September 18, 2015

Istihsab

BAB I

I.                   PENDAHULUAN
Telah diketahui bahwa untuk menemukan dan menetapkan hukum fiqh di luar apa yang dijelaskan dalam nash Al-Qur’an dan hadits, para ahli mengerahkan segenap kemampuan nalarnya yang disebut ijtihad. Dalam berijtihad, para mujtahid itu merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam berijtihad, sehingga dapat memunculkan beberapa perbedaan dari hasil metode ijtihad seorang mujahid dengan yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujahid dalam berijtihad.
Berbagai sumber dipakai sebagai acuan dalam menetapkan hukum-hukum dalam Islam. sumber-sumber tersebut dibagi menjadi dua sifat, yaitu sumber yang bersifat naqli seperti Al-Qur’an dan Hadits, kemudian sumber yang bersifat aqli seperti qiyas, Istishab, Istihsan, Mashalih al-Mursalah, dan yang lainnya. Meskipun ada beberapa metode ijtihad dalam menetapkan hukum, namun tidak semua metode itu disepakati penggunaannya oleh ulama. Dalam pembahasan ini akan diuraikan tentang beberapa metode ijtihad, yaitu : Istishab, Istihsan, Mashalih al-Mursalah.

II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Apa definisi Istishab ?
2.      Apa saja macam-macam Istishab ?
3.      Bagaimana kehujjahan Istihsab ?
4.      Apa definisi Istihsan ?
5.      Apa saja macan-macam Istihsan ?
6.      Bagaimana kehujjahan Istihsan ?
7.      Apa definisi Maslahah Mursalah ?
8.      Apa saja tingkatan-tingkatan kemashlahatan manusia ?
9.      Bagaimana dasar hukum maslahah Mursalah ?

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Definisi Istishab
Secara lughawi (etimologi) berasal dari kata tash-ha-ba yang artinya “ selalu menemani ” atau “ selalu menyertai “. Adapun arti Istishab secara terminologi menurut para ulama, antara lain :
a.       Al-Syaukani dalam Irsyad al-Fuhul adalah apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang.[1]
b.      Menurut Al-Asnawy (772 H) bahwa istishab adalah penetapan hukum terhadap suatu perkara dimasa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut.[2]
c.       Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 715 H) adalah mengukuhkan berlakunya suatu hukum yang telah ada, atau menegaskan suatu hukum yang memang tidak ada. Sampai terdapat dalil lain uang mengubah keadaan tersebut.[3]
Dapat disimpulkan bahwa Istishab adalah suatu hukum yang ada dari suatu kejadian atau peristiwa sampai ada dalil yang dapat mengubah hukum tersebut. Contohnya : seorang yang telah yakin bahwa dia telah berwudhu, dianggap tetap berwudhu selama tiada bukti yang membatalkan wudhunya keraguan atas was-wasnya tidak membatalkan wudhu tersebut.

2.      Macam-macam Istishab
Istishab dari segi perkara yang ditetapkan hukumnya, ada beberapa macam, yaitu :
a.        Istishab hukum asal bagi sesuatu, yakni boleh.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum asal sesuatu adalah boleh. Dalil mereka adalah : “Dialah allah yang menciptakan apa yang dapat dibumi ini semuanya, untuk kamu (manusia)”.(Al-Baqarah:29)
“Dan dia menundukkan untukmu apa yanga ada dilangit dan apa saja yang ada dibumi semuanya, sebagai rahmat daripada-Nya”.(Al-Jatsiyah :13)
Jika seluruh yang ada dibumi ini diciptakan dan apa yang ada dilangit ditundukkan untuk manusia, maka hal itu menunjukkan bolehnya ia dikelola manusia berdasarkan hukum asal. Maka jika seandainya diharamkan, tentu sesuatu tersebut tidak diciptakan dan ditundukkan untuk manusia.
b.      Istishab bara’atul ashliyah
Maksudnya, pada dasarnya tidak ada hukum seperti lepasnya seseorang dari tuntutan syari’at, sehingga ada dalil yang membebaninya. Maka anak yang masih kecil, belum baligh terlepas dari beban syari’at, sehingga jelas kedewasaannya.
Orang yang dituduh punya hutang, maka ia ditetapkan tidak punya hutang, berdasarkan kaidah bahwa pada asalnya ia bebas dari beban, sehingga terbukti ia berhutang. Karenanaya, kewajiban membuktikan berada dipihak penggugat atau penuduh.
c.       Istishab sesuatu yang ditunjuki oleh akal atau syara atas tetapnya. Apabila sesorang dalam keadaan suci, maka ia dihukum tetap suci, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas batalnya.[4]

