September 18, 2015

Lafadz dari Segi Makna

LAFADZ DITINJAU DARI SEGI MAKNA
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh

Disusun Oleh:
Umi Fatmah ( 131311116 )

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
MANAJEMEN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) WALISONGO SEMARANG
2014


I.                   PENDAHULUAN
a.       Latar belakang
Sumber hukum baik yang primer ataupun sekunder adalah lafadz yang berbahasa arab, karena nabi yang menerima dan yang menjelaskan Al-Qur’an itu menggunakan bahasa arab. oleh karena itu usaha untuk memahami dan menggali hukum dari teks kedua sumber tersebut sangat tergantung pada kemampuan memahami bahasa arab. Dan diantaranya harus mengetahui lafadz yang telah terang artinya atau samar. [1]
     
b.      Rumusan masalah
1.      Lafadz ditinjau dari kejelasan maknanya ?
2.      Lafadz ditinjau dari segi cakupan maknanya ?

II.                PEMBAHASAN
1.      Lafadz ditinjua dari kejelasan maknanya
Ulama ushul fiqh membagi suatu lafadz ditinjau dari segi tingkat kejelasan maknanya kepada dua kategori, yaitu: lafadz yang terang dan yang samar maknanya.
a.       Lafadz yang samar maknanya
Lafadz yang samar (tidak terang, tidak jelas) maknanya ialah, baik kesamaran maknanya itu berasal dari lafal itu sendiri maupun karena factor luar yang mempengaruhinya, sehingga diperlukan keterangan lain untuk mengetahui maknanya. Suatu lafadz ditinjau dari ketersamaran maknanya terdiri atas empat tingkatan, yaitu lafadz al mutasyabih, al mujmal, al musykil, al khafi.[2]
1.      Al-mutasyabih
Lafal  mutasyabih ialah, lafadz yang samar tunjukan maknanya karena memang lafadznya sendiri tidak memberi petunjuk untuk menjelaskan maknanya. [3] ketidak jelasan lafadz mutasyabih ini adalah karena sighatan nya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya: sedangkan syar’I membiarkan kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Mutasyabih mempunyai dua bentuk:[4]
a.       Dalam bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan beberapa surat Al-Qur’an seperti كهيعص, الر, الم potongan-potongan huruf ini tidak mengandung arti apa-apa ditinjau dari lafadznya.
b.      Ayat-ayat yang menurut zahir-nya mempersamakan Allah maha pencipta  dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti lughawi-nya karena Allah SWT. Mahasuci dari pengertian yang demikian. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Fath (48): 10:
يَدُ اللهِ فَوْ قَ أَيْدِ يْهِمْ
Arti lughawi ayat tersebut: tangan Allah berada di atas tangan mereka.
Sumber perbedaan pendapat antara ulama salaf dan ulama khalaf sehubungan dengan pemahaman lafadz mutasyabihat adalah pada perbedaan mereka dalam memahami firman Allah pada surat Ali imran (3): 7:
هُوَ الَّدِ يْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكَتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَا بِ وَأُخَرُ مُتَشَا بِهَا تٌ
2.      Al-mujmal
Lafadz mujmal ialah suatu lafadz yang samar tunjukan maknanya, karena memang dari lafadz itu sendiri itu tidak terdapat petunjuk tentang makna tertentu yang dimaksud olehnya, dan tidak ada cara untuk mengetahui maknanya yang spesifik kecuali dengan penjelasan langsung dari yang menggunakan lafadz tersebut. Semua lafadz mujmal yang terdapat dalam al-qur’an dijelaskan oleh Rasulullah seperti lafadz ash-shalah,az-zakah, ash-shaum, dan al-hajj. Dengan demikian tidak satu pun lafadz mujmal yang tidak ada penjelasan maknanya. Hanya saja penjelasan itu ada yang bersifat tuntas, dan ada yang bersifat tidak tuntas, sehingga menjadi objek ijtihad para mujtahid dalam menentukan makna syar’inya.
3.      Al-musykil
Lafadz musykil ialah suatu lafadz yang samar tunjukan maknanya, karena memang dari lafadz itu sendiri tidak terdapat petunjuk tentang makna tertentu yang dimaksud. Pada umumnya lafadz musykil terlihat dalam lafadz yang musytarak yaitu lafadz yang memiliki makna lebih dari satu. Misalnya lafadz quru’ yang terdapat dalam surah al-Baqarah (2): 228
وَالْمُطَلَقَا تُ يَـَرَ بَصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَ ثَةَ قُرُوْءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’
Untuk menentukan masa iddah  wanita yang ditalak suaminya timbul pertanyaan: 
4.      Al-khafi
Lafadz khafi ialah lafadz yang tunjukan  maknanya jelas pada diri lafadz tersebut, tettapi menjadi samar karena ada factor lain yang menyamarkannya. Hal ini disebabkan adanya sebagian lafadz khafi yang dipergunakan untuk menunjuk makna yang spesifik. Misalnya, lafadz اٌلسَّارِقُ  (pencuri) yang terdapat dalam surat al-maidah (5): 38:
وَاٌلسَّارِقُ وَاٌاسَّارِقَةُفَاٌقْطَعُوٓأ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَلاً مِّنَ الله ۗ وَاللهُ عَزِيْزُ حَكِيمُ   
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Pada dasarnya, lafadz as-sariq yang menunjukan pengertian dan makna yang jelas, yaitu mengambil sejumlah harta orang lain yang tersimpan dengan baik dengan cara diam-diam. Tetapi, kata as-sariq dapat juga menunjuk arti ath-tharrar (pencopet) dan an-nabbasy (pencuri kain kafan), yang keduanya memiliki unsure-unsur pencuri delik yang berbeda.  
b.      Lafadz yang jelas maknanya
Lafadz yang jelas maknanya terbagi menjadi 4 tingkat yang kekuatan dssari segi kejelasan artinya berbeda, yang dikategorikan kedalam: jelas, lebih jelas dan paling jelas. Dari keempat tingkat itu adalah:
1.      Zhahir
Azh zahir ialah lafadz yang menunjuk pengertian makna yang segera dapat dipahami dari lafadz tersebut, tetapi tujuan utama penggunaan afadz itu sendiri, melainkan makna yang lain. Sebagi contoh Allah berfirman dalam surah al-baqarah (2): 275:
وَأَحَلَّ اللهُ اٌلْبَيْعُ وَحَرَّمَ اٌلرِّبَوٰأ
Allah menghallalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ditinjau dari segi tunjukan maknanya, lafadz ayat ini sangat jelas menunjukan pengrtian bahwa jual beli adalah halal, dan riba adalah haram. Akan tetapi, maksud utama ayat tersebut adalah untuk membantah anggapan bahwa jual beli itu sama dengan riba, tergambar dari sebab turunnya ayat (asbab an-nuzul) dan bagian ayat sebelumnya yang berbunyi: 
قَالُوانَّمَا الْبضيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
Mereka (orang munafik) berkata: “sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”. (QS.al-baqarah (2): 274)
Disamping tujuan utamanya bukan sekedar untuk menegaskan kehalalannya jual beli dan mengharamkan riba, lafadz al-bai’ dan ar-riba’ pada ayat tersebut menunjuk pengertian umum yang berpeluang untuk diberi makna khusus (at-takhshish) . di tinjau dari hukum, lafadz zhahir wajib diamalkan sesuai dengan maknanya, selama tidak ada dalil yang men-takhshish nya, atau men takwil nya me-naskh nya.

2.      Nash
An nash ialah lafadz yang menunjuk pengertian maknanya yang jelas, dan (berbeda dengan makna zahir) tujuan utama makna zahir tersebut memang untuk menunjuk maknanya itu sendiri. Lafadz an-nash sama dengan az-zahir dari segi sama-sama berpeluang untuk di takhsih, ta’wil, dan dinash semasa hidup Rasulullah. Dengan demikian, tingkat kejelasannya berada diatas lafadz zahir. Lafadz nash dalam firman Allah pada surah an-Nisa (4): 11:
مِنۢ بَعْدِ وَصِيَةٍ يُو صِى بِهَآ أَوْدَيْنٍ
Sesudah diturunkan wasiat yang diwasiatkan (mayit) dan dibayar utangnya.
3.      Mufassar
Al mufassar ialah lafadz yang menunjuk pengertian maknanya yang jelas, dan tujuan utama lafadz tersebut memang menunjuk makna itu sendiri. Lafadz mufasar tidak berpeluang untuk di takhshih dan di ta’wil, tetapi masih berpeluang untuk din ash. Contohnya pada surah an-Nur (24): 2:
آلزَّانِيَةُ وَالزَّانِى فَآجْلَدُ وأكُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera.
Makna dan tujuan utama penggunaan pada lafadz dengan menunjukan hukuman bagi pezina adalah seratus kali dera. Kalimat bilangan “mi’ah” (seratus) dalam bahasa arab yang mengandung makna khusus, sehingga tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.  
4.      Muhkam
Al muhkam ialah lafadz yang terang maknanya untuk menunjuk pengertiannya, yang tujuan utama penggunaannya memang untuk menunjuk makna yang itu. Lafadz muhkam berada pada tingkat paling atas dari kejelasan artinya, karena lafadz ini menunjukan makna yang dimaksud sesuai dengan kehendak si pembicara. Tidak menerima lafadz muhkam itu akan pembatalan atau nasakh, terkadang disebabkan oleh teks lafadz itu sendiri yang menghendaki demikian. Firman Allah dalam surat an-nur (24): 5:
وَلاَتَقْبَلُوْ الَهُمْ شَهَادَةًاَبَدًا
Jangan kamu terima dari mereka kesaksian selama-lamanya.
Muhkam terdiri dari dua macam, yaitu:
a.       Muhkam lizatihi atu muhkam dengan sendirinya bila tidak ada kemungkinan untuk pembatalan atau naskh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul dari lafadz nya dan diikuti pula penjelasan bahwa hokum dalam lafadz itu tidak mungkin di nasakh.
b.      Muhkam lighairhi atau muhkam karena factor luar bila tidak dapatnya lafadz itu di nasakh bukan karena nash (teks) itu sendiri tetapi karena tidak ada nash yang mennasakh nya. Lafadz dalam bentuk ini dalam istilah ushul disebut lafadz yang qath’I penunjuknya terhadap hukum.[5]

