September 10, 2015

Tafsir Al Imran 159 Asas Manajemen

PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Banyaknya kekurangan saat kita ingin memperoleh sesuatu hingga pada titik maksimal di era yang modern ini kita tidak pernah terlepas yang namanya manajemen apakah itu dalam skala besar maupun kecil dan itu terjadi di kehidupan sehari-hari kita, orang yang memiliki jiwa manajemen yang baik akan mampu memanajemen  suatu kegiatan dengan baik pula.
Dalam kehidupan di dunia ini perlu adanya manajemen yang menuju kesempurnaan, Maka dari itu turunlah surah al- imron 159.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut:
1.      Apa ayat tentang asas-asas manajemen?
2.      Apa sebab nuzul QS. Al-Imron :159?
3.      Bagaimana munasabah QS. Al-Imron :159?
4.      Bagaimana tafsir QS. Al-Imron :159?
5.      Bagaimana hukum asas-asas manajemen?
6.      Apa hikmah ayat tentang asas-asas manajemen?

\
PEMBAHASAN
A.    Teks Al-Qur’an

فَبِمَا رَحۡمَةٍ۬ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡ‌ۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَ‌ۖ فَٱعۡفُ عَنۡہُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِى ٱلۡأَمۡرِ‌ۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ 

Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S Ali Imran ayat 159)[1]

B.     Kosakata

Lafadz
Arti
Lafadz
Arti
فَبِمَا
Maka disebabkan
عَنْهُمْ
Pada mereka
 رَحْمَةٍ
Rahmat (kasih sayang)
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
Dan mohonkan ampun bagi mereka
مِنَ اللَّهِ
Dari Allah
وَشَاوِرْهُمْ
Dan musyawarahlah dengan mereka
لِنْتَ لَهُمْ
Kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka
فِي الأمْرِ
Dalam suatu urusan
وَلَوْ كُنْتَ
Sekiranya kamu bersikap
فَإِذَا عَزَمْتَ
Maka apabila kamu telah bersepakat
فَظًّا
Berperilaku kasar
فَتَوَكَّلْ
Maka berserahdirilah
غَلِيظَ الْقَلْبِ
Berhati kasar
عَلَى اللَّهِ
Kepada Allah
لانْفَضُّوا
Tentulah mereka menjauhkan diri
إِنَّ اللَّهَ
Sesungguhnya Allah
مِنْ حَوْلِكَ
Dari sekelilingmu
يُحِبُّ
Menyukai
 فَاعْفُ
Maka maafkanlah
 الْمُتَوَكِّلِينَ
Orang-orang yang bertawakal

C.     Asbabun Nuzul
Sebab – sebab turunya ayat ini kepada Nabi Muhammad saw adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ra menjelaskan bahwasanya setelah terjadinya perang Badar, Rasulullah mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar  ra dan Umar bin Khaththab ra untuk meminta pendapat meraka tentang para tawanan perang, Abu Bakar ra berpendapat, meraka sebaiknya dikembalikan kepada keluargannya dan keluargannya membayar tebusan. Namun, Umar ra berpendapat mereka sebaiknya dibunuh. Yang diperintah membunuh adalah keluarganya. Rasulullah mesulitan dalam memutuskan. Kemudian turunlah ayat ini sebagai dukungan atas Abu Bakar (HR. Kalabi).[2]
D.    Munasabah
Korelasi antara ayat sebelum dan sesudah QS. Al-Imron : 158-160
 Ayat sebelumnya : 158
 “ Dan sesungguhnya jika kamu mati atau terbunuh , tentu akan dikumpulkan kembali kepada Allah.”  
Ayat ini : 159
Maka dengan rahmat Allah, engkau menjadi lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau berlaku kasar lagi keras hati, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan. Maka apabila kamu telah bertekad untuk mengerjakan sesuatu sesudah musyawarah (apabila engkau telah mengambil keputusan), maka bertaqwalah kepada Allah. Bahwasanya Allah menyukai orang-orang yang bermakna ”.
  
Ayat sesudahnya : 160
“ Jika Allah menolong kamu, maka tidak ada yang dapat mengalahkan kamu dan jika Allah mau mengalahkan kamu maka siapakah yang akan menolong kamu selain dari pada Allah? Dan kepada Allah lah hendaklah orang-orang mukmin itu bertawakkal”.
E.     Tafsir QS. Ali ‘Imran ayat 159
Menurut Ibnu Kaisan, Maa  adalah Maa  Nakirah yang berada pada posisi majrur dengan sebab ba’, sedangkan Rahmatin adalah badalnya. Maka makna ayat adalah ketika Rasulullah SAW bersikap lemah-lembut dengan orang yang berpaling pada perang uhud dan tidak bersikap kasar terhadap mereka maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau dapat melakukan itu dengan sebab taufik-Nya kepada beliau.[3]
Prof Hamka Menjelaskan tentang QS. Ali Imran ini, dalam ayat ini bertemulah pujian yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada ummatNya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa orang yang meninggalkan tugasnya, karena laba akan harta itu, namun Rasulullah tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin.[4] Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah rahmatNya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin

Meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah terhadap pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari Allah untuk mereka. Andaikata Nabi Muhammad saw bersikap keras, berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan diri dari beliau.

