Perilaku dan Partisipasi Politik
Perilaku
politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh
insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan
politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak
dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan
perilaku politik contohnya adalah:
• Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin
• Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat
• Ikut serta dalam pesta politik
• Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
• Berhak untuk menjadi pimpinan politik
• Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku
B. Sumber perilaku politik
Sumber perilaku politik pada dasarnya adalah budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku politik tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kesepakatan ini tidak selalu bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifat tertutup.
Kesepakatan untuk menerima amplop setiap kali dilakukan pembahasan RUU merupakan kesepakatan gelap (illicit agreement). Membayar "uang pelicin" kepada para petinggi politik untuk mendapatkan dukungan partai dalam rebutan jabatan bupati, wali kota, dan gubernur merupakan tindakan yang dianggap sah dalam budaya politik kita kini.
Suatu budaya politik biasanya berlaku selama periode tertentu. Ketika datang perubahan penting dalam konstelasi politik, datang pula para pelaku baru dalam gelanggang politik, terbukalah kesempatan untuk memperbarui budaya politik.
Di negara kita budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda dari budaya politik pada zaman demokrasi parlementer, dan ini berbeda dengan budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde Baru. Zaman reformasi ini juga melahirkan budaya politik baru, yang kemudian melahirkan perilaku politik yang menyusahkan banyak orang. Di sementara kalangan budaya politik kita disebut dengan "budaya politik aji mumpung".
Politik dapat dimaknai sangat luas hampir tak terbatas. Dalam wacana politik versi Yunani, perhatian utama ilmu politik lebih pada pengetahuan politik, proses dan tindakan para aktor politik. Siapakah pelaku-pelaku politik tersebut? Pelaku politik bisa berupa lembaga, individu maupun kelompok yang memiliki kepentingan politik dan melakukan aktivitas-aktivitas politik, baik yang dilakukan secara formal maupun informal.
Dalam memahami bentuk perilaku politik, dapat dipergunakan pendekatan respon politik (behavioralisme), yang mengetengahkan partisipasi politik, baik secara historis, sosiologis, tradisional dan lainnya. Partisipasi politik adalah perilaku luar individu warga negara yang bisa diamati dan bukan merupakan perilaku dalam yang berupa sikap atau orientasi. Bentuk partisipasi politik dibedakan menjadi kegiatan politik konvensional (normal dalam demokrasi modern) dan non-konvensional (legal maupun ilegal, penuh kekerasan dan revolusioner).
Dalam partisipasi politik, berarti dimungkinkan terdapat hubungan antara pemerintah dan masyarakatnya. Untuk membangun interaksi antara pemerintah dan masyarakat diperlukan proses, partisipasi dan kontribusi (interaksi timbal balik). Dan peningkatan partisipasi politik, baik secara kualitas maupun kuantitas merupakan kunci demokrasi.
Budaya politik merupakan orientasi psikologis terhadap obyek sosial yang meliputi aspek kognitif, afektif dan evaluatif yang ditujukan kepada sistem politik secara umum. Atau, secara praktis, budaya politik merupakan seperangkat nilai-nilai yang menjadi dasar para aktor untuk menjalankan tindakan-tindakan dalam ranah politik.
Latar budaya politik beraneka ragam, antara lain terdiri atas: ras, etnik, adat, bahasa, agama dan lain sebagainya. Dengan keragaman latar budaya politik tersebut dimungkinkan muncul sengketa politik, yang umumnya berkisar pada kepentingan ekonomi, kekuasaan, dan masalah-masalah khusus misalnya hak-hak warga negara. Penyelesaian persengketaan sulit dilakukan apabila hanya mengakomodasi kepentingan salah satu kepentingan. Maka, diperlukan kesadaran dan partisipasi politik yang bijak untuk mengatasinya.[3]
Definisi partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Silvia Bolgherini. Menurut Bolgherini, partisipasi politik " ... a series of activities related to political life, aimed at influencing public decisions in a more or less direct way—legal, conventional, pacific, or contentious.[5] Bagi Bolgherini, partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung -- dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.
• Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin
• Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat
• Ikut serta dalam pesta politik
• Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
• Berhak untuk menjadi pimpinan politik
• Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku
B. Sumber perilaku politik
Sumber perilaku politik pada dasarnya adalah budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku politik tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kesepakatan ini tidak selalu bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifat tertutup.
Kesepakatan untuk menerima amplop setiap kali dilakukan pembahasan RUU merupakan kesepakatan gelap (illicit agreement). Membayar "uang pelicin" kepada para petinggi politik untuk mendapatkan dukungan partai dalam rebutan jabatan bupati, wali kota, dan gubernur merupakan tindakan yang dianggap sah dalam budaya politik kita kini.
Suatu budaya politik biasanya berlaku selama periode tertentu. Ketika datang perubahan penting dalam konstelasi politik, datang pula para pelaku baru dalam gelanggang politik, terbukalah kesempatan untuk memperbarui budaya politik.
Di negara kita budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda dari budaya politik pada zaman demokrasi parlementer, dan ini berbeda dengan budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde Baru. Zaman reformasi ini juga melahirkan budaya politik baru, yang kemudian melahirkan perilaku politik yang menyusahkan banyak orang. Di sementara kalangan budaya politik kita disebut dengan "budaya politik aji mumpung".
Politik dapat dimaknai sangat luas hampir tak terbatas. Dalam wacana politik versi Yunani, perhatian utama ilmu politik lebih pada pengetahuan politik, proses dan tindakan para aktor politik. Siapakah pelaku-pelaku politik tersebut? Pelaku politik bisa berupa lembaga, individu maupun kelompok yang memiliki kepentingan politik dan melakukan aktivitas-aktivitas politik, baik yang dilakukan secara formal maupun informal.
Dalam memahami bentuk perilaku politik, dapat dipergunakan pendekatan respon politik (behavioralisme), yang mengetengahkan partisipasi politik, baik secara historis, sosiologis, tradisional dan lainnya. Partisipasi politik adalah perilaku luar individu warga negara yang bisa diamati dan bukan merupakan perilaku dalam yang berupa sikap atau orientasi. Bentuk partisipasi politik dibedakan menjadi kegiatan politik konvensional (normal dalam demokrasi modern) dan non-konvensional (legal maupun ilegal, penuh kekerasan dan revolusioner).
Dalam partisipasi politik, berarti dimungkinkan terdapat hubungan antara pemerintah dan masyarakatnya. Untuk membangun interaksi antara pemerintah dan masyarakat diperlukan proses, partisipasi dan kontribusi (interaksi timbal balik). Dan peningkatan partisipasi politik, baik secara kualitas maupun kuantitas merupakan kunci demokrasi.
Budaya politik merupakan orientasi psikologis terhadap obyek sosial yang meliputi aspek kognitif, afektif dan evaluatif yang ditujukan kepada sistem politik secara umum. Atau, secara praktis, budaya politik merupakan seperangkat nilai-nilai yang menjadi dasar para aktor untuk menjalankan tindakan-tindakan dalam ranah politik.
Latar budaya politik beraneka ragam, antara lain terdiri atas: ras, etnik, adat, bahasa, agama dan lain sebagainya. Dengan keragaman latar budaya politik tersebut dimungkinkan muncul sengketa politik, yang umumnya berkisar pada kepentingan ekonomi, kekuasaan, dan masalah-masalah khusus misalnya hak-hak warga negara. Penyelesaian persengketaan sulit dilakukan apabila hanya mengakomodasi kepentingan salah satu kepentingan. Maka, diperlukan kesadaran dan partisipasi politik yang bijak untuk mengatasinya.[3]
Definisi partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Silvia Bolgherini. Menurut Bolgherini, partisipasi politik " ... a series of activities related to political life, aimed at influencing public decisions in a more or less direct way—legal, conventional, pacific, or contentious.[5] Bagi Bolgherini, partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung -- dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.
- Memberikan suara dalam pemilu,
- Terlibat dalam kampanye,
- Membentuk dan bergabung dalam organisasi kemasyarakatan,
- Melakukan diskusi publik, dan
- Melakukan komunikasi pribadi dengan aktivis politik atau pejabat pemerintah.
- Demonstrasi,
- Boikot, dan
- Pembangkangan sipil.
- Partisipasi aktif: partisipasi aktif merupakan kegiatan warga negara yang senantiasa menampilkan perilaku tanggap (responsif) terhadap berbagai tahapan kebijakan pemerintah.
- Partisipasi Militan-Radikal: partisipasi militan-radikal merupakan kegiatan warga negara yang senantiasa menampilkan perilaku tanggap (responsif) terhadap kebijakan pemerintah, namun cenderung mengutamakan cara-cara non-konvensional, termasuk di dalamnya menggunakan cara-cara kekerasan.
- Partisipasi Pasif: Partisipasi pasif adalah kegiatan warga negara yang menerima atau menaati begitu saja segala kebijakan pemerintah. Jadi, partisipasi pasif cenderung tidak mempersoalkan apapun kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah.
- Perilaku Apatis: perilaku apatis adalah kegiatan warga negara yang tak mau tahu dengan apapun kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah. Umumnya warga masyarakat bertindak demikian karena merasa kecewa dengan pemerintah dan sistem politik yang ada.
- Partisipasi Individual: partisipasi individual adalah kegiatan warga negara biasa yang mempengaruhi pemerintah yang dilakukan oleh orang-perorangan.
- Partisipasi Kolektif: partisipasi kolektif adalah kegiatan warga negara biasa untuk mempengaruhi pemerintah yang dilakukan oleh sejumlah orang atau banyak orang.
- Partisipasi Langsung: partisipasi langsung adalah kegiatan warga negara biasa untuk mempengaruhi pemerintah, yang dilakukan sendiri tanpa perantaraan pihak lain.
- Partisipasi tak Langsung: partisipasi tak langsung adalah kegiatan warga negara untuk mempengaruhi pemerintah, yang dilakukan dengan perantaraan pihak lain.
- Partisipasi Material: partisipasi material adalah kegiatan warga negara untuk mempengaruhi pemerintah, dengan cara memberikan sumbangan materi.
- Partisipasi Non-Material: partisipasi non-material adalah kegiatan warga negara untuk mempengaruhi pemerintah dengan cara memberikan sumbangan non-materi.
- Kegiatan Pemilihan: kegiatan pemilihan adalah kegiatan warga negara untuk mempengaruhi pemerintah dengan cara melakukan berbagai kegiatan untuk mempengaruhi hasil Pemilu/Pilkada.
- Lobbying: lobbying adalah kegiatan warga negara untuk mempengaruhi pemerintah yang dilakukan dengan melakukan pendekatan terhadap pihak-pihak tertentu (pejabat/tokoh).
- Kegiatan Organisasi: kegiatan organisasi adalah kegiatan warga negara untuk mempengaruhi pemerintah dengan cara menjadi anggota organisasi tertentu.
- Mencari koneksi: Mencari koneksi adalah kegiata warga negara untuk mempengaruhi pemerintah dengan cara menghubungi orang-orang tertentu untuk memperoleh keuntungan tertentu bagi satu atau beberapa orang.[6]
- kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
- kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa.
- lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.
- partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan
- golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.
A.
Rumusan Masalah
Dari uraian
diatas rumusan masalah dalam makalah ini antara lain:
1.
Bagaimana
perkembangan ilmu politik?
2.
Apakah yang
dimaksud dengan ilmu politik?
3.
Apa yang
dimaksud dengan perilaku politik?
4.
Apa yang
dimaksud dengan partisipasi politik?
PEMBAHASAN
I.
Perkembangan
Ilmu Politik
Apabila ilmu politik dipandang
semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki
dasar, rangka, fokus dan ruang-lingkup yang sudah jelas, maka dapat dikatakan
bahwa ilmu politik masih muda usianya, karena baru lahir pada akhir abad ke-19.
Pada tahap itu ilmu politik berkembang secara pesat berdampingan dengan
cabang-cabang ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi, antropologi, dan
psikologi, dan dalam perkembangan ini mereka saling mempengaruhi.
Akan tetapi, apabila politik
ditinjau dalam rangka yang lebih luas, yaitu sebagai pembahasan secara rasionil
dari berbagai-bagai aspek negara dan kehidupan politik, maka ilmu politik dapat
dikatakan jauh lebih tua umurnya; malahan ia sering dinamakan “ilmu sosial yang
tertua” di dunia. Pada taraf perkembangan itu ilmu politik banyak bersandar
pada sejarah dan filsafat.
Di indonesia kita mendapati
beberapa karya tulisan yang membahas masalah sejarah dan kenegaraan, seperti
misalnya Negara kertagama yang ditulis pada masa Majapahit sekitar pada abad
ke-13 dan ke-15 M. Dan Babad Tanah Jawi. Sayanglah bahwa di negara-negara Asia
tersebut kesusasteraan yang mencakup bahasan politik mulai abad ke-19 telah
mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh
negara-negara seperti Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan Belanda dalam rangka
imperialisme.
Sesudah Perang Dunia II
perkembangan ilmu politik semakin pesat. Di negeri Belanda, di mana sampai
waktu itu penelitian mengenai negara dimonopoli oleh Fakultas Hukum, didirikan
Faculteit der Sociale en Polieteke Wetenschappen (sekarang nama-namanya
Faculteit der Sociale Wetenschappen) pada tahun 1947 di Amsterdam. Di Indonesia
pun didirikan fakultas-fakultas yang serupa, yang dinamakan Fakultas Sosial dan
Politik (Seperti pada Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) atau Fakultas
Ilmu-ilmu Sosial (seperti pada Universitas Indonesia, Jakarta) di mana Ilmu
Politik merupakan Departemen tersendiri. Akan tetapi, oleh karena pendidikan
tinggi ilmu hukum sangat maju, tidaklah mengherankan apabila pada permulaan
perkembangannya, ilmu politik di indonesia terpengaruh secara kuat oleh ilmu
itu. Akan tetapi dewasa ini konsep-konsep ilmu politik yang baru
berangsur-angsur mulai dikenal.
Sementara itu perkembangan ilmu
politik di negara-negara Eropa Timur memperlihatkan bahwa pendekatan
tradisionil dari segi sejarah, filsafat dan yudiris masih digunakan hingga
dewasa ini.[1]
II.
Pengertian Ilmu
Politik
Pada
umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan
dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dalam sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (dicisionmaking)
mengenai apakah yang terjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi
antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan
yang telah dipilih itu.
Untuk
melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public policies) yang menyangkut
peraturan dan pembagian (distribution)
atau alokasi (allocation) dari
sumber-sumber dan resources yang ada.
Untuk
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang akan
dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang
mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat persuasi (meyakinkan) dan jika bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan
kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan
(statement of intent) belaka.
Politik
selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan
bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagipula politik menyangkut
kegiatan berbagai-bagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang
seorang (individu).
Perbedaan-perbedaan
dalam definisi yang kita jumpai, disebabkan karena setiap sarjana meneropong
hanya satu aspek atau unsur dari politik saja. Unsur itu diperlakukannya
sebagai konsep pokok, yang dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lainnya.
Dari uraian di atas teranglah bahwa konsep-konsep pokok itu adalah:
1)
Negara
(state)
2)
Kekuasaan
(power)
3)
Pengambilan
keputusan (decisionmaking)
4)
Kebijaksanaan
(policy, beleid)
5)
Pembagian
(distribution) atau alokasi (allokasion)[2]
III.
Perilaku
Politik
A.
Pengertian
Perilaku Politik
IV.
Partisipasi
Politik
Partisipasi politik adalah kegiatan
warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik.[4] Partisipasi
politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus
ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan
dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.
Selain
itu partisipasi politik juga dapat diartikan sebagai keikutsertaan warga negara biasa
yang tidak mempunyai kewenangan dalam pemerintahan berdasarkan kesadaran
sendiri guna mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
Dalam sistem politik demokratis, budaya
politik yang semestinya ditumbuh-kembangkan warga negara adalah budaya politik
partisipatif. Budaya politik partisipatif ini dapat berupa sistem keyakinan,
sikap, norma, persepsi, dan sejenisnya yang dapat menopang terwujudnya
partisipasi politik. Partisipasi politik dapat dilakukan dengan cara
konvensional dan cara non-konvensional.
Contoh
partisipasi politik yang dilakukan secara konvensional antara lain :
Sedangkan
contoh partisipasi politik yang dilakukan secara non-konvensional antara lain:
Berikut ini
adalah tipe-tipe partisipasi politik antara lain:
Partisipasi politik dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Berdasarkan jumlah pelaku, bentuk partisipasi politik bisa
dibedakan menjadi:
Sedangkan berdasarkan keterlibatan
si pelaku, partisipasi politik bisa dibedakan menjadi:
Berdasarkan wujud sumbangan yang
diberikan, partisipasi politik bisa dibedakan:
Berdasarkan jenis-jenis perilakunya,
partisipasi politik bisa dibedakan:
Landasan
partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan
kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi
politik ini menjadi: [7]
[1] Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006) hlm.1-3
[2] Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006) hlm.3-9
[3] http://mediakita-kita.blogspot.com/2009/01/perilaku-dan-partisipasi-politik-di.html. Di unduh pada pada tanggal 12 September 2014
[4]
Samuel P. Huntington dan Joan
Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1990) hlm. 9-10.
[5]
Silvia Bolgherini, "Participation"
dalam Mauro Calise and Theodore J. Lowi, Hyperpolitics: An Interactive
Dictionary of Political Science Concept (Chicago: The University of
Chicago, 2010) hlm. 169.
[6] http://www.pengertianahli.com/2013/12/pengertian-partisipasi-politik.html . Di unduh pada tanggal 12 September
2014
[7]
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi
... op.cit.
0 komentar:
Post a Comment