Mahabbah dan Ma'rifah
MAKALAH
AKHLAK TASAWUF
MAHABBAH DAN MA’RIFAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Djasadi.Dr.H.,M.pd
Disusun Oleh :
Latifatun Istiqomah 131311102
Maliyatuz
Zaniyah 131311121
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang
”Mahabbah”
adalah cinta, atau cinta yang luhur
kepada Tuhan yang suci dan tanpa syarat,tahapan menumbuhkan cinta kepada
Allah, yaitu: keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual, interaksi diri
terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap tertinggi oleh seorang
ahli yang menyelaminya. Didalamnya kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq) dan
keintiman (uns).
Sedangkan
Ma’rifah ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian
ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati
sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah
ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka
namakan maqamat, seperti hidup zuhud, ibadah dan barulah tercapai
ma’rifat.
Dalam
makalah ini kita akan membahas tentang Mahabbah dan Ma’rifah beserta tujuan,
kedudukan, paham, tokoh sufi,serta mahabah dan ma’rifah dalam pandangan
al-Qur’an dan al hadits, Maka jika ada kesalahan yang sekiranya di luar
kesadaran, kami siap menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sekalian.
b.
Rumusan
Masalah
1. Apa
itu Mahabbah ?
2. Apa
tujuan dari Mahabbah ?
3. Bagaimana
kedudukan Mahabbah ?
4. Apa
saja alat untuk mencapai Mahabbah ?
5.
Apa
itu Ma’rifah ?
6.
Apa
tujuan dari Ma’rifah?
7.
Apa
saja alat untuk mencapai Ma’rifah?
BAB
II
PEMBAHASAN
c.
Pengertian
Mahabbah
Mahabbah
atau cinta adalah suatu perasaanagung dimana orang yang mencinta memberikan
seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicinta. Mahabbah mengandung makna
keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada apa yang dicintainya, dan
selalu memikirkan yang dicinta. Bahkan, rela mengorbankan apapunyang ia miliki
demi yang dicinta.
Dalam
tradisi sufi, mahabbah dianggap demikian tinggi nilainya dalam pencapaian sufi,
sehingga menetapkan mahabbah sebagian dari maqamat. Al-Junaid menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi
oleh ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali
ingatan pada sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri. Semua itu
dilakukan dengan tidak sedikit pun perasaan berat atau tertekan, melainkan
semata-mata hanya kesenangan. Kesadaran cinta juga berimplikasi pada rasa
penerimaan yang mantap terhadap apapun yang terjadi dialam semesta ini,
sehingga segala sesuatu, baik yang mengandung kebaikan, maupun kejahatan,
selalu diterima dengan lapang dada.[1]
Pengertian mahabbah dari segi tasawwuf ini lebih lanjut
dikemukakan al Qusyairi sebagai
berikut: “almahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang
bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba, selanjutnya
yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang
seorang hamba mencintai Allah swt”.
Harun Nasution mengatakan mahabbah adalah cinta yang dimaksud adalah cinta kepadaTuhan, antara lain sebagai berikut:
Harun Nasution mengatakan mahabbah adalah cinta yang dimaksud adalah cinta kepadaTuhan, antara lain sebagai berikut:
a. Memeluk kepatuhan pada
Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c. Mengosongkan hati dari segala – galanya kecuali dari yang
dikasihi yaitu Tuhan.
Dilihat dari tingkatannya, mahabbah sebagai dikemukakan al-Sarraj sebagai dikutip Harun Nasution ada tiga macam yaitu:
Dilihat dari tingkatannya, mahabbah sebagai dikemukakan al-Sarraj sebagai dikutip Harun Nasution ada tiga macam yaitu:
i.
Mahabbah orang biasa yaitu selalu mengingat
Allah dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan
dalam berdialog dengan Tuhan.
ii.
Mahabbah orang shidiq,
yaitu cinta orang yang kenal pada Tuhan, kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya,
ilmu-Nya, dan lain-lain.
iii.
Mahabbah orang yang
arif adalah cinta yang tahu betul kepada Tuhan.
Dari uraian tersebut disimpulkan mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai.
Dari uraian tersebut disimpulkan mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai.
d. Tujuan Mahabbah
Tujuannya
adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan
kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para Sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para Sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt.
e. Kedudukan Mahabbah
Mahabbah
adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam
kedudukan maupun pengertiannya. Ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan
kepada Tuhan melalui mata hati (al-Qalb),
maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta(roh). Rasa cinta itu tumbuh karena
pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas mendalam, sehingga
yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Oleh
karena itu, menurut Al Ghazali
mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan. Dengan demikian kedudukan
mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah.[2]
f. Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Para ahli
tasawuf mengungkapkan alat untuk mencapai mahabbah yaitu menggunakan pendekatan
psikologi melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun
Nasution mengatakan alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir. Harun
Nasution mengutip pendapat al-Qusyairi ada 3 alat yang digunakan untuk
berhubungan dengan Tuhan yaitu:
1. Al-Qalb,
yaitu hati sanubari, sebagai alat mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2. Roh, yaitu alat
untuk mencintai Tuhan.
3. Sir, yaitu alat
untuk melihat Tuhan.
Sir lebih
halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qolb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qolb,
dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qolb dan roh
telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.
Dari
keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah
roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan
dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya berisi oleh cinta kepada Tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu sebenarnya telah dianugerahkan
Tuhan kepada manusia sejak dalam kandungan ketika berumur empat bulan, dengan
demikian alat untuk mencintai Tuhan sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia
tidak mengetahui sebenarnya hakikat roh itu, yang mengetahui hanyalah Tuhan.
Allah berfirman: Artinya:
mereka itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh
itu urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali. (QS.
Al-isra’: 85)[4]
d.
Ma’rifah
Pengertian Ma’rifah
dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang
Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat
zahir, tetapi bathin dengan mengetahui rahasianya. Para sufi mengatakan perihal
Ma’rifat adalah :
1. Kalau mata dalam
hati sanubari manusia terbuka, mata dan ketika itu yang dilihatnya hanyalah
Allah.
2. Makrifat adalah
cermin, yang mana yang dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang
arif saat tidur dan bangun hanyalah Allah.
4. Sekiranya Ma’rifat
mengambil bentuk materi, semua orang yang melihatnya akan mati karena tidak
tahan melihat kecantikan dan bentuk keindahannya.
Dikemukakan
al-Kalazabi, ma’rifat datang sesudah mahabbah, karena ma’rifat lebih mengacu
pada pengetahuan sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan. Disebutkan dalam
sebuah Hadits Qudsi :
كنت
خزينة خا فية احببت ان اعرف فخلقت الخلق فتعر فت اليهم فعرفونى"”
“Aku (Allah) adalah
perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku,
maka aku ciptakan mahluk. Maka Aku memperkenalkan DiriKu kepada mereka. Maka
mereka mengenal Aku” (Hadits Qudsi)
Dalam kitab
Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah puncak
dari seluruh maqam spiritual dengan derajad/level yang tinggi. "(Allah)
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya”. Ma’rifat merupakan karunia
pemberian langsung dari Allah, maka ia sekali-kali tidak bergantung pada banyak
atau sedikitnya amal kebaikan. Ma’rifat adalah anugerah Allah yang didasari kasih
Tuhan kepada hamba-Nya. Adapun amal ibadah sebagai persembahan hamba kepada
Tuhannya.
Adapun cara-cara untuk
dapat menuju Mahabbah dan Ma’rifat adalah :[5]
1. Tobat, baik dari
dosa besar maupun dosa kecil
2. Zuhud, yaitu
mengasingkan diri dari dunia ramai
3. Wara (sufi), mencoba
meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat shubhat
4. Faqir, hidup sebagai
orang fakir
5. Sabar, dalam
menghadapi segala macam cobaan
6. Tawakkal, menyeru
sebulat-bulatnya pada keputusan Tuhan
7. Ridha, merasa senang
menerima segala takdir.
(tujuan ma’rifah) Ma'rifah
adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi
lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini
didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat
ketuhanan yang satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu. Selanjutnya
ma'rifah digunakan untuk menunjukan salah satu tingkatan dalam tasawuf.
Al-Ghazali[2] menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma'rifah tentang Tuhan,
yaitu arif, tidak akan mengatakan ya Allah atau ya rabb karena memanggil Tuhan
dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di bekalang tabir.
Tujuan
ma’rifat adalah berhubungan dengan Allah, dengan kendali jiwa kepada
eksistensinya yang intern, wasilahnya adalah spiritual.
. alat untuk mencapai ma’rifah
alat yang dapat digunakan untuk ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb(hati), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yng sebenarnya tentang tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian dzikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia tuhan , yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya tuhan. [6]
alat yang dapat digunakan untuk ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb(hati), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yng sebenarnya tentang tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian dzikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia tuhan , yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya tuhan. [6]
BAB III
PENUTUP
a. Simpulan
Mahabbah
adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga
sifat-sifat yang dicintai masuk dalam diri yang di cintai,
Adapun Ma’rifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan
pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya
dengan mengetahui rahasianya.
b.
Saran
Penulis
berharap dengan adanya makalah ini, dapat memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf dengan baik dan benar. Di sisi lain, penulis
juga berharap dengan adanya makalah ini akan bisa menjadi bahan bacaan yang
baik. Baik untuk mahasiswa maupun kalangan akademika pada khususnya. Sebagai
motivasi maupun inspiratif dalam mengembangkan kreativitasnya.
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tentu tidak luput dari kesalahan,
karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Oleh karena itu, kritik dan saran
sangat penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia,
2010.
Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2006.
Nata, Abudin. Akhlak tasawuf. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012.
Nata, Abudin. Akhlak tasawuf. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012.
Nahrowi Tohir, Munir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf. Jakarta:
PT. As-Salam Sejahtera, 2012.
Rahim Yunus, Abd. Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan Di
Kesultanan Buton Pada Abad Ke-19. Jakarta: INIS, 1995.
[1] Rosihon
Anwar, Prof, Dr, M.Ag, Akhlak Tasawuf,
Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm.191
[4] Munir
Nahrowi Tohir . Menjelajahi
Eksistensi Tasawuf. (Jakarta:
PT. As-Salam Sejahtera, 2012)hlm.100.
[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2012), hlm.219.
[6] Abd Rahim Yunus . Posisi
Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan (Di Kesultanan
Buton Pada Abad Ke-19. Jakarta: INIS,
1995).hlm .230.
0 komentar:
Post a Comment