Disamping itu Nabi Muhammad selalu bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum muslimin patuh melaksanakan putusan – putusan musyawarah itu karena keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka tetap berjuang dan berjihad dijalan Allah dengan tekad ayng bulat tanpa menghiraukan bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum muslimin selain Allah.[5]

M. Quraish Shihab di dalam Tafsirnya al-Misbah menyatakan bahwa ayat ini diberikan Allah kepada Nabi Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya, sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nbi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi manusia untuk marah, namun demikian, cukuo banyak pula bukti yang menunjukan kelemah lembutan Nabi saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan perang, beliau menerima usukan mayoritas mereka, walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki dam mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus, dan lain lain.

Jika demikian, maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, sebagaimana dipahami dari bentuk infinitif (nakirah) dari kata rahmat, bukan oleh satu sebab yang lain sebagaiman dipahami dari huruf (ما)  maa yang digunakan disini dalam kontek penetapan rahmat-Nya – disebabkan karena rahmat Allah itu – engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras, buruk perangai, kasar kata lagi berhati kasar tidak peka terhadap keadaan orang lain, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, disebabkan oleh antipati terhadapmu. Karena perangimu tidak seperti itu maka maafkanlah kesalahan – kesalahan mereka yang kali ini mereka lakukan, mohonkanlah ampunan kepada Allah bagi mereka atas dosa-dosa yang mereka lakukan dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, yakni dalam urusan peperangan daln urusan dunia, bukan urusan syari’at atau agama. Kemudian apabila engkau telah melakukan hal-hal di atas dan telah membulatkan tekad, melaksanakan hasil musyawarah kamu, maka laksanakanlah sambil bertawakal kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya, dengan demikian Dia akan membantu dan membimbing mereka kearah apa yang mereka harapkan.

Firman-Nya: maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad saw, sebagaimana sabda Beliau : “Aku didik oleh tuhan-Ku, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya”. Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu al-Qur’an, tetapi juga qalbu beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam.

Adapun kandungan dari QS. Ali ‘Imran ayat 159 adalah sebagai berikut:
Pertama: Para ulama berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya, Allah SWT memerintahkan kepada beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau. Setelah mereka mendapat maaf, Allah SWT memerintahkan beliau utnuk memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah SWT. Setelah mereka mendapat hal ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara”.
Kedua: Ibnu ‘Athiyah berkata, “Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan penetapan hokum-hukum. Barangsiapa yang tidak bermusyawarah dengan ulama, maka wajib diberhentikan (jika dia seorang pemimpin). Tidak ada pertentangan tentang hal ini. Allah SWT memuji orang-orang yang beriman karena mereka suka bermusyawarah dengan firman Nya “sedang urusan mereka (diputuskan dengan musyawarat antara mereka”
Ketiga: Firman Allah SWT: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua perkara dan menentukan perkiraan bersama yang didasari dengan wahyu. Sebab, Allah  SWT mengizinkan hal ini kepada Rasul-Nya. Para ulama berbeda pendapat tentang makna perintah Allah SWT kepada Nabi-Nya ntuk bermusyawarah dengan para sahabat beliau.

Sekelompok ulama berkata, “Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal taktik perang dan ketika berhadapan dengan musuh untuk menenangkan hati mereka, meninggikan derajat mereka dan menumbuhkan rasa cinta kepada agama mereka, sekalipun Allah SWT telah mencukupkan beliau dengan wahyu-Nya dari pendapat mereka”.

Kelompok lain berkata, “ Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal yang tidak ada wahyu tentangnya,” pendapat ini diriwayatkan dari Hasan Al Basri dan Dhahak. Mereka berkata, “Allah SWt tidak memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk bermusyawarah karena Dia membutuhkan pendapat mereka, akan tetapi Dia hanya ingin memberitahukan keutamaan yang ada di dalam musyawarah kepada mereka dan agar umat beliau dapat menauladaninya.[6]
Keempat: Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah ra. Dia berkata. “Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya”. Para ulama berkata, “Kriteria orang yang layak untuk diajak musyawarah dalam masalah hokum adalah memiliki ilmu dan mengamalkan ajaran agama. Dan criteria ini jarang sekali ada kecuali pada orang yang berakal”. Hasan berkata, “Tidaklah sempurna agama seseorang selama akalnya belum sempurna”.[7]
Maka apabila orang yang memenuhi kriteria di atas diajak untuk bermusyawarah dan  dia bersungguh-sungguh dalam memberikan pendapat namun pendapat yang disampaikannya keliru maka tidak ada ganti rugi atasnya. Demikian yang dikatakan oleh Al Khaththabi dan lainnya.
Kelima: keriteria orang yang diajak bermusyawarah  dalam  masalah  kehidupan di masyarakat adalah memiliki akal, pengalaman dan santun kepada orang yang mengajak bermusyawarah. Sebagian orang berkata, “Bermusyawarahlah dengan orang yang memiliki pengalaman, sebab dia akan memberikan pendapatnya kepadamu berdasarkan pengalaman berharga yang pernah dialaminya dan kamu mendapatnya dengan cara gratis”.
Keenam: Dalam musyawarah pasti ada perbedaan pendapat. Maka, orang yang bermusyawarah harus memperhatikan perbedaan itu dan memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan kitabullah dan sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah  SWT telah menunjukkan kepada sesuatu yang Dia kehendaki maka hendaklah orang yang bermusyawarah menguatkan tekad untuk melaksanakannya sambil bertawakal kepada-Nya, sebab inilah akhir ijtihad yang dikehendaki. Dengan ini pula Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat ini.
Ketujuh: Firman Allah SWT  “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah”. Qatadah berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal kepada Allah SWT, bukan tawakal kepada musyawarah mereka.
Kedelapan: Firman Allah SWT“Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”. Tawakal artinya berpegang teguh kepada Allah SWT sembari menampakkan kelemahan. Para ulama berbeda pendapat tentang Tawakal. Suatu kelompok sufi berkata, “Tidak akan dapat melakukannya kecuali orang yang hatinya tidak dicampuri oleh takut kepada Allah, baik takut kepada bintang buas atau lainnya dan hingga dia meninggalkan usaha mencari rezeki karena yakin dengan jaminan Allah SWT.”[8]

F.      Hukum
Hukum asas-asas manajemen yaitu sangat dianjurkan oleh Allah SWT. Karena dalam firman-Nya telah disebutkan bahwa kita harus mengatur semua urusan yang telah ada.
G.    Hikmah
1.      Lebih terkonsep saat kita menyerukan sesuatu.
2.      Bisa mencapai tujuan apa yang diharapkan. 

PENUTUP

   a. Kesimpulan

      Pada surat al imran ayat 159 telah di jelaskan kita di anjurkan berprilaku lemah lembut dan larangan untuk berperilaku keras agar tak ada yang lari dari kita, dan untuk memecahkan permalahan perlu adanya musyawarah.
                         Sebab-sebab turunnya ayat ini adalah setelah terjadinya perang badar tentang orang-orang tawanan, saat rasulullah mengajak musyawarah kepada sahabatnya tentang orang-orang tawanan dan rasulullah bimbang atas memutuskan sesuatu.
      b. Saran
Dengan adanya makaalah ini penulis berharap dapat memenuhi tugas mata kuliah tafsir dengan baik. Penulis menyadari makalah ini banyak kekurangan, Oleh karena itu kritik dan saran penulis mengharapkan untuk menyempurnakan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid kode Angka Al- Hidayah. (Banten: Penerbit Kalim. 2011).
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1980).
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan tafsirnya Jilid 2 Juz 4-5-6. (Jakarta: Kementrian Agama RI. . 2009).
Rifai, Moh. terjemah /tafsir al Quranul karim, (Semarang: CV. Wicaksana, 1993).
Tafsir Al-Qurthubi; penerjemahm Dusi Rosyadi, Nashirul Haq, Fathurrahman, editor, Ahmad Zubairin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008).




[1] Moh. Rifai, terjemah /tafsir al Quranul karim, (Semarang: CV. Wicaksana, 1993). hlm 152-153.
[2] Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid kode Angka Al- Hidayah. (Banten: Penerbit Kalim. 2011) hlm. 72.
[3] Tafsir Al-Qurthubi; penerjemahm Dusi Rosyadi, Nashirul Haq, Fathurrahman, editor, Ahmad Zubairin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 619.
[4] Prof. Dr Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1980), hal 129
[5] Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan tafsirnya Jilid 2 Juz 4-5-6. (Jakarta: Kementrian Agama RI. . 2009) hlm. 67, lihat juga Al-Qur’an dan tafsirnya Jilid 2 Juz 4-5-6. (Jakarta: Kementrian Agama RI.2010) hlm. 67

[6] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,624
[7] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,625
[8] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,628-632

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates