mukhassis atau sesuatu yang men takhsihkan. Mukhassis
ada dua macam, berbentuk nash, dan bukan dalam bentuk nash.
Dalam hubungan pada lafdz am, mukhassis
itu ada yang terpisah dari lafadz am dan ada pula yang menyatu dengan lafadz
am. Mukhassis yang terpisah dari lafadz am ada tiga yaitu:
1. Takhshih
dengan nash, baik nash Al-Qur’an atau sunnah.
2. Takhshih
dengan akal pemikiran, baik melalui penyaksian maupun melalui pemikiran.
3. Takhshih
dengan adat. Adat yang dimaksud adalah adat kebiasaan dapat mengeluarkan
beberapa hal yang dimaksud dalam lafadz am.
Mukhashshis mutasil adalah mukhashshis
yang menyatu dengan lafadz am. Mukhashshih muttasil ada 5 macam, yaitu:
a. Istisna
Mengeluarka sesuatu dari pembicaraan
yang sama dengan menggunakan kata “kecuali”, atau kata lain yang sama maksudnya
dengan itu. Syarat istisna untuk dapat menjadi mukhashshis yaitu:
1. Yang
dikecualikan (المستثنى) itu bersambungan dengan lafadz
yang dikecualikannya المستثنى منه))
tidak ada halangan dalam keterpisahan antara keduanya, namun sekedar untuk
bermafas.
2. Yang
dikecualikan (المستثنى) itu tidak menghabisi afrad dari tempat ia
dikecualikan المستثنى
منه)).
3. Yang
dikecualikan (المستثنى) itu termasuk dalam lingkup tempat ia dikecualikan المستثنى
منه)) secara sengaja.
b. Syarat
Syarat ialah sesuatu yang lazim dengan
tidak adanya, tidak diberi sifat mausuf; tetapi tidak lazim dengan adanya
mausuf.
c. Sifat
Sifat adalah sesuatu hal atau keadaan
yang mengiringi dan menjelaskan sesuatu zat atau perbuatan.
d. Limit
waktu
Ghayah ialah limit waktu yang mendahului
lafadz am sehingga kalau ia tidak ada, maka akan terliput semua afrad am
(waktu).
e. Bagian
sebagai pengganti keseluruhan
Umpamanya dalamm firman Allah dalam surat Ali Imran
(3): 97:
وَاللهِ عَلَى النَّاسِحِجُّ البَيْتِ مَنِاسءتَطَا عَ أَلَيْهِ سَبِيْلاَ
Kewajiban
manusia terhadap Allah adalah menunaikan ibadah haji ke baitullah bagi orang
yang mampu berjalan kesana.
Lafadz من adalah pengganti (badal) dari lafadz الناس (manusia)
yang disebutkan sebelumnya. Potongan ayat pertama mengandung arti “semua
manusia” harus menunaikan haji. Kemudian manusia yang dikenai kewajiban haji
itu dijelaskan yaitu “orang-orang yang mempunyai kesanggupan ” sehingga dengan
adanya takhshih ini berarti orang-orang yang tidak empunyai kesanggupan tidak
termasuk dalam pengertian amyang dikenai kewajiban haji.
A. PENUTUP
a. Kesimpulan
Lafadz
yang samar (tidak terang, tidak jelas) maknanya ialah, baik kesamaran maknanya
itu berasal dari lafal itu sendiri maupun karena factor luar yang
mempengaruhinya, sehingga diperlukan keterangan lain untuk mengetahui maknanya.
Yang meliputi al-mustasyabih,mujmal,musykal,khafi. Sedangkan lafad yang jelas
maknanya yang meliputi, zahir, nash, mufasar, muhkam.
Lafadz yang dilihat dari segi cakupan maknanya
dibagi menjadi dua yaitu: lafadz amm, dan lafadz khushus. lafadz amm ialah
suatu lafadz yang digunakan untuk menunjuk pengertian satuan (afrad) maknanya
yang umum, secara menyeluruh dan tanpa batas, baik pengertian umum maupun makna
lafadznya. Sedangkan lafadz khushus ialah Lafadz khas (khushus) adalah lawan
dari lafadz am (umum).
b. Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kami menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu segala kritik dan
saran yang membangun sangat kami perlukan, guna menyempurnakan makalah kami
berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amiin
DAFTAR
PUSTAKA
Rahman Dahlan, Abd. Ushul Fiqh, Cet: 2;Jakarta:AMZAH. 2011.
Syarifudin,
amir. Ushul fiqh, Cet: 6;Jakarta:KENCANA.
2011.
http://Tarbiyyahlafadzdarisegikejelasaannya.com diakses pada tanggal 10 september 2014 pukul 09:18 WIB.
[1] http://Tarbiyyahlafadzdarisegikejelasaannya.com
diakses pada tanggal 10 september 2014 pukul 09:18 WIB.
[2] Abd.
Rahman Dahlan. Ushul Fiqh,
(Jakarta:AMZAH),hlm.259.
[3] Abd.
Rahman Dahlan. Ushul Fiqh,
(Jakarta:AMZAH),hlm.259.
[4] amir
syarifudin. Ushul fiqh, (Jakarta:KENCANA),hlm.22.
[5] Amir
syarifudin. Ushul fiqh,
(Jakarta:KENCANA),hlm.12.
[6] Abd.
Rahman Dahlan. Ushul Fiqh,
(Jakarta:AMZAH),hlm.269.
[7] Amir
syarifudin. Ushul fiqh,
(Jakarta:KENCANA),hlm.49.
0 komentar:
Post a Comment