Unsur unsur Dakwah
“DAKWAH DAN
UNSUR-UNSURNYA”
Di Susun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah : Pengantar
Ilmu Dakwa
Dosen
Pengampu : Jauharotul Farida,Dra.Hj.,M.Ag.
Disusun oleh :
1.
Umi Fatmah (131311116)
2.
Akhlia Chairani (131311124)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sebelum memasuki materi lebih dahulu kita
mengetahui apa pengertian dakwah itu. Dan dalam pengertian dakwah sudah
disampaikan oleh makalah yang lain, setidaknya dalam makalah ini akan di
artikan apa pengertian dakwah itu. Dakwah adalah upaya untuk mengajak manusia
kepada agama Allah dengan segala petunjuk-petunjuk-Nya, yakni agama Islam.
Dengan tujuan untuk kebahagiaan manusia, baik dalam kehidupan didunia sekarang
ini, maupun dalam kehidupan di akhirat nanti.
Dari pengertian dahwah tersebut maka kegiatan
dakwah Islam tidak bisa dipisahkan dari tumbuh dan berkembangnya Islam sebagai
agama yang dianut oleh penganutnya. Dalam makalah akan dibahas unsur-unsur
dakwah itu seperti apa.
PEMBAHASAN
A. UNSUR-UNSUR DAKWAH
Unsur-unsur
dakwah adalah komponen-komponen yang terdapat dalam setiap kegiatan dakwah.
Dalam proses kegiatan itu banyak unsur yang terlibat, baik yang secara langsung
mempengaruhi jalannya proses Islamisasi tersebut maupun secara tidak langsung
dapat menghambat jalannya proses Islamisasi kepada individu, kelompok maupun
masyarakat. Pokok-pokok yang harus ada dalam setiap kegiatan da’wah paling
tidak terdapat 3 (tiga) unsur penentu sehingga proses da’wah itu dapat
berlangsung yaitu Da’i (subyek dakwah), Mad’u (obyek da’wah) dan Maadatu
al-Da’wah (materi da’wah). Sedangkan unsur-unsur lainya yang juga dapat
mempengaruhi proses da’wah antara lain: wasaailu Al-Da’wah (media da’wah),
Kaifiyatu Ad Da’wah/Toriqotu Ad-Da’wah (metode da’wah), Atsar (efek da’wah),
Ghoyatul al-Da’wah (tujuan da’wah) dan lain-lainnya.
1. Da’i
(pelaku Dakwah)
Da’i
adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan, maupun perbuatan
yang dilakukan baik secara individu, kelompok, atau lewat organisasi/lembaga.
Nasarudin
Latief mendefinisikan bahwa da’i adalah muslim dan muslimat yang menjadikan
dakwah sebagai suatu amaliah pokok bagi tugas ulama. Ahli dakwah adalah wa’ad,
mubaligh mustama’ain (juru penerang) yang menyeru, mengajak, memberi
pengajaran, dan pelajaran agama Islam.[1]
Da’i
juga harus mengetahui cara menyampaikan dakwah tentang Allah, alam semesta, dan
kehidupan, serta apa yang dihadirkan dakwah untuk memberikan solusi, terhadap
problema yang dihadapi manusia, juga metode-metode yang dihadirkannya untuk
menjadikan agar pemikiran dan perilaku manusia tidak salah dan tidak melenceng.[2]
Oleh
karena itu da’i ataupun mubaligh haruslah memiliki beberapa persyaratan yang
merupakan sifat yang dituntut kepadanya baik da’i yang melaksanakan da’wahnya
secara munfarid/individual maupun da’i yang melaksanakan da’wahnya secara
jama’ah/terorganisasikan.
Syekh
Ali Mahfudz dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin mengatakan antara lain:
Da’i
harus memiliki sifat keutamaan dan sifat kesempurnaan, Diantara sifat-sifat
tersebut adalah :
a) Mengetahui
secukupnya tentang Al-Qur’an, As-Sunnah hukum-hukum, rahasia-rahasia tasyir’,
perihidup Rasulullah dan jejak langkah Khulafaurrasidin dan salafusshalih.
b) Mengamalkan
ilmunya sehingga tidak bertentangan perbuatannya dengan perkataannya, lahirnya
dengan batinnya.
c) Berwira
dan tidak berharap apa yang ada pada tangan orang lain.
d) Memiliki
ilmu pengetahuan yang menjadi alat kelengkapan dalam berda’wah.
e) Sopan
dan berbuat mulia.
Adapun sifat-sifat
kesempurnaan da’i itu antara lain adalah :
a) Bersifat
warn’ yaitu menjaga diri dari subhat dan menjauhkan diri dari tempat-tempat
yang dapat menimbulkan syakwa sangka, tuduhan, dan prasangka.
b) Berbudi
pekerti dengan sifat-sifat yang terpuji.
c) Mencintai
tugas kewajibannya dan melaksanakannya dengan penuh ketaatan kepada Allah.
2. Mad’u
(Penerima Dakwah)
Mad’u,
yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah, atau manusia penerima dakwah, baik
sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama Islam
maupun tidak, atau dengan kata lain, manusia secara keseluruhan. Kepada manusia
yang belum beragama Islam, dakwah bertujuan untuk mengajak mereka untuk
mengikuti agama Islam, sedangkan kepada orang-orang yang telah beragama Islam
dakwah bertujuan meningkatkan kualitas iman, Islam, dan ihsan.
Secara
umum Al-Qur’an menjelaskan ada tiga tipe mad’u, yaitu: mukmin, kafir, dan
munafik.[3]
Dari ketiga klasifikasi besar ini, mad’u kemudian dikelompokkan lagi dalam
berbagai macam pengelompokan, misalnya, orang mukmin dibagi menjadi tiga,
yaitu: dzalim linafsih, muqtashid, dan sabiqun bilkhairat. Kafir bisa di bagi
menjadi kafir zimmi dan kafir harbi. Mad’u atau mitra dakwah terdiri dari
berbagai macam golongan manusia. Oleh karena itu, menggolongkan mad’u sama
dengan menggolongkan manusia itu sendiri dari aspek profesi, ekonomi, dan
seterusnya.
Muhammad
Abduh membagi mad’u menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Golongan
cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran, dapat berpikir secara kritis, dan
cepat dapat menangkap persoalan.
2. Golongan
awam, yaitu orang kebanyakan yang belum dapat berpikir secara kritis dan
mendalam, serta belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi.
3. Golongan
yang berbeda dengan kedua golongan tersebut, mereka senang membahas sesuatu
tetapi hanya dalam batas tertentu saja, dan tidak mampu membahasnya secara
mendalam.
Shalahuddin
Sanusi dalam bukunya “Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Da’wah Islam”
mengelompokkan mad’u/penerima dakwah itu menurut aspek-aspek:
1. Biologis
: Dari segi biologis struktur masyarakat dapat dibagi kepada : menurut jenis
kelamin yaitu laki-laki atau perempuan, menurut umur yaitu anak-anak, pemuda
dan orang tua.
2. Geopraphia
: Secara geografi masyarakat digolongkan kepada masyarakat desa dan masyarakat
Kota.
3. Ekonomi
: Masyarakat dapat digolongkan menurut keadaan perekonomian, tingkat kekayaan
dan pendapatnya kepada orang kaya, orang sedang dan orang miskin.
3. Maddah/Maadatu
al-Da’wah (Materi Dakwah)
Maddah
dakwah adalah isi pesan atau materi yang disampaikan da’i kepada mad’u. Dalam
hal ini sudah jelas bahwa yang menjadi maddah adalah ajaran Islam itu sendiri.
Ajaran yang dibawa Rasul itu sendiri tidak lain adalah Al-Islam sebagai suatu
agama, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 45-46 yang
berbunyi :
“Hai
Nabi kami mengutus engkau sebagai saksi atas umat dan memberi kabar gembira dan
kabar takut. Dan untuk menyeru manusia kepada Agama Allah dengan izin-Nya,
serta menjadi pelita yang menerangi”[4]
Secara
umum materi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi empat pokok, yaitu
1. Masalah
akidah (keimanan)
Masalah
pokok yang menjadi materi dakwah adalah akidah Islamiyah. Aspek akidah ini yang
akan membantu moral (akhlak) manusia. Oleh karena itu, yang pertama kali
dijadikan materi dalam dakwah Islam adalah masalah akidah atau keimanan. Akidah
yang menjadi materi utama dakwah ini mempunyai ciri-ciri yang membedakannya
dengan kepercayaan agama lain:
a. Keterbukaan
melalui persaksian (syahadat) dengan demikian, seorang muslim harus selalu
jelas identitasnya dan bersedia mengakui identitas keagamaan orang lain.
b. Cakrawala
pedagang yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam,
bukan Tuhan kelompok atau bangsa tertentu. Dan soal kemanusiaan juga
diperkenalkan kesatuan asal usul manusia. Kejelasan dan kesederhanaan diartikan
bahwa selalu ajaran akidah baik soal ketuhanan, kerasulaan, atau pun alam gaib
sangat mudah untuk dipahami.
c. Ketahanan
antara iman dan Islam atau antara iman dan amal perbuatan. Dalam ibadah-ibadah
pokok yang merupakan manifestasi dari iman di padukan dengan segi-segi
pengembangan diri dan kepribadian seseorang dengan kemaslahatan masyarakat yang
menuju kepada kesejahteraannya. Karena akidah memiliki keterlibatan dengan
soal-soal kemasyarakatan.
2. Masalah syariah
Hukum
atau syariah sering disebut sebagai cermin peradapan dalam pengertian bahwa ia
ketika tumbuh matang dan sempurna, maka peradaban mencerminkkan dirinya dalam
hukum-hukumnya. Pelaksanaan syariah merupakan sumber yang melahirkan peradaban
Islam, yang melestarikan dan melindunginya sejarah. Syariah inilah yang menjadi
kekuatan peradaban-peradaban dan di kalangan kaum muslimin.
Materi
dakwah yang bersifat syariah ini sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam.
Ia merupakan jantung yang tidak terpisah dari kehidupan umat Islam diberbagai
penjuru dunia dan sekaligaus merupakan hal yang patuh dibanggaklkan. Kelebihan
dari syariah antara lain, adalah bahwa ia tidak dimiliki oleh umat-umat yang
lain. Syariah ini bersifat universal, yang menjelaskan hak-hak umat muslim dan
non muslim, bahkan hak seluruh umat manusia. Dengan adanya materi syariah ini,
maka tatanan sistem dunia akan teratur dan sempurna.
3. Masalah
mu’amalah
Islam
merupakan agama yang menekankan urusan mu’amalah lebih besar porsinya dari pada
urusan ibadah. Islam lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial
dari pada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh
bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah. Ibadah dalam mu’amalah disini, diartikan
sebagai ibadah yang mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada
Allah SWT. cakupan aspek mu’amalah jauh lebih luas dari pada ibadah. Statement
ini dapat dipahami dengan alasan:
a.
Dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits mencakup proporsi terbesar sumber hukum yang berkaitan dengan urusan
mu’amalah.
b.
Ibadah yang mengandung
segi kemasyaratakan diberi ganjaran lebih besar dari pad ibadah yang bersifat
perorangan. Jika urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena
melanggar tantangan tertentu, maka kafarat-Nya (tebusannya) adalah melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan mu’amalah. Sebaliknya, jika orang tidak baik
dalam urusan mu’amalah, maka urusan ibadah tidak dapat menutupinya.
c.
Melakukan amal baik
dal;am bidang kemasyarakatan mendapatkan ganjaran lebih besar dari pada ibadah
sunnah.
4. Masalah
Akhlak
Secara
etimologis, kata akhlaq berasal dari bahasa Arab, jama’ dari “khuluqun” yang
berarti budi pekerti, perangai, dan tingkah laku atau tabiat. Kalimat-kalimat
tersebut memiliki segi-segi persamaan dengan perkataan “khuluqun” yang berarti
kejadian, serta erat hubungannya dengan kholiq yang berarti pencipta, dan
“makhluq” yang berarti yang diciptakan.
Sedangkan
secara terminologi, pembahasaan akhlak berkaitan dengan masalah tabiat atau
kondisi temperatur batin yang mempengaruhi perilaku manusia. Ilmu akhlak bagi
al-farabi, tidak lain dari bahasa tentang keutamaan-keutamaan yang dapat
menyampaikan manusia kepada tujuan hidupnya yang tertinggi, yaitu kebahagiaan,
dan tentang berbagai kejahatan atau kekurangan yang dapat merintangi usaha
pencapaian tujuan tersebut.[5]
4. Wasila/
Wasaailu Al-Da’wah (Media Dakwah)
Wasilah
(media) dakwah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan materi dakwah
(ajaran islam) kepada mad’u. Untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat,
dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah.
Pada
dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah yang dapat merangsang
indera-indera manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah.
Semakin tepat dan efektif wasilah yang dipakai semakin efektif pula
upaya pemahaman ajaran islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.[6]
Hamzah,
ya’qub membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu: lisan, tulisan,
lukisan, audiovisual, dan akhlak.
a.
Dakwah melalui saluran
lisan adalah media dakwah yang paling sederhana yang menggunakan lidah dan
suara, dakwah dengan media ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah,
bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya. dalam realisasinya da’wah secara lisan
dapat bersifat khusus dan dapat pula bersifat umum. Dakwah yang bersifat khusus
pada prakteknya adalah da’wah yang memang secara khusus kegiatannya untuk
da’wah. Seperti : Pengajian, kuliah dan sebagainya. sedangkan da’wah yang
bersifat umum adalah suatu bentuk kegiatan yang dilaksanakan bukan semata-mata
untuk da’wah akan tetapi kegiatan umum, namun dalam beberapa acara atau,
bagiannya diselingi dengan pesan-pesan dakwah.
b.
Dakwah melalui saluran
tertulis adalah kegiatan da’wah yang dilakukan melalui tulisan-tulisan.
Jangkauan yang dapat diperoleh oleh da’wah dengan media tulis ini lebih luas
dari pada memakai media lisan. Kegiatan dakwah secara tertulis ini dapat
dilakukan melalui tulisan, buku, majalah, surat kabar, surat-menyurat
(korespondensi), spanduk, dan sebagainya.
c.
Dakwah melalui saluran
lukisan (visual) adalah kegiatan da’wah yang di lakukan dengan melalui
alat-alat yang dapat dilihat oleh mata manusia atau bisa ditata dalam
menikmatinya. Alat-alat visual ini dapat berupa kegiatan pentas pantonim, seni
lukis , seni ukir, kaligrafi dan sebagainya.
d.
Dakwah melalui
alat-alat Audiovisual adalah media dakwah yang dapat merangsang indra
pendengaran, penglihatan, atau kedua-duanya, seperti televisi, film slide, OHP,
Internet, dan sebagainya.
e.
Akhlak, adalah media
dakwah melalui perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam yang
secara langsung dapat dilihat dan didengarkan oleh mad’u.
5. Kaifiyatu
ad- Dakwah / Thariqatu Ad-Da’wah (Metode Dakwah)
Kata
metode telah menjadi bahasa Indonesia yang memiliki pengertian “sesuatu cara
yang bisa ditempuh atau cara yang ditentukan secara jelas untuk mencapai dan
menyelesaikan suatu tujuan, rencana
sistem, tata pikir manusia”.[7]
Sedangkan dalam metodologi pengajaran ajaran Islam disebutkan bahwa metode
adalah “suatu cara yang sistematis dan umum terutama dalam mencari kebenaran
ilmiah”.[8]
Dengan kaitanya dengan pengajaran ajarar Islam, maka pembahasan selalu
berkaitan dengan hakikat penyampaian materi kepada peserta didik agar dapat
diterima dan dicerna dengan baik.
Metode
dakwah ialah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk menyampaikan ajaran
materi dakwah Islam. Dalam menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat
penting perannya, karena suatu pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat
metode yang tidak benar, maka pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima
pesan.
Secara
garis besar ada tiga pokok metode (thariqah) dakwah, yaitu:
a. Bi
al-Hikmah, yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran
dakwah dengan menitikberatkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam
menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya, mereka tidak lagi terpaksa atau
keberatan.
b. Mau’izatul
Hasanah, yaitu berdakwah dengan memberiokan nasihat-nasihat atau menyampaikana
ajaran Islam dengan kasih sayang, sehingga nasihat dan ajaran Islam yang
disampaikan itu dapat menyentuh hati mereka.
c. Mujadalah
Billati Hiya Ahsan, yaitu berdakwah dengan cara bertukar pikiran dan membantah
dengan cara ynag sebaik-baiknya dengan tidak memberikan tekanan-tekanan yang
membeeratkan komunitas yng menjadi sasaran dakwah.
6. Atsar
(Efek) Dakwah
Dalam
setiap aktifitas dakwah pasti akan menimbulkan reaksi. Artinya, jika dakwah
telah dilakukan seseorang da’i dengan materi dakwah, wasilah, dan thariqah
tertentu, maka akan timbul respons dan efek (atsar) pada mad’u (penerima
dakwah).
Atsar
(efek) sering disebut dengan feedback (umpan balik) dari proses dakwah ini
sering dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da’i. Kebanyakan
mereka menganggap bahwa setelah dakwah disampaikan, maka selesailah dakwah.
Padahal, atsar sangat besar artinya dalam penentuan langkah-langkah dakwah
berikutnya. Tanpa menganalisis atsar dakwah, maka kemungkinan kesalahan
strategi yang sangat merugikan pencapaian tujuan dakwah akan terulang kembali.
Sebaliknya, dengan menganalisis atsar dakwah secara cermat dan tepat, maka
kesalahan strategi dakwah akan segera diketahui untuk diadakan penyempurnaan
pada langkah-langkah berikutnya (corrective action). Demikian juga stratehi
dakwah termaksud didalam penentuan unsur-unsur dakwah yang dianggap baik dapat
ditinggalkan.
7. Ghayatu
al Dakwah (Tujuan Dakwah)
Ghayatul
al Dakwah / tujuan akhir dakwah atau Ultimate Goal Dakwah adalah suatu nilai
akhir ideal yang ingin dicapai dalam keseluruhan aktifitas dakwah. Nilai akhir
dakwah yang ingin diwujudkan ialah terwujudnya insan pribadi dan masyarakat
yang berpola pikir, berpola sikap dan berpola perilaku sesuai ajaran Islam
dalam kehidupannya sehingga akan memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup
di dunia dan di akhirat.
Kegiatan
dakwah adalah kegiatan yang terus menerus dan berkesinambungan sehingga
memerlukan sinergi dalam pelaksanaannya melalui aktifitas dakwahnya secara
sendiri-sendiri. Tujuan dakwah merupakan arah dan pedoman yang harus dituju
oleh setiap pelaksana dakwah dan harus dijadikan fokus utama dari setiap pencapaian
tujuan antara : dengan demikian walaupun pelaksanaan kegiatan dakwah
berbeda-beda baik segi waktu, pelaksana, tempat dan lainnya akan tetapi arah
dan capaiannya dapat terintegrasi.
Namun
demikian tetap diperlukan komunikasi dan koordinasi dari setiap pelaksana
dakwah : baik perorangan maupun organisasi dakwah dalam setiap aktifitas
dakwahnya agar dapat dijadikan sebagai pijakan kebijakan dakwah masa-masa yang
akan datang.
Terkait
dengan tujuan da’wah adalah perlunya melakukan pengendalian dalam setiap upaya
pelaksanaan da’wah yaitu memperhatikan sejauh mana dampak/akibat da’wah yang
ditimbulkan dari setiap aktivitas tersebut atau dengan kata lain sejauh mana
feed back/umpan balik atau atsar da’wah. Selama ini jarang para aktifis da’wah
memperhatikan apalagi mencermati dengan seksama tentang umpan balik/atsar
da’wah yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan da’wah pada setiap event-nya; yang
bisa dilakukan baru sampai pada tahapan evaluasi secara gradual garis besarnya
saja. Pengamatan dan pencermatan terhadap umpan balik da’wah ini dapat
dijadikan sebagai bahan masukan evaluasi sekaligus untuk perbaikan rencana
dakwah yang akan dilakukan dimasa yang akan datang berdasarkan realitas mad’u
dan capaian dakwah diwaktu yang berlalu.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
uraian diatas yang sudah dijelaskan maka terdapat simpulan dimana kegiatan
da’wah itu pasti dibutuhkan unsur-unsur dalam da’wah, karena nya jalannya
proses da’wah itu baik secara langsung maupun tidak langsung akan berhasil
kalau ada nya unsur-unsur da’wah.
Unsur-unsur
dakwah adalah komponen-komponen yang terdapat dalam setiap kegiatan dakwah.
Unsur-unsur da’wah ada beberapa macam yaitu :
1. Da’i
(pelaku dakwah)
2. Mad’u
(mitra/obyek dakwah)
3. Maddah/Maadatu
al-Da’wah (Materi Dakwah)
4. Wasila/
Wasaailu Al-Da’wah (Media Dakwah)
5. Kaifiyatu
ad- Dakwah / Thariqatu Ad-Da’wah (Metode Dakwah)
6. Atsar (efek dakwah)
7. Ghoyatul
al-da’wah (tujuan da’wah)
B. SARAN
Demikian
makalah ini penulis susun, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini tentunya
masih banyak kekurangan baik dari segi materi maupun segi tata bahasa. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna
evaluasi kedepannya. Semoga dibalik ketidaksempurnaan yang ada, makalah ini
tetap dapat memberikan manfaat yang baik bagi kita semua, Amin
DAFTAR
PUSTAKA
An-Nabiry, Fathul Bahri, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para
Da’i, Amzah, Jakarta, 1990.
As,
Enjang, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, Widya Padjadjaran, Bandung, 1989.
Kusnawan,
Aep. Dimensi Ilmu Dakwah , Widya Padjadjaran, Bandung, 1994.
Munir, Muhammad Dkk, Manajemen Dakwah, Prenada Media Group, Jakarta, 2012
http://chochoviq.blogspot.com/2013/04/pengertian-dan-unsur-unsur-dakwah.html. diakses tanggal 2 april 2014 pukul 18:56
[1]
H.M.S. Nasarudin Latief, Op.cit., hlm.20.
[2]
Mustafa Malaikah, Manhaj Dakwah Yusuf Al-Qordhowi Harmoni antara Kelembutan dan
Ketegasan, [Jakarta: Pustaka Al- Kautsar,1997],hlm.18.
[3]
Lihat.QS.al-Baqarah 2:20.
[4]
Lihat surat Al-Ahzab ayat 45-46
[5]
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam,[Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve,2002],hlm.190.
[6]
http://chochoviq.blogsot.com/2013/04/pengertian-dan-unsur-unsur-dakwah.html.
diakses tanggal 2 april 2014 pukul 18:56
[7]
M. Syafaat Habib, Buku Pedoman Dakwah, [Jakarta: Wijaya, 1992], Cet.1,hlm.160.
[8]
Soeleman Yusuf, Slamet Soesanto, Pengantar Sosial,[Surabaya: Usaha
Nasional,1981],hlm.38.
0 komentar:
Post a Comment