2. Lafadz ditinjau dari segi cakupan maknanya
Ditinjau dari segi cakupan maknanya, suatu lafadz dapat dibagi menjadi dua yaitu: pertama, lafadz yang cakupan pengertian maknanya bersifat umum, yang biasa di sebut oleh para ulama ushul fiqh ialah al-amm. Yang kedua, lafadz yang cakupan maknanya bersifat khusus (al-khashsh). Al-kashsh dapat pula dibagi menjadi dua bagian yaitu, yang bersifat mutlak dan yang dikaitkan dengan suatu sifat tertentu.
a.       Lafadz al amm
Lafadz al amm ialah, suatu lafadz yang digunakan untuk menunjuk pengertian satuan (afrad) maknanya yang umum, secara menyeluruh dan tanpa batas, baik pengertian umum tersebut didapat dari bentuk lafadznya sendiri maupun dari makna lafadznya.[6]
Sebagian ulama merumuskan definisi dari lafadz al ‘amm, yaitu sebagai berikut:
1.      Abu hasan al bashri yang diikuti beberapa ulama dari syafi’I memberikan definisi seperti:
هُوَالَفْظُا المَسْتَغْرِفُ لِجَمِيعِ مَا يَصلُحُ لَهُ
lafadz yang meliputi semua pengertian yang patut baginya.
2.      Imam al-ghazali memberikan definisi yang berbeda:
هُوَالَفْظُا الوَاحِدُالدَّالُّ مَنء جِهَةٍ وَاحِدَةٍ عَلَى شَيْئَيْنِ فَصَاعِدًا
Suatu lafadz yang menunjukan dari arah yang sama kepada dua hal atau lebih
3.      Abu yahya (dari kalangan ulama hanbali) memberikan umusan sederhana:
مَاعَمَّ شَيْئَيْن فَصَا عِدًا
Suatu lafadz yang meng-umum-I dua atau lebih
4.      Al-sarkhisi (dari kalangan ulama hanafi) merumuskan definisi:
كُلُّ لَفْطٍ يَنْتَظِمُ جَمْعًا مِنَ الأَسَمَاءِ لَفْظًا أَوْمَعْنَى
Setiap lafadz yang mengordinasi sekelompok nama dalam bentuk lafadz atau makna
Dari beberapa definisi tersebut terlihat rumusan yang berbeda yang dapat ditarik hakikat dari lafadz am yang mencakup jiwa dari setiap rumusan, yaitu:
a.       Lafadz itu terdiri dari satu pengertian secara tungal.
b.      Lafadz tunggal itu mengandung beberapa afrad (satuan pengertian)
c.       Lafadz yang tungggal itu dapat digunakan untuk setiap satuan pengertian secara sama dengan penggunanya.[7]
Macam-mcam lafadz am yang dapat dikelompokan menjadi tiga macam yaitu:
1.      Lafadz am yang dimaksud umum adalah lafadz yang dari segi lafadznya adalah am sedangkan yang dimaksud dengan am adalah keumumannya.
2.      Lafadz am yang maksudnya adalah khushus adalah lafadz yang dari segi lafadznya adalah am, namun dari segi makna yang terkandung didalamnya adalah khushus
3.      Lafadz am yang dikhususkan adalah lafadz yang selalu ada kemungkinan mendapat takhshih.
b.      Lafadz khushus
Lafadz khas (khushus) adalah lawan dari lafadz am (umum). Dengan demikian bila telah memahami lafadz am maka dapat memahami lafadz khas. Khushus adalah keadaan lafadz yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan tidak untuk semuanya.
Pengertian khas adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafadz. Sedangkan pengertian khushus adalah apa yang dikhususkan menurut ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.
c.       Takhsih
Takhsih adalah penjelasan tentang hukum pada lafadz am yang sejak semula memang dientukan untuk sebagian afradnya saja. Dalil takhsih itu disebut mukhassis atau sesuatu yang men takhsihkan. Mukhassis ada dua macam, berbentuk nash, dan bukan dalam bentuk nash.
Dalam hubungan pada lafdz am, mukhassis itu ada yang terpisah dari lafadz am dan ada pula yang menyatu dengan lafadz am. Mukhassis yang terpisah dari lafadz am ada tiga yaitu:
1.      Takhshih dengan nash, baik nash Al-Qur’an atau sunnah.
2.      Takhshih dengan akal pemikiran, baik melalui penyaksian maupun melalui pemikiran.
3.      Takhshih dengan adat. Adat yang dimaksud adalah adat kebiasaan dapat mengeluarkan beberapa hal yang dimaksud dalam lafadz am.
Mukhashshis mutasil adalah mukhashshis yang menyatu dengan lafadz am. Mukhashshih muttasil ada 5 macam, yaitu:
a.       Istisna
Mengeluarka sesuatu dari pembicaraan yang sama dengan menggunakan kata “kecuali”, atau kata lain yang sama maksudnya dengan itu. Syarat istisna untuk dapat menjadi mukhashshis yaitu:
1.      Yang dikecualikan (المستثنى) itu bersambungan dengan lafadz  yang dikecualikannya   المستثنى منه)) tidak ada halangan dalam keterpisahan antara keduanya, namun sekedar untuk bermafas.
2.      Yang dikecualikan  (المستثنى) itu tidak menghabisi afrad dari tempat ia dikecualikan  المستثنى منه)).
3.      Yang dikecualikan (المستثنى) itu termasuk dalam lingkup tempat ia dikecualikan  المستثنى منه)) secara sengaja.
b.      Syarat
Syarat ialah sesuatu yang lazim dengan tidak adanya, tidak diberi sifat mausuf; tetapi tidak lazim dengan adanya mausuf.
c.       Sifat
Sifat adalah sesuatu hal atau keadaan yang mengiringi dan menjelaskan sesuatu zat atau perbuatan.
d.      Limit waktu
Ghayah ialah limit waktu yang mendahului lafadz am sehingga kalau ia tidak ada, maka akan terliput semua afrad am (waktu).
e.       Bagian sebagai pengganti keseluruhan
Umpamanya dalamm firman Allah dalam surat Ali Imran (3): 97:
وَاللهِ عَلَى النَّاسِحِجُّ البَيْتِ مَنِاسءتَطَا عَ أَلَيْهِ سَبِيْلاَ
Kewajiban manusia terhadap Allah adalah menunaikan ibadah haji ke baitullah bagi orang yang mampu berjalan kesana.
Lafadz من  adalah pengganti (badal) dari lafadz الناس (manusia) yang disebutkan sebelumnya. Potongan ayat pertama mengandung arti “semua manusia” harus menunaikan haji. Kemudian manusia yang dikenai kewajiban haji itu dijelaskan yaitu “orang-orang yang mempunyai kesanggupan ” sehingga dengan adanya takhshih ini berarti orang-orang yang tidak empunyai kesanggupan tidak termasuk dalam pengertian amyang dikenai kewajiban haji.

A.    PENUTUP
a.       Kesimpulan
Lafadz yang samar (tidak terang, tidak jelas) maknanya ialah, baik kesamaran maknanya itu berasal dari lafal itu sendiri maupun karena factor luar yang mempengaruhinya, sehingga diperlukan keterangan lain untuk mengetahui maknanya. Yang meliputi al-mustasyabih,mujmal,musykal,khafi. Sedangkan lafad yang jelas maknanya yang meliputi, zahir, nash, mufasar, muhkam.
 Lafadz yang dilihat dari segi cakupan maknanya dibagi menjadi dua yaitu: lafadz amm, dan lafadz khushus. lafadz amm ialah suatu lafadz yang digunakan untuk menunjuk pengertian satuan (afrad) maknanya yang umum, secara menyeluruh dan tanpa batas, baik pengertian umum maupun makna lafadznya. Sedangkan lafadz khushus ialah Lafadz khas (khushus) adalah lawan dari lafadz am (umum).
b.      Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu segala kritik dan saran yang membangun sangat kami perlukan, guna menyempurnakan makalah kami berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amiin

DAFTAR PUSTAKA
Rahman Dahlan, Abd. Ushul Fiqh, Cet: 2;Jakarta:AMZAH. 2011.
Syarifudin, amir. Ushul fiqh, Cet: 6;Jakarta:KENCANA. 2011.
http://Tarbiyyahlafadzdarisegikejelasaannya.com diakses pada tanggal 10 september 2014 pukul 09:18 WIB.


[1] http://Tarbiyyahlafadzdarisegikejelasaannya.com diakses pada tanggal 10 september 2014 pukul 09:18 WIB.
[2] Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh, (Jakarta:AMZAH),hlm.259.
[3] Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh, (Jakarta:AMZAH),hlm.259.
[4] amir syarifudin. Ushul fiqh, (Jakarta:KENCANA),hlm.22.
[5] Amir syarifudin. Ushul fiqh, (Jakarta:KENCANA),hlm.12.
[6] Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh, (Jakarta:AMZAH),hlm.269.
[7] Amir syarifudin. Ushul fiqh, (Jakarta:KENCANA),hlm.49. 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates