Ta'arudh Al Adillah
MAKALAH
TA’ARUDL AL-ADILAH
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ushul
Fiqih
Disusun
oleh:
Zahrotu
Millah (131311117)
FAKULTAS DAKWAH DAN
KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum fiqh mempunyai lapangan yang
luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan
manusia dengan Khaliqnya dan hubungan manusia dengan manusia dan dengan sesama
makhluk. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi dan kondisi
tertentu, maka mengetahui landasan hukum yang menjadi pedoman berpikir dalam
menentukan hukum tersebut sangatlah penting.
Islam yang diturunkan oleh Allah
tidaklah sebuah agama yang tanpa dasar dalam menentukan suatu hukum, ataupun
seenaknya sendiri yang dilakukan oleh umat muslim untuk membuat hukum, namun
disana ada aturan-aturan yang mengikat, harus melalui koridor-koridor yang
sesuai dengan syari’at. Dasar utama yang digunakan oleh umat islam dalam
menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan Hadits, namun seiring munculnya suatu
permasalahan yang baru maka dibutuhkan ijtihat dalam menentukan suatu hukum,
maka muncul produk hukum qiyas dan ijma’.
Dengan dasar itulah umat islam
menjalankan roda-roda kehidupan dengan syari’at yang telah terlandaskan. Namun
ketika seorang mujtahid itu menentukan suatu hukum sesuai dengan koridor syara’
tentunya tidak terlepas dari kelemahan dalam pemahaman. Maka disini terkenal
dengan ta’arudl al-adilah (pertentangan dalil), meskipun kemampuan
seseorang terbatas dalam memahami sesuatu, namun disana juga ditentukan suatu
aturan-aturan yang baru untuk menentukan suatu hukum yang mashlahah.[1]
B.
Rumusan
Masalah
a.
Apakah
pengertian Ta’arudl al-adillah?
b.
Apa
sajakah macam-macam Ta’arudl al-adillah?
c.
Bagaimanakah
cara penyelesaian Ta’arudl
al-adillah ?
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Ta’arrudl al-adillah
Secara etimologi ta’arud berasal dari kata aradha
yang mempunyai arti banyak, antara lain: dhahara, ashaba, naha nahwahu,
dan ada yang mengartikan dengan pertentangan. Sedangkan adilallah adalah
jamak dari dalil yang berarti alasan, argumentasi, dan dalil.[2]
Sedangkan menurut terminology, para ulama’ memiliki berbagai
pendapat antara lain:
Imam Syaukani berpendapat Ta’arrudl al-adillah adalah suatu dalil
yang menentukan suatu hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil
lain menentukan hukum yang berbeda dengan dalil ini.
Kamal ibnu Al-Humam dan At-Taftazani berpendapat bahwa Ta’arrudl
al-adillah adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk
dikompromikan antara keduanya.
Ali Hasaballah berpendapat bahwa Ta’arrudl al-adillah adalah
terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang
terkandung dalam dalil lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu
derajat.[3]
Asywadie Syukur berpendapat bahwa menurut arti syara’ ialah
berlawanannya dua nash yang kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya
dilaksanakan dalam satu waktu.[4]
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ta’arrudl
al-Adillah adalah; pertentangan antara dua dalil (menghendaki apa yang tidak di
kehendaki oleh selainnya). Dengan ibarat yang lain, ialah; “
dalil yang menerapkan hukum di waktu yang sama terhadap sesuatu kejadian, yang
menyalahi hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain”.[5]
Ta’arrudl al-adillah merupakan pertentangan yang hanya
terjadi secara lahiriah saja, yakni menurut pandangan atau pemikiran para
mujtahid saja, sebagaimana yang tela dijelaskan, bukan secara hakiki.
Dari beberapa keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa yang
terkandung dalam pengertian Ta’arrudl al-adillah adalah:
-
Adanya
dua dalil
-
Sama
martabat keduanya
-
Mengandung
ketentuan yang berbeda
-
Berkenaan
dengan masalah yang sama
-
Menghendaki
hukum yang sama dalam satu waktu.
2.
Macam-macam
Ta’arrudl al-adillah
Ta’arrudl al-adillah ada empat
macam, yaitu:
a.
Ta’arudl
antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Sebagaimana firman Allah SWT dalam
QS. An-Nahl (16):8
ÙˆَالْØ®َÙŠْÙ„َ
Ùˆَالْبِغَالَ ÙˆَالْØَÙ…ِيرَ Ù„ِتَرْÙƒَبُوهَا ÙˆَزِينَØ©ً ÙˆَÙŠَØ®ْÙ„ُÙ‚ُ Ù…َا لا
تَعْÙ„َÙ…ُونَ
“Dan (dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu
menungganginya dan (menjadikannya)perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang
kamu tidak mengetahuinya”
Dalam ayat diatas, dapat diambil sebuah
pengertian bahwa kuda, bagal, dan keledai hanya diperuntukkan untuk kendaraan
saja, sedangkan ayat berikut bermakna berbeda.[6]
QS. Al-Mu’min (40):79
اللَّÙ‡ُ
الَّØ°ِÙŠ جَعَÙ„َ Ù„َÙƒُÙ…ُ الأنْعَامَ Ù„ِتَرْÙƒَبُوا Ù…ِÙ†ْÙ‡َا ÙˆَÙ…ِÙ†ْÙ‡َا تَØ£ْÙƒُÙ„ُونَ
"Allah-lah yang menjadikan
binatang ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai, dan sebagiannya
untuk kamu makan." –
(QS.40:79)
b.
Ta’arudl
antara As-Sunnah dengan sunnah
Ada dua hadits yang bertentangan
yaitu
“Dari Siti Aisyah dan Ummi
Salamah RA bahwa Nabi masuk waktu subuh dalam keadaan junub karna melakukan
jimak kemudian mandi dan menjalankan puasa” (HR.Mutafaqun Alaih)
Hadits diatas bertentangan dengan
hadits dibawah ini yang mempunyai arti sbb:
“Bila telah dipanggil untuk
sholat subuh, sedang salah satu diantara kamu dalam keadaan junub maka jangan
puasa dihari itu”. (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Hibban)
c.
Ta’arudl
antara As-Sunnah dengan Al-Qias
Dapat dilihat dalam contoh tentang
ukuran hewan untuk aqiqah berdasarkan sunnah, satu kambing untuk putrid
dan dua kambing untuk putra, berdasarkan hadits yang mempunyai arti
“aqiqah itu sesuatu yang musti
dikerjakan untuk anak laki-laki dua
kambing dan untuk anak perempuan satu kambing.” (HR. Asma binti Yazid).
Bagi yang berpegang pada qiyas
maka untuk aqiqah ini boleh hewan yang lebih besar, unta lebih dari sapi
dan lebih besar dari kambing, ini hamper pendapat sebagian besar fuqaha.
Sedang yang berpegang pada bunyi hadits diatas adalah Imam Malik, bahwa aqiqah
itu dilakukan dengan menyembelih kambing.
d.
Ta’arudl
antara Al-Qias dengan Al-Qias
Peng-qiyas-an masalah perkawinan
Nabi Muhammad terhadap Siti Aisyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari Muslim:
“Dari Siti Aisyah beliau berkata:
Rosulullah mengawini saya ketika saya berumur enam tahun dan mengumpuliku
ketika saya sebagai gadis yang telah berumur Sembilan tahun” (HR. Muslim dari Aisyah)
Berdasarkan hadits diatas, dapat
diambil hukum kebolehan mengawinkan orang tua terhadap anaknya yang belum
dewasa tanpa izin yang bersangkutan masih dibawah umur, demikian pendapat
Hanafiyah. Sedang ulama’ Syafi’iyah menganggap karena kegadisannya. Dengan
demikian kalau telah tsayyib sekalipun masih belum dewasa orang tua tak
mempunyai hak ijbar(memaksa).
3.
Cara
Penyelesaian Ta’arrudl al-adillah
Bila terjadi pertentangan antara dua dalil
yang mana kedua dalil tersebut qath’I, maka dicarilah mana yang dahulu kemudian
wurudnya, yang dinyatakan nash dan yang dahulu dinyatakan mansuh. Bila tidak
bisa dicari mana yang lebih dahulu, maka diadakan jama’ diantara keduanya yang
biasa disebut amalan bisyabhaini. Akan tetapi kalau ada dua dalil tapi yang
satu qath’I dan yang satu dhanni, atau keduanya sama-sama dhanni, maka dicari
mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian wurudnya untuk dinyatakan nask
mansuh seperti diatas, selanjutnya bila tidak bisa maka dilakukan tarjih,
barulah diusahakan jama; antara keduanya.[7]
Para ulama’ telah memberi solusi
jika terjadi pertentangan antara dalil, baik dalil itu qath’I maupun dalil itu
dhanni. Jika dianalisa sebenarnya pertentangan itu tidak ada, hanya saja
berbedanya cara pandang ulama’ dan juga
sejauh mana logika mereka dalam membahas suatu hukum, ulama’ ushul fiqh
terdapat dua pendapat dalam menyelesaikan ta’arudh, amtara lain adalah:
a.
Jumhur
Ulama’ (kebanyakan ulama’)
Biasanya
kebanyakan adalah pengikut imam Syafi’I, Imam Maliki dan golongan Zhahiriyah.
Para ulama’ ini berpendapat bahwa apabila terjadi pertentangan, maka metode
yang ditempuh adalah:
1)
Al-jum’u
wa talfiq bain al-Muta’aridhain (mengumpulkan dan mengkompromikan dalil yang
bertentangan)
Alasan mereka
memakai Metode iniadalah berdasarkan kaidah mengamalkan kedua lebih baik
daripada mengabaikan salah satu dalil.
Cara ini dapat
dilakukan dengan cara menta’wilkan lafadz yang umum kepada lafadz yang khusus,
lafadz yang dhahir kepada lafadz nash, dan lafadz muthlaq kepada lafadz yang
muqayyad, serta dengan cara memilih salah satu hukum dengan cara mangambil
hukum yang khusus daripada dalil yang umum. Seperti contoh pertentangan yang
terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 180 dengan surat al-Nisa ayat 11.
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya…”(QS. Al-Baqarah: 180)
“Allah mensyariatkan
bagimu (tentang pusaka untuk) anak-anakmua. Yaitu, seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan…” (QS. Al-Nisa: 11)
Kedua
ayat di atas menunjukan pertentangan. Adapun ayat yang pertama menjelaskan
wajib bagi seseorang yang kedatangan tanda-tanda kematian untuk memberi wasiat
kepada kedua orang tua dan sanak kerabatnya tentang harta yang dia miliki.
Sedangkan ayat kedua menjelaskan bahwa kedua orang tua dan sanak kerabat secara
otomatis mendapatkan harta pusaka tanpa adanya wasiat. Secara dzahir kedua ayat
di atas terdapat pertentangan, sebab ayat yang pertama menjelaskan kewajiban
untuk berwasiat, sedangkan ayat yang kedua menjelaskan tidak wajibnya wasiat.
Kedua
dalil qathi’ yang bertentangan dapat diselesaikan dengan metode al-jam’u dengan
cara ta’wil, yaitu mena’wil ayat yang pertama untuk berwasiat kepada calon ahli
waris karena berbedanya Agama yang manjadikan terputusnya hak waris. Dengan
seperti ini sudah tidak ada pertentangan antara kedua ayat tersebut
2)
Al-tarjih
(menguatkan)
Menguatkan
salah satu dalil yang mengalami kontradiksi, berdasarkan petunjuk dalil-dalil
yang mendukungnya, kemudian mengamalkan hukum dalil ynag lebih unggul dan mengabaikan dalil yang lemah. Penguatan
dalil disini terjadi dengan sendirinya, tidak dikuat-kuatkan oleh manusia.
Adapun cara
pentarjihannya adalah:
a)
Mencari
dalil yang lain yaitu dengan cara mencari dalil yang lain baik berupa Al-Qur’an,
Hadits Nabi, Ijma’, Qiyas. Yang sekiranya dalil tersebut bisa menguatkan salah
satu dalil yang bertentangan.
b)
Meneliti
hukum cara ini dapat dilakukan dengan mendahulukan hukum haram atas hukum
halal.
dalil yang bertentangan yang diselesaikan dengan cara tarjih yaitu
Hadits Nabi yang diriwayatkan olehImamAbuDawuddibawahini
Hadits Pertama
Hadits Pertama
“Dari Hizam Ibnu Hakim dari pamannya, sesungguhnya dia bertanya
kepada Rasulullah SAW. “Apa yang boleh aku lakukan terhadap isteriku yang
sedang haidh? “, Rasulullah SAW. menjawab, “segala yang berada di atas kain
pinggang“. (HR. Abu Dawud)
Hadits Kedua
“Dari Anas ra. Dia berkata,
Rasulullah SAW. beesabda” berbuatlah segala sesuatu (terhadap isterimu yang
sedang haidh) selain bersetubuh”. (HR. Abu Dawud)
Sekilas kedua Hadits mengalami pertentangan, tetapi ketika dilakukan
pentarjihan maka jelaslah hukum berbuat sesuatu diantara pusar dan lutut.
Hadits petama menegaskan hukum haram berbuat sesuatu diantara pusar dan lutut
terhadap isteri yang sedang haidh. Sedangkan Hadits yang kedua membolehkan
berbuat sesuatu antara pusar dan lutut kecuali bersetubuh. Pada kasus ini ulama
Jumhur menguatkan Hadits yang pertama, yaitu mendahulukan hukum haram daripada
hukum halal ataupun mubah. Jadi haram berbuat sesuatu kepada isteri yang sedang
haidh diantara pusar dan lutut, meskipun keduanya (suami dan isteri) tidak
bersetubuh.
3)
Al-Nasakh
(membatalkan)
Membatalkan,
mencabut, dan menghapus. Akan tetapi yag dimaksut membatalkan disini adalah
membatalkan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dengan hukum syara’ yang
sama yang datang kemudian (diakhirkan). Cara ini ditempuh ketika kedua cara
diatas yaitu mengumpulkan kedua dalil serta menguatkan salah satu dalil tidak
bisa menjadi jalan keluar dari pertentangan.
Ulama’
menetapkan hukum berdasarkan dalil yang datang lebih akhir dari pada dalil yang
datang lebih sebelumnya.
Al-Nasakh
dilakukan dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung dalam kedua dalil
tersebut dengan syarat harus diketahui dulu, mana dalil yang pertama duluan
serta mana dalil yang datang kemudian. Kemudian ulama menetapkan hukum
berdasarkan dalil yang datang lebih akhir dari pada dalil yang datang lebih
sebelumnya. Pembatalan ini menurut Abdul Wahab Khallaf, guna merealisasikan
kemaslahatan manusia, yang terkadang menghendaki perubahan seiring dengan
perubahan kondisi manusia itu sendiri. Dengan diketahuinya dalil hukum yang
datang awal dan akhir maka dapat diketahui mana dalil yang dibatalkan. Seperti
contoh ayat al-Quran surat al-Baqarah pada ayat 180 dengan ayat al-Quransuratal-Nisapadaayat11dibawahini
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya…”(QS. Al-Baqarah: 180)
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya…”(QS. Al-Baqarah: 180)
“Allah
mensyariatkan bagimu (tentang pusaka untuk) anak-anakmua. Yaitu, seorang anak
laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…” (QS. Al-Nisa: 11)
Pada
ayat yang pertama menjelaskan wajib bagi seseorang yang kedatangan tanda-tanda
kematian untuk memberi wasiat kepada kedua orang tua dan sanak kerabatnya
tentang harta yang dia miliki. Sedangkan ayat kedua menjelaskan bahwa kedua
orang tua dan sanak kerabat secara otomatis mendapatkan harta pusaka tanpa
adanya wasiat. Secara dzahir kedua ayat di atas terdapat pertentangan sebab
ayat yang pertama menjelaskan kewajiban untuk berwasiat, sedangkan ayat yang
kedua menjelaskan tidak wajibnya wasiat. Menurut penelitian ulama Jumhur ayat
180 surat al-Baqarah dinasakh dengan surat al-Nisa ayat 11. Jadi hukum yang
dipakai dalam menentukan hak waris seorang anak adalah dapat diperoleh secara
otomatis, dengan tanda kutip sang anak bukan orang kafir ataupun murtad.
4)
Tatsaquth
al-Dalilain (meninggalkan kedua dalil)
Meninggalkan
kedua dalil yang bertentangan kemudian berijtihad dengna dalil yang kualitasnya lebih rendah.jumhur ulama
berpendapat seperti itu, tapi ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa sebelum
ulama meninggalkan kedua dalil yang bertentangan, ia diberi kesempatana
untuk takhyir (mmeilih), yaitu dengan
memilih salah satu dalil yang dikehendaki tanpa menganggap adanya pertentangan
antar dalil yang ada. Namun bila hal ini memang tidak memungkinkan, maka baru
menggugurkan kedua dalil serta
berijtihad dengan dalil yang lebih rendah kualitasnya.
Demikianlah
jumhur ulama dalam menghadapi kontradiksi antar dalil, dengan mencari jalan
keluar dari pertentangan yang ada, dengan syarat keempat cara diatas harus
ditempuh secara teratur.[8]
b.
Ulama’
Hanafiah
Mayoritas
pengikut Imam Hanafi meskipun Imam Hanbali juga ikut. Adapun urutan metode yang
digunakan adalah:
1.
Nashsh
Jika ada dalil
yang datang belakangan disebut Nasikh terhadap dalil yang lebih dahulu datang,
sehingga yang diamalkan adalah dalil yang belakangan datangnya.
2.
Tarjih
(seleksi segi kekuatan)
Melakukan
tarjih seleksi segi kekuatan terhadap
salah satu dalil yang bertentangan tersebut.
3.
Al-Jam’u
wa talfiq bain al-Muta’aridhain
Metode ini
ditempuh dengan cara memberlakukan kedua
nashsh yang bertentangan secara bersamaan dan maksimal, melalui penerapan
cakupan makna salah satu nashsh terhadap wilayah makna yang tidak dicakup oleh
dalil lainnya (bi haml ahad al-dalilain’ala ghair ma yahmil alaih al-dalil
al-akhar)
4.
Tatsaquth
al-Dalilain
Dicari dalil
lain yang tingkatnya dibawah dalil yang
bertentangan tersebut, sedangkan dalil yang saling bertentangan itu sendiri
tidak diberlakukan pada masalah yang dibahas.[9]
Prakteknya tetap sama ketika
menggunakan nashsh, para ulama harus
mendahulukan hukum dari dalil yang datang belakangan, ketika tarjih dengan
mencari dalil yang lebih unggul diantara keduanya, ketika menggunakan al-jam’u
talfiq bain al-muta’aridhain maka harus menyatukan dan mengkompromikan kedua dalil
yang saling bertentangan. Penerapan dari semua metode ini juga harus secara
berurutan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa didalam menyelesaikan masalah pertentangan dalil terdapat variasi
pendapat dikalangan ulama baik dalam segi jumlah pilihan caranya, maupun dari
segi pemilihan prioritas cara yang mereka tempuh sebagai berikut:
1.
Ulama
Hanafiyah berpendapat, langkah yang ditempuh adalah Naskh, kemudian Tarjih,
kemudian Al-Jam’u wa talfiq bain al-Muta’aridhain, dan yang terakhir Tatsaquth al-Dalilain.
2.
Sedangkan
Jumhur ulama berpendapat, secara bertingkat langkah yang harus ditempuh ialah, Al-Jam’u
wa talfiq bain al-Muta’aridhain, kemudian Tarjih, kemudian Naskh, kemudian Tatsaquth
al-Dalilain.
3.
Adapun
jika terjadi pertentangan antara naskh dan naskh al-amm yang waktu datangnya
tidak diketahui, maka menurut Hanafiyyah, cara penyelesaiannya adalah melalui
tarjih, sedang menurut Jumhur Ulama adalah melalui Takhshish.
4.
Segi
tingkat pemberlakuan dalil yang saling bertentangan, uraian menjelaskan langkah-langkah
pemberlakuan dalil yang dikemukakan ulama Hanafiyyah berbeda dengan jumhur ulama. Dalam hal ini langkah yang ditempuh
Hanafiyyah ialah, tidak memberlakukan salah satu dalil, kemudian memberlakukan
kedua dalil secara bersamaan, kemudian barulah mengabaikan kedua dalil yang
bertentangan tersebut. Sementara itu, langkah yang ditempuh Jumhur Ulama ialah,
memberlakukan kedua dalil secara bersamaan, kemudian memberlakukan salah satu
dalil, kemudian barulah mengabaikan kedua dalil yang bertentangan tersebut.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ta’arrudl al-adillah adalah
pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara
keduanya.
Macam-macam Ta’arrudl al-adillah: Ta’arudl
antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Ta’arudl antara As-Sunnah dengan As-Sunnah, Ta’arudl
antara As-Sunnah dengan Al-Qias, Ta’arudl antara Al-Qias dengan Al-Qias.
Terdapat dua pendapat ulama’ ushul
fiqh dalam menyelesaikan Ta’arrudl al-adillah:
1.
Jumhur
ulama berpendapat, secara bertingkat langkah yang harus ditempuh ialah,
Al-Jam’u wa talfiq bain al-Muta’aridhain, kemudian Tarjih, kemudian Naskh,
kemudian Tatsaquth al-Dalilain.
2.
Sedangkan
Ulama Hanafiyah berpendapat, langkah yang ditempuh adalah Naskh, kemudian
Tarjih, kemudian Al-Jam’u wa talfiq bain al-Muta’aridhain, dan yang terakhir
Tatsaquth al-Dalilain.
B. Saran
Penulis berharap dengan adanya
makalah ini, dapat memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih dengan baik dan
benar. Di sisi lain, penulis juga berharap dengan adanya makalah ini akan bisa
menjadi bahan bacaan yang baik. Baik untuk mahasiswa maupun kalangan akademika
pada khususnya. Sebagai motivasi maupun inspiratif dalam mengembangkan kreativitasnya.
Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini tentu tidak luput dari kesalahan, karena kesempurnaan
hanyalah milik Allah Swt. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis
harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Rahman, ushul fiqh,Jakarta:Amzah,2011.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin,Kamus Ilmu Ushul Fikih,
Jakarta:AMZAH,2005.
Syafe’I, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS,
Bandung:Pusaka Setia, 1998.
Umar,
Muin, Dkk, Ushul Fiqh 1, Jakarta:Departemen Agama RI,1985
[1] http://Yeyenfadhillah.blogspot.com.es/2013/01/makalah-taarudh-al-adillah.html. diakses pada tanggal 10 september2014 pukul
20.00 WIB.
[2]
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin,Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta:AMZAH,2005)hal.311.
[3] Rahmat Syafe’I, Ilmu
Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTsAIS, (Bandung:Pusaka Setia, 1998)hal.225.
[4] M. Asywadie
Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1990), hal. 266.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Penganntar Hukum Islam, (Semarang
: Pustaka Rizki Putra, 2001), hal. 275.
[6]
Muin Umar Dkk, Ushul Fiqh 1(Jakarta:Departemen Agama
RI,1985)hal.169-170.
[7] Muin Umar Dkk, Ushul Fiqh 1(Jakarta:Departemen Agama
RI,1985)hal.173-174.
[8] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN,
STAIN, PTAIS, (Bandung:Pusaka Setia, 1998)hal.226-230..
[9] Rahman Dahlan, ushul fiqh,(Jakarta:Amzah,2011) hal.187.
0 komentar:
Post a Comment