September 05, 2015

Mahabbah dan Ma'rifah

MAKALAH AKHLAK TASAWUF
MAHABBAH DAN MA’RIFAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu :   Djasadi.Dr.H.,M.pd
Disusun Oleh :
Latifatun Istiqomah     131311102
Maliyatuz Zaniyah      131311121
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang
”Mahabbah” adalah cinta, atau cinta yang luhur  kepada Tuhan yang suci dan tanpa syarat,tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah, yaitu: keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual, interaksi diri terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap tertinggi oleh seorang ahli yang menyelaminya. Didalamnya kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns).
Sedangkan Ma’rifah ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup zuhud, ibadah dan barulah tercapai ma’rifat. 
Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Mahabbah dan Ma’rifah beserta tujuan, kedudukan, paham, tokoh sufi,serta mahabah dan ma’rifah dalam pandangan al-Qur’an dan al hadits, Maka jika ada kesalahan yang sekiranya di luar kesadaran, kami siap menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian.

b.      Rumusan Masalah

1.      Apa itu Mahabbah ?
2.      Apa tujuan dari Mahabbah ?
3.      Bagaimana kedudukan Mahabbah ?
4.      Apa saja alat untuk mencapai Mahabbah ?
5.      Apa itu Ma’rifah ?

6.      Apa tujuan dari Ma’rifah?

7.      Apa saja alat untuk mencapai Ma’rifah?

BAB II
                                                                     PEMBAHASAN

c.       Pengertian Mahabbah
Mahabbah atau cinta adalah suatu perasaanagung dimana orang yang mencinta memberikan seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicinta. Mahabbah mengandung makna keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada apa yang dicintainya, dan selalu memikirkan yang dicinta. Bahkan, rela mengorbankan apapunyang ia miliki demi yang dicinta.
Dalam tradisi sufi, mahabbah dianggap demikian tinggi nilainya dalam pencapaian sufi, sehingga menetapkan mahabbah sebagian dari maqamat. Al-Junaid menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan pada sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri. Semua itu dilakukan dengan tidak sedikit pun perasaan berat atau tertekan, melainkan semata-mata hanya kesenangan. Kesadaran cinta juga berimplikasi pada rasa penerimaan yang mantap terhadap apapun yang terjadi dialam semesta ini, sehingga segala sesuatu, baik yang mengandung kebaikan, maupun kejahatan, selalu diterima dengan lapang dada.[1]
Pengertian mahabbah dari segi tasawwuf ini lebih lanjut dikemukakan al Qusyairi sebagai berikut: “almahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah swt”.
Harun Nasution mengatakan mahabbah adalah cinta yang dimaksud adalah cinta kepadaTuhan, antara lain sebagai berikut:
a.        Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
b.      Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c.       Mengosongkan hati dari segala – galanya kecuali dari yang dikasihi yaitu Tuhan.

Dilihat dari tingkatannya, mahabbah sebagai dikemukakan al-Sarraj sebagai dikutip Harun Nasution ada tiga macam yaitu:
                                                           i.       Mahabbah orang biasa yaitu selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
                                                         ii.      Mahabbah orang shidiq, yaitu cinta orang yang kenal pada Tuhan, kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, dan lain-lain.
                                                       iii.      Mahabbah orang yang arif adalah cinta yang tahu betul kepada Tuhan.
Dari uraian tersebut disimpulkan mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai.
d.        Tujuan Mahabbah
Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para Sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt.
e.        Kedudukan Mahabbah
Mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukan maupun pengertiannya. Ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-Qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta(roh). Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut Al Ghazali mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan. Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah.[2]

f.        Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Para ahli tasawuf mengungkapkan alat untuk mencapai mahabbah yaitu menggunakan pendekatan psikologi melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution mengatakan alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir. Harun Nasution mengutip pendapat al-Qusyairi ada 3 alat yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan yaitu:
1.  Al-Qalb, yaitu hati sanubari, sebagai alat mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2. Roh, yaitu alat untuk mencintai Tuhan.
3. Sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan.
Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qolb. Kelihatannya sir   bertempat di roh, dan roh bertempat di qolb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qolb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya berisi oleh cinta kepada Tuhan. Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu sebenarnya telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak dalam kandungan ketika berumur empat bulan, dengan demikian alat untuk mencintai Tuhan sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak mengetahui sebenarnya hakikat roh itu, yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman: Artinya: mereka itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali. (QS. Al-isra’: 85)[4]

d. Ma’rifah
Pengertian Ma’rifah dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi bathin dengan mengetahui rahasianya. Para sufi mengatakan perihal Ma’rifat adalah :
1. Kalau mata dalam hati sanubari manusia terbuka, mata dan ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah.
2. Makrifat adalah cermin, yang mana yang dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang arif saat tidur dan bangun hanyalah Allah.
4. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihatnya akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan dan bentuk keindahannya.
Dikemukakan al-Kalazabi, ma’rifat datang sesudah mahabbah, karena ma’rifat lebih mengacu pada pengetahuan sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan. Disebutkan dalam sebuah Hadits Qudsi :
كنت خزينة خا فية احببت ان اعرف فخلقت الخلق فتعر فت اليهم فعرفونى"”
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka aku ciptakan mahluk. Maka Aku memperkenalkan DiriKu kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku” (Hadits Qudsi)
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah puncak dari seluruh maqam spiritual dengan derajad/level yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya”. Ma’rifat merupakan karunia pemberian langsung dari Allah, maka ia sekali-kali tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya amal kebaikan. Ma’rifat adalah anugerah Allah yang didasari kasih Tuhan kepada hamba-Nya. Adapun amal ibadah sebagai persembahan hamba kepada Tuhannya.
Adapun cara-cara untuk dapat menuju Mahabbah dan Ma’rifat adalah :[5]
1. Tobat, baik dari dosa besar maupun dosa kecil
2. Zuhud, yaitu mengasingkan diri dari dunia ramai
3. Wara (sufi), mencoba meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat shubhat
4. Faqir, hidup sebagai orang fakir
5. Sabar, dalam menghadapi segala macam cobaan
6. Tawakkal, menyeru sebulat-bulatnya pada keputusan Tuhan
7. Ridha, merasa senang menerima segala takdir.
(tujuan ma’rifah) Ma'rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan yang satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu. Selanjutnya ma'rifah digunakan untuk menunjukan salah satu tingkatan dalam tasawuf. Al-Ghazali[2] menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma'rifah tentang Tuhan, yaitu arif, tidak akan mengatakan ya Allah atau ya rabb karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di bekalang tabir.
 Tujuan ma’rifat adalah berhubungan dengan Allah, dengan kendali jiwa kepada eksistensinya yang intern, wasilahnya adalah spiritual.
. alat untuk mencapai ma’rifah   
           alat yang dapat digunakan untuk ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb(hati), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yng sebenarnya tentang tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian dzikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia tuhan , yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya tuhan.
[6]




BAB III
PENUTUP

a.      Simpulan
Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai masuk dalam diri yang di cintai,
Adapun Ma’rifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya.

b.      Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah ini, dapat memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf  dengan baik dan benar. Di sisi lain, penulis juga berharap dengan adanya makalah ini akan bisa menjadi bahan bacaan yang baik. Baik untuk mahasiswa maupun kalangan akademika pada khususnya. Sebagai motivasi maupun inspiratif dalam mengembangkan kreativitasnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tentu tidak luput dari kesalahan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.

Nata, Abudin. Akhlak tasawuf. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2012.
Nahrowi Tohir, Munir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf. Jakarta: PT. As-Salam Sejahtera, 2012.
Rahim Yunus, Abd. Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan Di Kesultanan Buton Pada Abad Ke-19. Jakarta: INIS, 1995.







[1] Rosihon Anwar, Prof, Dr, M.Ag, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm.191

[2]  Mulyadhi katanergara. Menyelami Lubuk Tasawuf. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006)hlm.201.
[3] Rosihon Anwar, Prof, Dr, M.Ag, Akhlak Tasawuf,( Bandung: Pustaka Setia, 2010, )hlm.199.
[4] Munir Nahrowi Tohir . Menjelajahi Eksistensi Tasawuf. (Jakarta: PT. As-Salam Sejahtera, 2012)hlm.100.
[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2012), hlm.219.
[6] Abd Rahim Yunus . Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan (Di Kesultanan Buton Pada Abad Ke-19. Jakarta: INIS, 1995).hlm .230.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates