September 18, 2015

Ijtihad

IJTIHAD
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Disusun oleh:
Sulistyowati Sikoroningsih      (131311119)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
IJTIHAD
I.PENDAHULUAN
Ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama Al-Qur’an dan Al-hadits dengan jalan istimbat.
Sebagaimana diketahui, pada masa Rasulullah SAW, sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Namun demikian ijtihad pada kenyataannya telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad SAW, dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan tabi’in, serta masa-masa selanjutnya hingga kini dan yang akan datang.
II. RUMUSANMASALAH
1.      Apa pengertian Ijtihad ?
2.      Apa saja syarat dan rukun Ijtihad ?
3.      Apa saja macam-macam Ijtihad ?
III. PEMBAHASAN
1.      Pengertian Ijtihad
Ditinjau dari etimologi, kata ijtihad berasal dari kata jahada. Ada dua bentuk mashdar  yang dapat terbentuk dari kata jahada, yaitu: pertama, kata jahd, yang mengandung arti kesungguhan. Kedua, kata juhd dengan arti adanya kemampuan yang di dalamnya terkandung makna sulit, berat, dan susah.
Adapun kata ijtihad secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama, yang pada umumnya menunjukkan pengertian yang hampir sama, dan antara satu definisi dengan definisi lainnya bersifat saling melengkapi. Definisi tersebut antara lain:
a.       Menurut Ibn as-Subki
استفراغ الفقيه الوسع لتحصيل الظني بحكم شرعي
Pengerahan kemampuan seorang ahli fiqh untuk menghasilkan hukum syara’ yang bersifat zhanni.
b.      Menurut al-Amidi
إستفراغ الوسع في طلب الظن بشيء من الأحك م الشرعية بحيث يحس من النفس العجز عن المزيد فيه
Pengerahan kemampuan secara maksimum, dalam menentukan hukum syara’ yang bersifat zhanni, sehingga merasa tidak mampu menghasilkan lebih dari temuan tersebut.
c.       Menurut asy-Syaukani
بذل الوسع في نيل حكم شرعي عملي بطريق الإستنباط
Pengerahan kemampuan dalam mencapai hukum syara’ yang bersifat amaliyyah dengan menggunakan metode istinbath.
d.      Menurut Muhammad Abu Zahrah
بذل الفقيه وسعه في استنباط الأحكم العملية من أد لتها التفصيلية
Pengerahan kemampuan seorang ahli fiqih untuk menggali hukum syara’ yang bersifat amaliyyah dari dalil-dalil yang bersifat terperinci.
Dari empat definisi yang dikutip diatas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ijtihad memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut.
v  Pengerahan kemampuan nalar secara maksimum dari orang yang berpredikat sebagai mujtahid.
v  Menggunakan metode istinbath (penggalian hukum).
v  Objek ijtihad adalah dalil-dalil syara’ yang terperinci.
v  Tujuan ijtihad adalah untuk menemukan hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah-masalah amaliyyah (bukan yang berkaitan dengan masalah akidah atau akhlak).
v  Hukum syara’ yang ditemukan tersebut bersifat zhanni (kuat dugaan, relative), bukan yang bersifat qath’i (pasti, benar, absolute).[1]
2.      Syarat dan rukun menjadi Ijtihad
a.       Syarat-syarat menjadi Ijtihad
Orang yang berijtihad harus memenuhi beberapa syarat:
1.      Mengetahui nas Qur’an dan Hadis. Kalau tidak mengetahui salah satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad.
2.      Mengetahui soal-soal ijma’, sehingga ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan ijma’, ia harus memegang ijma’ dan memandangnya sebagai dalil syara’.
3.      Menguasai bahasa Arab sehingga dapat memahami Qur’an dan hadis.
4.      Mengetahui ilmu usul fiqih dan harus kuat dalam ilmu ini, karena ilmu usul fiqih menjadi dasar dan pokok ijtihad.
5.      Mengetahui nasikh dan mansukh, sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasrkan dalil yang sudah dimansukh.[2]
6.      Mengetahui Qiyas, bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. Bahkan juga dikatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas itu sendiri.
7.      Mengetahui situasi masanya dan kondisi masyarakat dimana dia tinggal, agar dapat dengan tepat merumuskan masalah yang diijtihadkan agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari dan pemahaman yang benar terhadap masalah tersebut.[3]
b.      Rukun menjadi Ijtihad
Rukun ijtihad menurut al-Ghazali sebagaimana yang dikemukakannya dalam al-Mustasfa, ada tiga yakni: al-Mujtahid, al-Mujtahidu Fihi, dan Nafs al-Ijtihad. Berikut ini akan dijelaskan ketiga rukun ijtihad tersebut:
1.      Al-Mujtahid (المجهد)
Al-Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad. Menurut al-Ghazali, syarat untuk menjadi seorang mujtahid ada dua. Pertama, mengetahui seluk beluk syariat, mana yang didahulukan dan mana yang wajib dikemudiankan. Kedua, harus adil dan menjauhi perbuatan maksiat.
2.      Al-Mujtahidu Fihi (المجتهد فيه)
Al-Mujtahidu Fihi yang dimaksud oleh al-Ghazali adalah medan ijtihad, yakni semua hukum agama yang tidak mempunyai dalil-dalil qat’i. Menurutnya dalil-dalil qat’i yang tidak dapat disentuh oleh ijtihad adalah kewajiban shalat lima kali sehari semalam dan mustahiq zakat.
3.      Nafs al-Ijtihad (نفس المجتهد)
Nafs al-Ijtihad adalah usaha untuk mengarahkan pikiran secara luas dan mendalam terhadap objek (medan) ijtihad. Nafs al-Ijtihad adalah subtansi ijtihad itu sendiri, yakni usaha yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.[4]
3.      Macam-macam Ijtihad
Imam asy-Syafi’i membatasi ijtihad hanya dalam pertimbangan menggali hukum dari nashsh Al-qur’an dan Sunnah melalui cara al-qiyas saja, bukan yang lain. Ketika ada yang bertanya kepadanya, apakah yang dimaksud dengan al-qiyas? Apakah ia sama dengan ijtihad ataukah keduanya berbeda? Ia menjawab:”huma isman li-ma na wahid (keduanya adalah dua nama untuk satu pengertian).[5] Dengan demikian, asy-Syafi’i menggunakan istilah ijtihad dalam pengertian sempit, hanya pada pengertian al-qiyas saja, dan tidak memakai metode penalaran hukum yang berdasarkan metode al-istihsan atau al-mashlahah al-mursalah.
Akan tetapi, para imam mazhab lainnya memaknai ijtihad dengan pengertian yang luas. Mereka mengunakan istilah ijtihad untuk menggambarkan penalaran hukum (ar-ra,y) melalui metode al-qiyas dan metode istinbath hukum lainnya. Dalam hal ini, mereka memahami penalaran hukum tidak terbatas hanya pada pengertian al-qiyas, yaitu adanya kasus-kasus hukum yang memiliki nashsh-nya, dengan cara menyamakan hukum keduanya, karena adanya kesaman ‘illah. Menurut mereka, penalaran hukum juga dapat dilakukan terhadap kasus-kasus yang sama sekali tidak ada acuan nashsh-nya. Dengan demikian, menurut para imam mazhab selain asy-Syafi’i, yang disebut ijtihad menggunakan penalaran hukum ialah, melakukan menemuan hukum yang dipandang palinhg dapat menghasilkan kemaslahatan, dan yang paling mendekati semangat pensyariatan hukum Islam. Oleh karena itu, ditinjau dari segi metodenya, sebagai mana yang dirumuskan, ijtihad dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
Ø  Al-Ijitihad al-bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terdapat dalam nashsh Al-qur’an dan Sunnah.
Ø  Al-Ijtihad al-qiyasi, yaitu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum-hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashsh Al-qur’an maupun hadisnya, dengan cara meng-qiyas-kannya kepada hukum-hukum syara’ yang ada nashsh-nya.
Ø  Al-Ijtihad al-istishlahi, suatu  kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum syara’atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashsh-nya, baik dari Al-qur’an maupun Sunnah, melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-istishlah (kemaslahatan).
Adapun ditinjau dari segi jumlah orang yang melakukan ijtihad (mujtahid), ijtihad dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Ijtihad Fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang untuk menemukan hukum syara’ dari suatu peristiwa hukum orang yang belum diketahui hukumnya.
2.      Ijtihad Jama’i, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh seluruh mujtahid untuk menemukan hukum suatu peristiwa yang terjadi, dimana ijtihad menghasilkan kesepakatan bersama.
Dimasa lalu, ijtihad model kedua diatas dilakukan hanya oleh ulama yang menguasai disiplin ilmu fiqih saja. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan zaman dan persoalan hukum yang dihadapi, dimana suatu peristiwa hukum tidak lagi dapat ditinjau dari satu disiplin ilmu tertentu saja, melainkan berkaitan dengan banyak disiplin ilmu.[6]
VI. KESIMPULAN
Menurut bahasa Ijtihad adalah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedangkan menurut istilah Ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syari’at.
Syarat-syarat menjadi Ijtihad yaitu:
1.       Mengetahui nas Qur’an dan Hadis.
2.      Mengetahui soal-soal ijma’.
3.      Menguasai bahasa arab.
4.      Mengetahui ilmu ushul fiqih.
5.      Mengetahui nasikh dan mansukh.
6.      Mengetahui qiyas.
7.      Mengetahui situasi masanya dan kondisi masyarakat dimana dia tinggal.
Sedang rukun ijtihad menurut al-Ghazali sebagaimana yang dikemukakannya dalam al-Mustasfa, ada tiga yakni: al-Mujtahid, al-Mujtahidu Fihi, dan Nafs al-Ijtihad.
Ijtihad dibagi menjadi tiga yaitu al-ijtihad al-bayani, al-ijtihad al-qiyasi, dan al-ijtihad al-istishlahi.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini saya sampaikan. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kriteria sempurna. Untuk itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pembuatan makalah yang selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamin... 
DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafi, 1959,Usul Fiqh, Jakarta: Widjaya
asy-Syafi’i ,Muhammad bin Idris, ar-Risalah, Beirut: al-Maktabah
Asy-Syafi’i, Abdul Majid, 2002,  Ijtihad Kolektif,  Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
Dahlan,Abd. Rahman, 2011, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah


[1] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011)., hlm, 338-340.
[2] A. Hanafi, Usul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1959)., hlm, 151-152.
[3] Abdul Majid Asy-Syafi’i, Ijtihad Kolektif, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002)., hlm, 41.
[5] Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, ar-Risalah, (Beirut: al-Maktabah)., hlm, 477.
[6] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011)., hlm, 348.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates