Ijtihad
IJTIHAD
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Ushul Fiqih
Disusun
oleh:
Sulistyowati
Sikoroningsih (131311119)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
IJTIHAD
I.PENDAHULUAN
Ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui
dalil-dalil agama Al-Qur’an dan Al-hadits dengan jalan istimbat.
Sebagaimana diketahui, pada masa Rasulullah SAW, sumber hukum Islam
adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Namun demikian ijtihad pada kenyataannya telah
tumbuh sejak masa-masa awal Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad SAW, dan
kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan tabi’in, serta masa-masa
selanjutnya hingga kini dan yang akan datang.
II. RUMUSANMASALAH
1.
Apa pengertian
Ijtihad ?
2.
Apa saja syarat
dan rukun Ijtihad ?
3.
Apa saja
macam-macam Ijtihad ?
III. PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Ijtihad
Ditinjau dari etimologi, kata ijtihad
berasal dari kata jahada. Ada dua bentuk mashdar yang dapat terbentuk dari kata jahada,
yaitu: pertama, kata jahd, yang mengandung arti kesungguhan.
Kedua, kata juhd dengan arti adanya kemampuan yang di dalamnya terkandung makna
sulit, berat, dan susah.
Adapun kata ijtihad secara
terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama, yang pada
umumnya menunjukkan pengertian yang hampir sama, dan antara satu definisi
dengan definisi lainnya bersifat saling melengkapi. Definisi tersebut antara
lain:
a.
Menurut Ibn
as-Subki
استفراغ الفقيه الوسع لتحصيل الظني بحكم شرعي
Pengerahan
kemampuan seorang ahli fiqh untuk menghasilkan hukum syara’ yang bersifat
zhanni.
b.
Menurut
al-Amidi
إستفراغ الوسع في طلب الظن بشيء من الأحك م الشرعية بحيث يحس من النفس
العجز عن المزيد فيه
Pengerahan
kemampuan secara maksimum, dalam menentukan hukum syara’ yang bersifat zhanni,
sehingga merasa tidak mampu menghasilkan lebih dari temuan tersebut.
c.
Menurut
asy-Syaukani
بذل الوسع في نيل حكم شرعي عملي بطريق الإستنباط
Pengerahan
kemampuan dalam mencapai hukum syara’ yang bersifat amaliyyah dengan
menggunakan metode istinbath.
d.
Menurut
Muhammad Abu Zahrah
بذل الفقيه وسعه في استنباط الأحكم العملية من أد لتها التفصيلية
Pengerahan
kemampuan seorang ahli fiqih untuk menggali hukum syara’ yang bersifat
amaliyyah dari dalil-dalil yang bersifat terperinci.
Dari empat definisi yang dikutip diatas dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan ijtihad memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut.
v Pengerahan kemampuan nalar secara maksimum dari orang yang
berpredikat sebagai mujtahid.
v Menggunakan metode istinbath (penggalian hukum).
v Objek ijtihad adalah dalil-dalil syara’ yang terperinci.
v Tujuan ijtihad adalah untuk menemukan hukum syara’ yang berkaitan
dengan masalah-masalah amaliyyah (bukan yang berkaitan dengan masalah akidah
atau akhlak).
v Hukum syara’ yang ditemukan tersebut bersifat zhanni (kuat dugaan,
relative), bukan yang bersifat qath’i (pasti, benar, absolute).[1]
2.
Syarat dan
rukun menjadi Ijtihad
a.
Syarat-syarat
menjadi Ijtihad
Orang
yang berijtihad harus memenuhi beberapa syarat:
1.
Mengetahui nas
Qur’an dan Hadis. Kalau tidak mengetahui salah satunya, maka ia bukan mujtahid
dan tidak boleh berijtihad.
2.
Mengetahui
soal-soal ijma’, sehingga ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan
ijma’, ia harus memegang ijma’ dan memandangnya sebagai dalil syara’.
3.
Menguasai
bahasa Arab sehingga dapat memahami Qur’an dan hadis.
4.
Mengetahui ilmu
usul fiqih dan harus kuat dalam ilmu ini, karena ilmu usul fiqih menjadi dasar
dan pokok ijtihad.
5.
Mengetahui
nasikh dan mansukh, sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasrkan dalil yang
sudah dimansukh.[2]
6.
Mengetahui
Qiyas, bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas.
Bahkan juga dikatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas itu sendiri.
7.
Mengetahui
situasi masanya dan kondisi masyarakat dimana dia tinggal, agar dapat dengan
tepat merumuskan masalah yang diijtihadkan agar tidak menimbulkan masalah
dikemudian hari dan pemahaman yang benar terhadap masalah tersebut.[3]
b.
Rukun menjadi
Ijtihad
Rukun ijtihad menurut al-Ghazali sebagaimana yang dikemukakannya
dalam al-Mustasfa, ada tiga yakni: al-Mujtahid, al-Mujtahidu Fihi, dan Nafs
al-Ijtihad. Berikut ini akan dijelaskan ketiga rukun ijtihad tersebut:
1.
Al-Mujtahid (المجهد)
Al-Mujtahid
adalah orang yang melakukan ijtihad. Menurut al-Ghazali, syarat untuk menjadi
seorang mujtahid ada dua. Pertama, mengetahui seluk beluk syariat, mana
yang didahulukan dan mana yang wajib dikemudiankan. Kedua, harus adil
dan menjauhi perbuatan maksiat.
2.
Al-Mujtahidu
Fihi (المجتهد فيه)
Al-Mujtahidu
Fihi yang dimaksud oleh al-Ghazali adalah medan ijtihad, yakni semua hukum
agama yang tidak mempunyai dalil-dalil qat’i. Menurutnya dalil-dalil qat’i
yang tidak dapat disentuh oleh ijtihad adalah kewajiban shalat lima kali
sehari semalam dan mustahiq zakat.
3.
Nafs al-Ijtihad
(نفس المجتهد)
Nafs
al-Ijtihad adalah usaha untuk mengarahkan pikiran secara luas dan mendalam
terhadap objek (medan) ijtihad. Nafs al-Ijtihad adalah subtansi ijtihad itu
sendiri, yakni usaha yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan penuh
tanggung jawab.[4]
3.
Macam-macam
Ijtihad
Imam asy-Syafi’i membatasi ijtihad
hanya dalam pertimbangan menggali hukum dari nashsh Al-qur’an dan Sunnah
melalui cara al-qiyas saja, bukan yang lain. Ketika ada yang bertanya
kepadanya, apakah yang dimaksud dengan al-qiyas? Apakah ia sama dengan ijtihad
ataukah keduanya berbeda? Ia menjawab:”huma isman li-ma na wahid
(keduanya adalah dua nama untuk satu pengertian).[5]
Dengan demikian, asy-Syafi’i menggunakan istilah ijtihad dalam pengertian
sempit, hanya pada pengertian al-qiyas saja, dan tidak memakai metode
penalaran hukum yang berdasarkan metode al-istihsan atau al-mashlahah
al-mursalah.
Akan tetapi, para imam mazhab
lainnya memaknai ijtihad dengan pengertian yang luas. Mereka mengunakan istilah
ijtihad untuk menggambarkan penalaran hukum (ar-ra,y) melalui metode al-qiyas
dan metode istinbath hukum lainnya. Dalam hal ini, mereka memahami
penalaran hukum tidak terbatas hanya pada pengertian al-qiyas, yaitu
adanya kasus-kasus hukum yang memiliki nashsh-nya, dengan cara
menyamakan hukum keduanya, karena adanya kesaman ‘illah. Menurut mereka,
penalaran hukum juga dapat dilakukan terhadap kasus-kasus yang sama sekali
tidak ada acuan nashsh-nya. Dengan demikian, menurut para imam mazhab
selain asy-Syafi’i, yang disebut ijtihad menggunakan penalaran hukum ialah,
melakukan menemuan hukum yang dipandang palinhg dapat menghasilkan
kemaslahatan, dan yang paling mendekati semangat pensyariatan hukum Islam. Oleh
karena itu, ditinjau dari segi metodenya, sebagai mana yang dirumuskan, ijtihad
dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
Ø Al-Ijitihad al-bayani,
yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk menjelaskan hukum-hukum
syara’ yang terdapat dalam nashsh Al-qur’an dan Sunnah.
Ø Al-Ijtihad al-qiyasi,
yaitu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum-hukum syara’ atas
peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashsh Al-qur’an maupun
hadisnya, dengan cara meng-qiyas-kannya kepada hukum-hukum syara’ yang
ada nashsh-nya.
Ø Al-Ijtihad al-istishlahi,
suatu kegiatan ijtihad untuk menetapkan
hukum syara’atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashsh-nya,
baik dari Al-qur’an maupun Sunnah, melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-istishlah
(kemaslahatan).
Adapun ditinjau dari segi jumlah
orang yang melakukan ijtihad (mujtahid), ijtihad dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:
1.
Ijtihad Fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang
untuk menemukan hukum syara’ dari suatu peristiwa hukum orang yang belum
diketahui hukumnya.
2.
Ijtihad Jama’i, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh seluruh mujtahid untuk
menemukan hukum suatu peristiwa yang terjadi, dimana ijtihad menghasilkan
kesepakatan bersama.
Dimasa lalu, ijtihad model kedua diatas dilakukan hanya oleh ulama
yang menguasai disiplin ilmu fiqih saja. Akan tetapi, sejalan dengan
perkembangan zaman dan persoalan hukum yang dihadapi, dimana suatu peristiwa
hukum tidak lagi dapat ditinjau dari satu disiplin ilmu tertentu saja,
melainkan berkaitan dengan banyak disiplin ilmu.[6]
VI. KESIMPULAN
Menurut bahasa Ijtihad adalah mengerjakan sesuatu dengan segala
kesungguhan. Sedangkan menurut istilah Ijtihad adalah menggunakan seluruh
kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syari’at.
Syarat-syarat menjadi Ijtihad yaitu:
1.
Mengetahui nas Qur’an dan Hadis.
2.
Mengetahui
soal-soal ijma’.
3.
Menguasai
bahasa arab.
4.
Mengetahui ilmu
ushul fiqih.
5.
Mengetahui
nasikh dan mansukh.
6.
Mengetahui
qiyas.
7.
Mengetahui
situasi masanya dan kondisi masyarakat dimana dia tinggal.
Sedang rukun ijtihad menurut al-Ghazali sebagaimana yang
dikemukakannya dalam al-Mustasfa, ada tiga yakni: al-Mujtahid, al-Mujtahidu
Fihi, dan Nafs al-Ijtihad.
Ijtihad dibagi menjadi tiga yaitu al-ijtihad al-bayani, al-ijtihad
al-qiyasi, dan al-ijtihad al-istishlahi.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini saya sampaikan. Pemakalah menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kriteria sempurna. Untuk itu pemakalah mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam
pembuatan makalah yang selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamin...
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, 1959,Usul Fiqh, Jakarta: Widjaya
asy-Syafi’i ,Muhammad bin Idris, ar-Risalah, Beirut:
al-Maktabah
Asy-Syafi’i, Abdul Majid, 2002, Ijtihad Kolektif, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
Dahlan,Abd. Rahman, 2011, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah
http://www.referensimakalah.com/2012/08/ijtihad-dan-rukun-ijtihad-menurut-imam-alghazali.html.
diakses pada tanggal 18 September 2014 jam 18.00.
[1]
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011)., hlm, 338-340.
[2]
A. Hanafi, Usul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1959)., hlm, 151-152.
[3]
Abdul Majid Asy-Syafi’i, Ijtihad Kolektif, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2002)., hlm, 41.
[4]
http://www.referensimakalah.com/2012/08/ijtihad-dan-rukun-ijtihad-menurut-imam-alghazali.html.
diakses pada tanggal 18 September 2014 jam 18.00.
[5]
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, ar-Risalah, (Beirut: al-Maktabah)., hlm,
477.
[6]
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011)., hlm, 348.
0 komentar:
Post a Comment