Tafsir Al Imran 159 Asas Manajemen
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Banyaknya
kekurangan saat kita ingin memperoleh sesuatu hingga pada titik maksimal di era yang modern ini kita tidak pernah terlepas yang namanya manajemen
apakah itu dalam skala besar maupun kecil dan itu terjadi di kehidupan
sehari-hari kita, orang yang memiliki jiwa manajemen yang baik akan mampu
memanajemen suatu kegiatan dengan baik
pula.
Dalam kehidupan
di dunia ini perlu adanya manajemen yang menuju kesempurnaan, Maka dari itu
turunlah surah al- imron 159.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka
rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut:
1.
Apa ayat tentang asas-asas manajemen?
2.
Apa sebab nuzul QS. Al-Imron :159?
3.
Bagaimana munasabah QS. Al-Imron :159?
4.
Bagaimana tafsir QS. Al-Imron :159?
5.
Bagaimana hukum asas-asas manajemen?
6.
Apa hikmah ayat tentang asas-asas manajemen?
\
PEMBAHASAN
A. Teks Al-Qur’an
فَبِمَا رَحۡمَةٍ۬ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ
فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡہُمۡ
وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِى ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ
عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S Ali Imran
ayat 159)[1]
B.
Kosakata
Lafadz
|
Arti
|
Lafadz
|
Arti
|
فَبِمَا
|
Maka disebabkan
|
عَنْهُمْ
|
Pada mereka
|
رَحْمَةٍ
|
Rahmat (kasih sayang)
|
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
|
Dan mohonkan ampun bagi mereka
|
مِنَ اللَّهِ
|
Dari Allah
|
وَشَاوِرْهُمْ
|
Dan musyawarahlah dengan mereka
|
لِنْتَ لَهُمْ
|
Kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka
|
فِي الأمْرِ
|
Dalam suatu urusan
|
وَلَوْ كُنْتَ
|
Sekiranya kamu bersikap
|
فَإِذَا عَزَمْتَ
|
Maka apabila kamu telah bersepakat
|
فَظًّا
|
Berperilaku kasar
|
فَتَوَكَّلْ
|
Maka berserahdirilah
|
غَلِيظَ الْقَلْبِ
|
Berhati kasar
|
عَلَى اللَّهِ
|
Kepada Allah
|
لانْفَضُّوا
|
Tentulah mereka menjauhkan diri
|
إِنَّ اللَّهَ
|
Sesungguhnya Allah
|
مِنْ حَوْلِكَ
|
Dari sekelilingmu
|
يُحِبُّ
|
Menyukai
|
فَاعْفُ
|
Maka maafkanlah
|
الْمُتَوَكِّلِينَ
|
Orang-orang yang bertawakal
|
C.
Asbabun
Nuzul
Sebab – sebab
turunya ayat ini kepada Nabi Muhammad saw adalah sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ra menjelaskan bahwasanya setelah terjadinya perang
Badar, Rasulullah mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththab ra untuk meminta
pendapat meraka tentang para tawanan perang, Abu Bakar ra berpendapat, meraka
sebaiknya dikembalikan kepada keluargannya dan keluargannya membayar tebusan.
Namun, Umar ra berpendapat mereka sebaiknya dibunuh. Yang diperintah membunuh
adalah keluarganya. Rasulullah mesulitan dalam memutuskan. Kemudian turunlah
ayat ini sebagai dukungan atas Abu Bakar (HR. Kalabi).[2]
D.
Munasabah
Korelasi antara
ayat sebelum dan sesudah QS. Al-Imron : 158-160
Ayat sebelumnya : 158
Ayat sebelumnya : 158
“
Dan sesungguhnya jika kamu mati atau terbunuh , tentu akan dikumpulkan kembali
kepada Allah.”
Ayat ini : 159
“ Maka dengan rahmat Allah, engkau menjadi
lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau berlaku kasar lagi keras hati,
tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan. Maka apabila kamu telah
bertekad untuk mengerjakan sesuatu sesudah musyawarah (apabila engkau telah
mengambil keputusan), maka bertaqwalah kepada Allah. Bahwasanya Allah menyukai
orang-orang yang bermakna ”.
Ayat sesudahnya : 160
“ Jika Allah menolong kamu, maka tidak ada
yang dapat mengalahkan kamu dan jika Allah mau mengalahkan kamu maka siapakah
yang akan menolong kamu selain dari pada Allah? Dan kepada Allah lah hendaklah
orang-orang mukmin itu bertawakkal”.
E. Tafsir QS. Ali ‘Imran ayat 159
Menurut Ibnu
Kaisan, Maa adalah Maa Nakirah yang berada pada posisi majrur dengan
sebab ba’, sedangkan
Rahmatin adalah badalnya. Maka makna ayat adalah ketika Rasulullah SAW bersikap
lemah-lembut dengan orang yang berpaling pada perang uhud dan tidak bersikap
kasar terhadap mereka maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau dapat melakukan
itu dengan sebab taufik-Nya kepada beliau.[3]
Prof Hamka
Menjelaskan tentang QS. Ali Imran ini, dalam ayat ini bertemulah pujian yang
tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak
lekas marah kepada ummatNya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka
lebih sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa orang yang meninggalkan
tugasnya, karena laba akan harta itu, namun Rasulullah tidaklah terus
marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin.[4]
Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap
yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh
Allah rahmatNya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan
Allah ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap
beliau dalam memimpin
Meskipun dalam
keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan
oleh sebagian kaum muslimin dalam perang uhud sehingga menyebabkan kaum
muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak
marah terhadap pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari
Allah untuk mereka. Andaikata Nabi Muhammad saw bersikap keras, berhati kasar
tentulah mereka akan menjauhkan diri dari beliau.
Disamping itu
Nabi Muhammad selalu bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi
dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum muslimin patuh melaksanakan
putusan – putusan musyawarah itu karena keputusan itu merupakan keputusan
mereka sendiri bersama Nabi. Mereka tetap berjuang dan berjihad dijalan Allah
dengan tekad ayng bulat tanpa menghiraukan bahaya dan kesulitan yang mereka
hadapi. Mereka bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat
membela kaum muslimin selain Allah.[5]
M. Quraish
Shihab di dalam Tafsirnya al-Misbah menyatakan bahwa ayat ini diberikan Allah
kepada Nabi Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya, sambil menyebutkan sikap
lemah lembut Nbi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan
pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup banyak hal dalam
peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi manusia untuk marah, namun
demikian, cukuo banyak pula bukti yang menunjukan kelemah lembutan Nabi saw.
Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan perang, beliau menerima
usukan mayoritas mereka, walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki dam
mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya
menegurnya dengan halus, dan lain lain.
Jika demikian,
maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, sebagaimana dipahami dari
bentuk infinitif (nakirah) dari kata rahmat, bukan oleh satu sebab yang lain
sebagaiman dipahami dari huruf (ما) maa yang digunakan disini dalam kontek
penetapan rahmat-Nya – disebabkan karena rahmat Allah itu – engkau berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras, buruk perangai,
kasar kata lagi berhati kasar tidak peka terhadap keadaan orang lain, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, disebabkan oleh antipati terhadapmu.
Karena perangimu tidak seperti itu maka maafkanlah kesalahan – kesalahan mereka
yang kali ini mereka lakukan, mohonkanlah ampunan kepada Allah bagi mereka atas
dosa-dosa yang mereka lakukan dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu, yakni dalam urusan peperangan daln urusan dunia, bukan urusan syari’at
atau agama. Kemudian apabila engkau telah melakukan hal-hal di atas dan telah
membulatkan tekad, melaksanakan hasil musyawarah kamu, maka laksanakanlah
sambil bertawakal kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya, dengan demikian Dia akan membantu dan membimbing mereka kearah apa
yang mereka harapkan.
Firman-Nya:
maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, engkau berlaku lemah lembut
terhadap mereka dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah sendiri yang
mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad saw, sebagaimana sabda Beliau
: “Aku didik oleh tuhan-Ku, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya”.
Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuan yang Allah
limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu al-Qur’an, tetapi juga qalbu beliau
disinari, bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Adapun kandungan dari QS. Ali ‘Imran ayat
159 adalah sebagai berikut:
Pertama: Para
ulama berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan
perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya, Allah SWT memerintahkan
kepada beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau.
Setelah mereka mendapat maaf, Allah SWT memerintahkan beliau utnuk memintakan
ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah SWT. Setelah mereka mendapat hal
ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara”.
Kedua: Ibnu
‘Athiyah berkata, “Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan penetapan
hokum-hukum. Barangsiapa yang tidak bermusyawarah dengan ulama, maka wajib
diberhentikan (jika dia seorang pemimpin). Tidak ada pertentangan tentang hal
ini. Allah SWT memuji orang-orang yang beriman karena mereka suka bermusyawarah
dengan firman Nya “sedang urusan mereka (diputuskan dengan musyawarat antara
mereka”
Ketiga: Firman
Allah SWT: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Menunjukkan
kebolehan ijtihad dalam semua perkara dan menentukan perkiraan bersama yang
didasari dengan wahyu. Sebab, Allah SWT
mengizinkan hal ini kepada Rasul-Nya. Para ulama berbeda pendapat tentang makna
perintah Allah SWT kepada Nabi-Nya ntuk bermusyawarah dengan para sahabat
beliau.
Sekelompok
ulama berkata, “Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal taktik perang dan
ketika berhadapan dengan musuh untuk menenangkan hati mereka, meninggikan
derajat mereka dan menumbuhkan rasa cinta kepada agama mereka, sekalipun Allah
SWT telah mencukupkan beliau dengan wahyu-Nya dari pendapat mereka”.
Kelompok lain
berkata, “ Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal yang tidak ada wahyu
tentangnya,” pendapat ini diriwayatkan dari Hasan Al Basri dan Dhahak. Mereka
berkata, “Allah SWt tidak memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk bermusyawarah
karena Dia membutuhkan pendapat mereka, akan tetapi Dia hanya ingin
memberitahukan keutamaan yang ada di dalam musyawarah kepada mereka dan agar
umat beliau dapat menauladaninya.[6]
Keempat:
Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah ra. Dia berkata. “Rasulullah
SAW bersabda, yang artinya: “Orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang
dapat dipercaya”. Para ulama berkata, “Kriteria orang yang layak untuk diajak
musyawarah dalam masalah hokum adalah memiliki ilmu dan mengamalkan ajaran
agama. Dan criteria ini jarang sekali ada kecuali pada orang yang berakal”.
Hasan berkata, “Tidaklah sempurna agama seseorang selama akalnya belum
sempurna”.[7]
Maka apabila
orang yang memenuhi kriteria di atas
diajak untuk bermusyawarah dan dia
bersungguh-sungguh dalam memberikan pendapat namun pendapat yang disampaikannya
keliru maka tidak ada ganti rugi atasnya. Demikian yang dikatakan oleh Al
Khaththabi dan lainnya.
Kelima:
keriteria orang yang
diajak bermusyawarah dalam masalah
kehidupan di masyarakat adalah memiliki akal, pengalaman dan santun
kepada orang yang mengajak bermusyawarah. Sebagian orang berkata,
“Bermusyawarahlah dengan orang yang memiliki pengalaman, sebab dia akan
memberikan pendapatnya kepadamu berdasarkan pengalaman berharga yang pernah
dialaminya dan kamu mendapatnya dengan cara gratis”.
Keenam: Dalam
musyawarah pasti ada perbedaan pendapat. Maka, orang yang bermusyawarah harus
memperhatikan perbedaan itu dan memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan
kitabullah dan sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah SWT telah menunjukkan kepada sesuatu yang Dia
kehendaki maka hendaklah orang yang bermusyawarah menguatkan tekad untuk
melaksanakannya sambil bertawakal kepada-Nya, sebab inilah akhir ijtihad yang
dikehendaki. Dengan ini pula Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat
ini.
Ketujuh: Firman
Allah SWT “Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah”. Qatadah berkata, “Allah SWT
memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan tekad atas suatu
perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal kepada Allah SWT, bukan tawakal
kepada musyawarah mereka.
Kedelapan:
Firman Allah SWT“Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”. Tawakal artinya berpegang teguh
kepada Allah SWT sembari menampakkan kelemahan. Para ulama berbeda pendapat
tentang Tawakal. Suatu kelompok sufi berkata, “Tidak akan dapat melakukannya
kecuali orang yang hatinya tidak dicampuri oleh takut kepada Allah, baik takut
kepada bintang buas atau lainnya dan hingga dia meninggalkan usaha mencari
rezeki karena yakin dengan jaminan Allah SWT.”[8]
F. Hukum
Hukum asas-asas manajemen yaitu sangat dianjurkan oleh Allah SWT. Karena
dalam firman-Nya telah disebutkan bahwa kita harus mengatur semua urusan yang
telah ada.
G. Hikmah
1. Lebih terkonsep saat kita menyerukan sesuatu.
2. Bisa mencapai tujuan apa yang diharapkan.
PENUTUP
a. Kesimpulan
Pada surat al imran ayat 159
telah di jelaskan kita di anjurkan berprilaku lemah lembut dan larangan untuk
berperilaku keras agar tak ada yang lari dari kita, dan untuk memecahkan
permalahan perlu adanya musyawarah.
Sebab-sebab turunnya ayat ini adalah setelah
terjadinya perang badar tentang orang-orang tawanan, saat rasulullah mengajak
musyawarah kepada sahabatnya tentang orang-orang tawanan dan rasulullah bimbang
atas memutuskan sesuatu.
b. Saran
Dengan adanya makaalah ini penulis berharap dapat memenuhi tugas mata kuliah
tafsir dengan baik. Penulis menyadari makalah ini banyak kekurangan, Oleh
karena itu kritik dan saran penulis mengharapkan untuk menyempurnakan makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid
kode Angka Al- Hidayah. (Banten: Penerbit Kalim. 2011).
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1980).
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan
tafsirnya Jilid 2 Juz 4-5-6. (Jakarta: Kementrian Agama RI. . 2009).
Rifai, Moh. terjemah /tafsir al Quranul karim, (Semarang:
CV. Wicaksana, 1993).
Tafsir Al-Qurthubi; penerjemahm Dusi Rosyadi, Nashirul
Haq, Fathurrahman, editor, Ahmad Zubairin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008).
[1] Moh. Rifai, terjemah /tafsir al Quranul karim,
(Semarang: CV. Wicaksana, 1993). hlm 152-153.
[2] Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid kode Angka Al-
Hidayah. (Banten: Penerbit Kalim. 2011) hlm. 72.
[3] Tafsir Al-Qurthubi; penerjemahm Dusi Rosyadi,
Nashirul Haq, Fathurrahman, editor, Ahmad Zubairin, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008), hlm. 619.
[4] Prof. Dr Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1980),
hal 129
[5] Kementerian
Agama RI. Al-Qur’an dan tafsirnya Jilid 2 Juz 4-5-6. (Jakarta:
Kementrian Agama RI. . 2009) hlm. 67, lihat juga Al-Qur’an dan tafsirnya
Jilid 2 Juz 4-5-6. (Jakarta: Kementrian Agama RI.2010) hlm. 67
[6] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,624
[7] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,625
[8] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,628-632
0 komentar:
Post a Comment