3.      Kehujjahan Istishab
Istishab merupakan dalil syara’ terakhir yang dipakai mujtahid sebagai dalil untuk mengetahui hukum suatu kejadian yang dihadapkan kepadanya. Ulama’ Ushul mengatakan, pada dasarnya, Istishab merupakan tempat berputarnya fatwa yang terakhir, untuk mengetahui sesuatu berdasarkan hukum yang telah ditetapkan, selama tidak terdapat dalil yang merubah. Hal tersebut merupakan metode di dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan atau adat manusia pada seluruh pemeliharaan dan penetapan mereka.
Pada dasarnya, menganggap al-Istishab itu sendiri sebagai hukum adalah diperbolehkan, karena dalil pada hakikatnya adalah petunjuk yang menetapkan hukum terdahulu.  Ulama’ Hanafiyah menetapkan bahwa Istishab itu merupakan hujjah untuk melestarikan, dan bukan menetapkan sesuatu yang dimaksudkan manusia. Dengan demikian, Istishab dapat diyakini sebagai hujjah terhadap suatu ketetapan yang ada berdasarkan keadaan semula, di samping melestarikan sesuatu yang berbeda dengan ketetapan tersebut, sehingga terdapat dalil yang menetapkan kebalikannya atau perbedaannya. Jadi, bukan merupakan hujjah di dalam menetapkan sesuatu yang tidak tetap.[5]

4.      Definisi Istihsan
Secara bahasa, Istihsan berarti menganggap baik sesuatu. Menurut istilah Ulama’ Ushul fiqh, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama, antara lain :
a.       Menurut al-Bazdawi bahwa beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain yang lebih kuat dari qiyas yang pertama.
b.      Menurut Imam Malik adalah menerapkan yang terkuat diantara dua dalil, atau menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersifat persial dalam posisi yang bertentangan dengan dalil yang bersifat umum.[6]
Dapat disimpulkan bahwa Istihsan adalah penetapan hukum dengan berpedoman kepada dalil yang ada yang bersifat umum, namun karena dalam keadaan tertentu dengan melihat adanya kemaslahatan yang bersifat khusus, maka dalam menetapkan hukum tidak hanya berpedoman kepada dalil umum yang ada, tetapi menggunakan kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat khusus itu.
Apabila terjadi suatu peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya, maka dalam pembahasannya ada dua pendapat yang berbeda: Sudut pandang lahiriyah yang menghendaki suatu hukum dan sudut pandang secara tersembunyi yang menuntut hukum yang lain. Seorang mujtahid menemukan dalil yang memenangkan pandangan secara tersembunyi, lalu pindah dari sudut pandang lahiriyah. Inilah yang menurut syara’ disebut al-Istihsan.[7]

5.      Macam-macam Istihsan
Menurut syara’ Istihsan dapat dibagi dua, yaitu :
a.       Mengunggulkan kias yang tersembunyi atas kias yang nyata dengan suatu dalil.
Contohnya : ulama fikih kelompok Hanafi  menyebutkan bahwa seorang yang mewakafkan tanah sawahnya maka hak pengairan, minum dan jalan adalah termasuk wakaf tanpa harus menerangkannya secara istihsan. Sedangkan menurut kias, hal-hal itu tidak masuk kecuali dengan nash, seperti halnya jual beli. Adapun bentuk istihsannya: tujuan wakaf adalah orang yang diberi hak wakaf dapat memanfaatkan barang yang diwakafkan. Sedangkan pemanfaatan tanah sawah itu harus dengan memberi minum, mengairi dan jalan, sehingga hal-hal itu termasuk wakaf tanpa harus menyebutkannya. Karena tujuan tidak dapat terwujud kecuali dengan hal-hal itu, seperti halnya sewa menyewa.
Kias yang nyata adalah menyamakan wakaf contoh diatas dengan jual beli, karena sama-sama mengeluarkan hak milik dari pemiliknya. Sedangkan kias yang tersembunyi adalah menyamakan wakaf tersebut dengan sewa menyewa, karena sama-sama demi pemanfaatan.
b.      Mengecualikan sebagian hukum umum dengan suatu dalil
Contohnya : syari’ melarang jual beli atau akad pada barang yang tidak ada ditempat akad. Tetapi secara istihsan diperbolehkan pesan-memesan, sewa-menyewa dan muzaro’ah. Semua itu adalah akad, sedangkan yang diakadi tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan adalah kebutuhan dan saling kenal diantara manusia.
Ulama fiqh juga menetapkan bahwa mengecualikan orang yang menyewa dengan bersekutu, maka ia wajib menanggung kecuali jika kerusakan barang yang disewa itu sebab kekuatan yang luar biasa. Alasan istihsan adalah kepercayaan para penyewa. Dari contoh tersebut ada perkecualian sebagian dari hukum-hukum umum dengan dalil tertentu.[8]

6.      Kekuatan istihsan sebagai hujjah
Dari penjelasan kedua macam ihtisan tersebut jelaslah pada hakikatnya ihtisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena dalil hukum dari bentuk istihsan pertama adalah kias yang tersembunyi yang diunggulkan dari pada qiyas yang nyata, sebab hal-hal tertentu yang oleh mujtahid dianggap lebih unggul, dan itu adalah alasan istihsan. Sedangkan dalil dari bentuk istihsan yang kedua adalah kemaslahatan yang menuntut adanya perkecualian bagian tertentu dari hukum umum dan hal itu juga dianggap sebagai alasan istihsan.
Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok Hanafi. Mereka beralasan. Pengambilan dalil dengan istihsan adalah mengambil dalil dengan qiyas yang samar yang mengalahkan qiyas yang nyata atau memenangkan qiyas atas qiyas yang lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu adalah pengambilan dalil yang benar.[9]

7.      Definisi Mashlahah Mursalah
Pengetian Mashlahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudaratan atau kerusakan.
Secara etimologis Al-Mursalah berarti “ terlepas ” atau “ bebas “. Kata “ terlepas “ dan  “ bebas “ disini bila dihubungankan dengan kata mashlahah maksudnya adalah “ terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan “.[10]
Maslahah mursalah menurut terminologi atau istilah yaitu :
المصلحة المرسلة الّتي يشرّع حكمالتحقيقها ولم يدلّ دليل شرعيّ  على اعتبارها اوالغائها
“ maslahah mursalah ialah maslahah yang tidak disyari’atkan hukum oleh syari’at untuk menwujudkannya dan tidak ada dalil syara yang menganggapnya atau mengabaikannya”.
Jadi maslahah mursalah adalah sesuatu kejadian yang syara’ atau ijma tidak menetapkan hukumnya dan tidak pula nyata ada illat yang menjadi dasar syara menetapkan satu hukum, tetapi ada pula sesuatu yang munasabah untuk kemaslahatan dan kebaikan umum.[11]

8.      Tingkatan-tingkatan kemashlahatan manusia
Kemashlahatan manusia itu mempunyai tingkatan-tingkatan. Tingkatan yang pertama lebih lebih utama dari tingkatan yang kedua dan tingkatan yang kedua lebih utama dari tingkatan yang ketiga. Tingkatan-tingkatan itu ialah :
a.       Tingkat pertama yaitu tingkat dharuri, tingkatan yang harus ada. Tingkatan ini terdiri atas lima tingkat pula, yaitu :
·         Memelihara agama
Yaitu dengan menghindarkan timbulnya fitnah dan keselamatan dalam agama serta mengantisipasi dorongan hawa nafsu dan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada kerusakan secara penuh.
·         Memelihara jiwa
Yaitu jaminan keselamatan atas hak hidup yang terhormat dan mulia.
·         Memelihara akal
Yaitu terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang bersangkutan tak berguna ditengah masyarakat, sumber kejahatan atau bahkan menjadi sampah masyarakat.
·         Memelihara keturunan
Yaitu jaminan kelestarian populasi umat manusia agar tetap hidup dan berkembang sehat dan kokoh, baik pekerti dan agamanya.
·         Memelihara harta
Yaitu dengan meningkatkan kekayaan secara proporsional melalui cara-cara yang halal bukan dengan cara yang dzalim dan curang.
b.      Tingkat kedua ialah tingkat yang diperlukan (haji)
c.       Tingkat ketiga ialah tingkat tahsini[12]

9.      Dasar Hukum
Para ulama yang menjadikan mashlahat mursalah sebagai salah satu dalil syara’, menyatakan bahwa dasar hukum mashlahat mursalah, ialah :
a.       Persoalan yang dihadapi manusia selau bertambah dan berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak hal-hal atau persoalan-persoalan yang tidak  terjadi pada masa Rasulullah SAW, kemudian timbul dan terjdi pada masa-masa sesudahnya, bahkan ada yang terjadi tidak lama usetelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Seandainya tidak ada dalil yang dapat memecahkan hal-hal yang demikian berarti akan sempitlah kehidupan manusia. Dalil itu ialah dalil yang dapat menetapkan mana yang merupakan kemashlahatan manusia dan mana yang tidak sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama Islam.
b.      Sebenarnya para Sahabat, Tabi’in, tabi’it tabi’in dan para ulama yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukum sesuai dengan kemashlahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalifah Abu Bakar telah mengumpulkan Al-Qur’an, Khalifah Umar telah menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus jatuh tiga, padahal pada masa Rasulullah hanya jatuh satu, Khalifah Utsman telah memerintahkan penulisan Al-Qur”an dalam satu mushaf dan Khalifah Alipun telah menghukum bakar hidup golongan Syi’ah Radidhah yang memberontak, kemudian diikuti oleh para ulama yang datang sesudahnya.[13]

PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dalam menetapkan hukum-hukum dalam Islam mempunyai sumber-sumber hukum yang bersifat naqli dan aqli. Sumber-sumber hukum yang bersifat naqli tersebut yaitu seperti Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan sumber-sumber hukum yang bersifat aqli yaitu seperti Qiyas, Istishab, Istihsan, Mashlahah Mursalah dan sebagainya. Meskipun ada beberapa metode Ijtihad, namun tidak semua metode tersebut disepakati oleh para ulama.
Ishtihsab adalah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut.
Istihsan adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Mashlahah Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentukan hukum dengan cara mashlahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfa’at dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia.

B.     Saran
Dengan adanya makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kriteria sempurna. Untuk itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pembuatan makalah yang selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin
DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul Wahhab, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Bandung: Risalah, 1972
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh 1, Jakarta, Amzah, 2010
Umar, Muin, dkk, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Departemen Agama RI, 1985
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Amani, 1977
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana, 2008
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005
http://al-badar.net/pengertian-syarat-dan-hukum-maslahah-mursalah/
http://hidayah-cahayapetunjuk.blogspot.com/2012/10/ihtisan-maslahah-mursalah-urf-istishab.html
http://makalah85.blogspot.com/2009/12/istishab.html
http://makalahp.blogspot.com/2011/10/istishab-dan-urf.html




[1] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana), 2008, hal: 365
[2] http://makalah85.blogspot.com/2009/12/istishab.htm
[3] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh 1, (Jakarta, Amzah), 2010, hal: 217
[4] http://makalahp.blogspot.com/2011/10/istishab-dan-urf.html
[5] Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Bandung: Risalah), 1972, hal:136-138
[6] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh 1, (Jakarta, Amzah), 2010, hal: 198
[7] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Amani), 1977, hal: 104
[8] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Amani), 1977, hal: 107
[9]http://hidayah-cahayapetunjuk.blogspot.com/2012/10/ihtisan-maslahah-mursalah-urf-istishab.html
[10] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana), 2008, hal: 345 dan 354
[11] http://al-badar.net/pengertian-syarat-dan-hukum-maslahah-mursalah/
[12] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2005, hal: 425-426
[13] Drs. Muin Umar, dkk, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Departemen Agama RI), 1985, hal:148

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates