September 16, 2015

Perilaku dan Partisipasi Politik

Perilaku politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan perilaku politik contohnya adalah:
• Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin
• Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat
• Ikut serta dalam pesta politik
• Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
• Berhak untuk menjadi pimpinan politik
• Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku
B. Sumber perilaku politik 
Sumber perilaku politik pada dasarnya adalah budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku politik tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kesepakatan ini tidak selalu bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifat tertutup. 
Kesepakatan untuk menerima amplop setiap kali dilakukan pembahasan RUU merupakan kesepakatan gelap (illicit agreement). Membayar "uang pelicin" kepada para petinggi politik untuk mendapatkan dukungan partai dalam rebutan jabatan bupati, wali kota, dan gubernur merupakan tindakan yang dianggap sah dalam budaya politik kita kini. 
Suatu budaya politik biasanya berlaku selama periode tertentu. Ketika datang perubahan penting dalam konstelasi politik, datang pula para pelaku baru dalam gelanggang politik, terbukalah kesempatan untuk memperbarui budaya politik. 
Di negara kita budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda dari budaya politik pada zaman demokrasi parlementer, dan ini berbeda dengan budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde Baru. Zaman reformasi ini juga melahirkan budaya politik baru, yang kemudian melahirkan perilaku politik yang menyusahkan banyak orang. Di sementara kalangan budaya politik kita disebut dengan "budaya politik aji mumpung". 
Politik dapat dimaknai sangat luas hampir tak terbatas. Dalam wacana politik versi Yunani, perhatian utama ilmu politik lebih pada pengetahuan politik, proses dan tindakan para aktor politik. Siapakah pelaku-pelaku politik tersebut? Pelaku politik bisa berupa lembaga, individu maupun kelompok yang memiliki kepentingan politik dan melakukan aktivitas-aktivitas politik, baik yang dilakukan secara formal maupun informal. 
Dalam memahami bentuk perilaku politik, dapat dipergunakan pendekatan respon politik (behavioralisme), yang mengetengahkan partisipasi politik, baik secara historis, sosiologis, tradisional dan lainnya. Partisipasi politik adalah perilaku luar individu warga negara yang bisa diamati dan bukan merupakan perilaku dalam yang berupa sikap atau orientasi. Bentuk partisipasi politik dibedakan menjadi kegiatan politik konvensional (normal dalam demokrasi modern) dan non-konvensional (legal maupun ilegal, penuh kekerasan dan revolusioner).
Dalam partisipasi politik, berarti dimungkinkan terdapat hubungan antara pemerintah dan masyarakatnya. Untuk membangun interaksi antara pemerintah dan masyarakat diperlukan proses, partisipasi dan kontribusi (interaksi timbal balik). Dan peningkatan partisipasi politik, baik secara kualitas maupun kuantitas merupakan kunci demokrasi.
Budaya politik merupakan orientasi psikologis terhadap obyek sosial yang meliputi aspek kognitif, afektif dan evaluatif yang ditujukan kepada sistem politik secara umum. Atau, secara praktis, budaya politik merupakan seperangkat nilai-nilai yang menjadi dasar para aktor untuk menjalankan tindakan-tindakan dalam ranah politik.
Latar budaya politik beraneka ragam, antara lain terdiri atas: ras, etnik, adat, bahasa, agama dan lain sebagainya. Dengan keragaman latar budaya politik tersebut dimungkinkan muncul sengketa politik, yang umumnya berkisar pada kepentingan ekonomi, kekuasaan, dan masalah-masalah khusus misalnya hak-hak warga negara. Penyelesaian persengketaan sulit dilakukan apabila hanya mengakomodasi kepentingan salah satu kepentingan. Maka, diperlukan kesadaran dan partisipasi politik yang bijak untuk mengatasinya.[3]

Definisi partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Silvia Bolgherini. Menurut Bolgherini, partisipasi politik " ... a series of activities related to political life, aimed at influencing public decisions in a more or less direct way—legal, conventional, pacific, or contentious.[5] Bagi Bolgherini, partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung -- dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.
  • Memberikan suara dalam pemilu,
  • Terlibat dalam kampanye,
  • Membentuk dan bergabung dalam organisasi kemasyarakatan,
  • Melakukan diskusi publik, dan
  • Melakukan komunikasi pribadi dengan aktivis politik atau pejabat pemerintah.
  • Demonstrasi,
  • Boikot, dan
  • Pembangkangan sipil.
  • Partisipasi aktif: partisipasi aktif merupakan kegiatan warga negara yang senantiasa menampilkan perilaku tanggap (responsif) terhadap berbagai tahapan kebijakan pemerintah.
  • Partisipasi Militan-Radikal: partisipasi militan-radikal merupakan kegiatan warga negara yang senantiasa menampilkan perilaku tanggap (responsif) terhadap kebijakan pemerintah, namun cenderung mengutamakan cara-cara non-konvensional, termasuk di dalamnya menggunakan cara-cara kekerasan.
  • Partisipasi Pasif: Partisipasi pasif adalah kegiatan warga negara yang menerima atau menaati begitu saja segala kebijakan pemerintah. Jadi, partisipasi pasif cenderung tidak mempersoalkan apapun kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah.
  • Perilaku Apatis: perilaku apatis adalah kegiatan warga negara yang tak mau tahu dengan apapun kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah. Umumnya warga masyarakat bertindak demikian karena merasa kecewa dengan pemerintah dan sistem politik yang ada.
  • Partisipasi Individual: partisipasi individual adalah kegiatan warga negara biasa yang mempengaruhi pemerintah yang dilakukan oleh orang-perorangan.
  • Partisipasi Kolektif: partisipasi kolektif adalah kegiatan warga negara biasa untuk mempengaruhi pemerintah yang dilakukan oleh sejumlah orang atau banyak orang.
  • Partisipasi Langsung: partisipasi langsung adalah kegiatan warga negara biasa untuk mempengaruhi pemerintah, yang dilakukan sendiri tanpa perantaraan pihak lain.
  • Partisipasi tak Langsung: partisipasi tak langsung adalah kegiatan warga negara untuk mempengaruhi pemerintah, yang dilakukan dengan perantaraan pihak lain.
  • Partisipasi Material: partisipasi material adalah kegiatan warga negara untuk mempengaruhi pemerintah, dengan cara memberikan sumbangan materi.
  • Partisipasi Non-Material: partisipasi non-material adalah kegiatan warga negara untuk mempengaruhi pemerintah dengan cara memberikan sumbangan non-materi.
  • Kegiatan Pemilihan: kegiatan pemilihan adalah kegiatan warga negara untuk mempengaruhi pemerintah dengan cara melakukan berbagai kegiatan untuk mempengaruhi hasil Pemilu/Pilkada.
  • Lobbying: lobbying adalah kegiatan warga negara untuk mempengaruhi pemerintah yang dilakukan dengan melakukan pendekatan terhadap pihak-pihak tertentu (pejabat/tokoh).
  • Kegiatan Organisasi: kegiatan organisasi adalah kegiatan warga negara untuk mempengaruhi pemerintah dengan cara menjadi anggota organisasi tertentu.
  • Mencari koneksi: Mencari koneksi adalah kegiata warga negara untuk mempengaruhi pemerintah dengan cara menghubungi orang-orang tertentu untuk memperoleh keuntungan tertentu bagi satu atau beberapa orang.[6]
  1. kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa. 
  1. kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa. 
  1. lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan. 
  1. partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan 
  1. golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.




A.    Rumusan Masalah
Dari uraian diatas rumusan masalah dalam makalah ini antara lain:
1.      Bagaimana perkembangan ilmu politik?
2.      Apakah yang dimaksud dengan ilmu politik?
3.      Apa yang dimaksud dengan perilaku politik?
4.      Apa yang dimaksud dengan partisipasi politik?

PEMBAHASAN
       I.            Perkembangan Ilmu Politik
Apabila ilmu politik dipandang semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki dasar, rangka, fokus dan ruang-lingkup yang sudah jelas, maka dapat dikatakan bahwa ilmu politik masih muda usianya, karena baru lahir pada akhir abad ke-19. Pada tahap itu ilmu politik berkembang secara pesat berdampingan dengan cabang-cabang ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi, dan dalam perkembangan ini mereka saling mempengaruhi.
Akan tetapi, apabila politik ditinjau dalam rangka yang lebih luas, yaitu sebagai pembahasan secara rasionil dari berbagai-bagai aspek negara dan kehidupan politik, maka ilmu politik dapat dikatakan jauh lebih tua umurnya; malahan ia sering dinamakan “ilmu sosial yang tertua” di dunia. Pada taraf perkembangan itu ilmu politik banyak bersandar pada sejarah dan filsafat.
Di indonesia kita mendapati beberapa karya tulisan yang membahas masalah sejarah dan kenegaraan, seperti misalnya Negara kertagama yang ditulis pada masa Majapahit sekitar pada abad ke-13 dan ke-15 M. Dan Babad Tanah Jawi. Sayanglah bahwa di negara-negara Asia tersebut kesusasteraan yang mencakup bahasan politik mulai abad ke-19 telah mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh negara-negara seperti Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan Belanda dalam rangka imperialisme.
Sesudah Perang Dunia II perkembangan ilmu politik semakin pesat. Di negeri Belanda, di mana sampai waktu itu penelitian mengenai negara dimonopoli oleh Fakultas Hukum, didirikan Faculteit der Sociale en Polieteke Wetenschappen (sekarang nama-namanya Faculteit der Sociale Wetenschappen) pada tahun 1947 di Amsterdam. Di Indonesia pun didirikan fakultas-fakultas yang serupa, yang dinamakan Fakultas Sosial dan Politik (Seperti pada Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) atau Fakultas Ilmu-ilmu Sosial (seperti pada Universitas Indonesia, Jakarta) di mana Ilmu Politik merupakan Departemen tersendiri. Akan tetapi, oleh karena pendidikan tinggi ilmu hukum sangat maju, tidaklah mengherankan apabila pada permulaan perkembangannya, ilmu politik di indonesia terpengaruh secara kuat oleh ilmu itu. Akan tetapi dewasa ini konsep-konsep ilmu politik yang baru berangsur-angsur mulai dikenal.
Sementara itu perkembangan ilmu politik di negara-negara Eropa Timur memperlihatkan bahwa pendekatan tradisionil dari segi sejarah, filsafat dan yudiris masih digunakan hingga dewasa ini.[1]

    II.            Pengertian Ilmu Politik
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dalam sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (dicisionmaking) mengenai apakah yang terjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public policies) yang menyangkut peraturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber dan resources yang ada.
Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat persuasi (meyakinkan) dan jika bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai-bagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang seorang (individu).
Perbedaan-perbedaan dalam definisi yang kita jumpai, disebabkan karena setiap sarjana meneropong hanya satu aspek atau unsur dari politik saja. Unsur itu diperlakukannya sebagai konsep pokok, yang dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lainnya. Dari uraian di atas teranglah bahwa konsep-konsep pokok itu adalah:
1)      Negara (state)
2)      Kekuasaan (power)
3)      Pengambilan keputusan (decisionmaking)
4)      Kebijaksanaan (policy, beleid)
5)      Pembagian (distribution) atau alokasi (allokasion)[2]


 III.            Perilaku Politik
A.    Pengertian Perilaku Politik
 IV.            Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik.[4] Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.
 Selain itu partisipasi politik juga dapat diartikan sebagai keikutsertaan warga negara biasa yang tidak mempunyai kewenangan dalam pemerintahan berdasarkan kesadaran sendiri guna mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.

 Dalam sistem politik demokratis, budaya politik yang semestinya ditumbuh-kembangkan warga negara adalah budaya politik partisipatif. Budaya politik partisipatif ini dapat berupa sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi, dan sejenisnya yang dapat menopang terwujudnya partisipasi politik. Partisipasi politik dapat dilakukan dengan cara konvensional dan cara non-konvensional.
Contoh partisipasi politik yang dilakukan secara konvensional antara lain :
Sedangkan contoh partisipasi politik yang dilakukan secara non-konvensional antara lain:
Berikut ini adalah tipe-tipe partisipasi politik antara lain:
Partisipasi politik dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Berdasarkan jumlah pelaku, bentuk partisipasi politik bisa dibedakan menjadi:
Sedangkan berdasarkan keterlibatan si pelaku, partisipasi politik bisa dibedakan menjadi:
Berdasarkan wujud sumbangan yang diberikan, partisipasi politik bisa dibedakan:
Berdasarkan jenis-jenis perilakunya, partisipasi politik bisa dibedakan:

Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi: [7]

[1] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006) hlm.1-3
[2] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006) hlm.3-9
[4] Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) hlm. 9-10.
[5] Silvia Bolgherini, "Participation" dalam Mauro Calise and Theodore J. Lowi, Hyperpolitics: An Interactive Dictionary of Political Science Concept (Chicago: The University of Chicago, 2010) hlm. 169.
[7] Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi ... op.cit.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates